Batik, sebagai warisan budaya tak benda yang diakui dunia, kini semakin populer dan menjadi pilihan busana favorit untuk berbagai acara. Namun, di balik keindahan dan keberagamannya, tersimpan sejarah serta aturan tak tertulis yang mengikat beberapa motif batik tertentu.
Beberapa motif batik memiliki makna filosofis dan tingkat kesakralan yang tinggi, sehingga penggunaannya tidak bisa sembarangan, terutama di lingkungan adat dan keraton.
Berikut ini daftar motif batik yang sebaiknya tidak dipakai sembarangan, disertai dengan alasannya.
1. Batik Parang: Simbol Kekuatan Raja yang Tak Lekang Waktu
Salah satu motif batik yang paling dikenal dan memiliki larangan penggunaan adalah Batik Parang. Motif ini tidak boleh sembarangan dipakai, bahkan sangat dilarang bagi masyarakat biasa di lingkup Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran Solo.
Menurut pemerhati sejarah, Kanjeng Nuky, Batik Parang memiliki simbol kekuatan yang mulanya digunakan khusus untuk raja. "Arti parang adalah dari kata lereng atau pereng, yang menggambarkan semangat yang tidak pernah padam. Hal yang harus dimiliki oleh seorang raja atau ksatria," jelas Kanjeng Nuky di Museum Radya Pustaka pada 2023 lalu seperti dikutip dari detikJateng.
Oleh karena itu, di era modern sekalipun, Batik Parang secara tradisional hanya boleh dikenakan oleh raja dan keluarganya di lingkup keraton. "Hanya boleh dikenakan oleh keluarga raja karena ya itu tadi, dibuat untuk raja, untuk menampilkan spirit dari seorang raja yang tersirat dalam motifnya," tambahnya. Larangan ini bahkan tetap berlaku apabila seseorang memasuki area keraton atau mengikuti acara adat yang sedang berlangsung.
Meskipun demikian, masyarakat umum masih diperbolehkan mengenakan Batik Parang selama tidak memasuki lingkup keraton. Namun, Ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, Alpha Fabela Priyatmono, menekankan pentingnya menghargai warisan leluhur. Ia mengimbau agar penggunaan Batik Parang tidak sembarangan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dijadikan keset, serbet, atau pola lantai. "Kita harus menghargai karya-karya leluhur, jadi jangan sampai motif-motif tradisional yang mempunyai makna yang bagus itu pemakaiannya enggak pas," ucap Alpha. Ini bukan berarti mengkultuskan, melainkan bentuk penghormatan terhadap nilai budaya yang diwariskan.
Aturan Klasifikasi Ukuran Motif Parang
Dalam buku "All About Batik: Art of Traditional and Harmony" (2007) karya Masakatsu Tozu, dkk., dijelaskan bahwa ada aturan lebih lanjut mengenai pemakaian Batik Parang, terutama terkait ukuran polanya yang berbeda-beda sesuai kelas sosial pemakainya:
Parang Barong
Berukuran 15-20 cm, khusus diperbolehkan untuk raja, permaisuri, dan pangeran. Motif ini melambangkan seorang pemimpin harus bertanggung jawab, berwatak dan berbudi luhur, serta hati-hati dalam mengendalikan diri lahir batin.Parang Rusak
Berukuran 8-15 cm, dipakai oleh anak istri sah raja dan pejabat tinggi.Parang Gendreh
Berukuran 8-10 cm, dikenakan oleh istri raja lainnya, anak-anak mereka, dan pejabat kelas menengah. Motif Parang Rusak Gendreh boleh dipakai oleh keturunan raja atau sultan, Pangeran Sentono, istri utama para pangeran, dan patih (penasihat raja).Parang Klithik
Berukuran 4-8 cm, dipakai oleh cucu raja dan para gubernur. Motif Parang Rusak Klithik dipakai untuk istri dan garwa ampeyan (selir) putra mahkota.
Motif Parang, yang diciptakan oleh Panembahan Senapati dan mulai dilarang untuk rakyat jelata pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1785), melambangkan ombak lautan dengan tenaga alam. Pola garis miringnya juga menjadi simbol kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.
Simak Video "Video Hari Batik Nasional: Menengok Batik Tiga Negeri di Lasem Rembang"
(tey/tey)