Senang dan bangga, itulah perasaan yang dirasakan Jezzy Oktavia, guru di SDN 216 Margahayu, Kota Bandung. Dia terpilih untuk mengikuti program beasiswa Micro Credential STEM Program on Climate Change and Environmental Sustainability, yang diselenggarakan oleh GTK Kemdikbud bekerja sama dengan Korea National University of Education, Korea Selatan. Meskipun tidak belajar langsung di Korea, Jezzy merasa bangga dapat menjadi bagian dari program ini, karena hanya 40 orang yang terpilih untuk mengikuti pelatihan ini.
Program ini merupakan beasiswa non-gelar yang ditujukan untuk guru SD dan SMP. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan kompetensi guru dalam pembelajaran Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM), khususnya dalam isu perubahan iklim dan keberlanjutan lingkungan.
Jezzy mengikuti kegiatan ini melalui Zoom Meets dengan para instruktur dari Korea National University of Education dan fasilitator dari Indonesia pada 2-6 Desember 2024, serta kegiatan luring di Bigland Hotel Bogor International and Convention Hall pada 9-13 Desember 2024.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Adapun bentuk kegiatan yaitu pembelajaran secara teoritis dan keterampilan praktis berbasis STEM. Bentuk kegiatan meliputi pembelajaran secara klasikal di ruang belajar dengan narasumber dari Korea National University of Education dan IAIN Ponorogo, dilanjutkan dengan sesi diskusi dan penugasan secara berkelompok, presentasi, tanya-jawab, permainan edukatif, dan ice breaking. Pada akhir kegiatan, saya mengikuti sesi refleksi dengan fasilitator, mengerjakan jurnal harian, membuat rencana pembelajaran dan praktik pembelajaran berbasis STEM," kata Jazzy saat dihubungi detikJabar, Minggu (15/12/2024).
Sebagai guru kelas 4, Jezzy merasa banyak mendapatkan ilmu berharga, salah satunya terkait isu global perubahan iklim yang berdampak luas pada lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dia juga mempelajari pendidikan perubahan iklim di Korea dan Indonesia, serta cara mengajarkan perubahan iklim menggunakan pendekatan berbasis permainan, dan merancang rencana pembelajaran berbasis STEM.
"Saya sangat bersyukur dan senang sekali menjadi bagian dari 40 peserta yang mengikuti kegiatan ini. Saya bisa belajar dengan instruktur, fasilitator dan guru-guru secara langsung, berdiskusi dengan bertukar pendapat serta pengalaman yang bermakna khususnya dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dan pendidikan yang berkelanjutan," ungkapnya.
Meskipun tidak mendapat informasi spesifik mengenai metode mengajar di Korea, Jezzy menjelaskan bahwa dalam kegiatan tersebut dia mempelajari Sustainable Schools and School Environmental Management di Korea. Sekolah-sekolah di Korea mengintegrasikan pendidikan perubahan iklim ke dalam pembelajaran berbasis proyek serta manajemen sekolah berbasis lingkungan. Semua ilmu yang dia dapatkan ini, menurutnya, akan diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di SDN 216 Margahayu.
"Untuk pendidikan lingkungan hidup sebenarnya sudah diterapkan di Indonesia, dan saat ini sedang digaungkan pendidikan perubahan iklim untuk menghadapi tantangan global. Sudah ada panduannya dari pemerintah. Untuk penerapannya, insya allah dapat diwujudkan di kelas yang mengacu kepada capaian pembelajaran yang dimuat pada buku panduan pendidikan perubahan iklim," harapnya.
Selain itu, Jezzy juga mendapatkan wawasan mengenai perbedaan sistem pembelajaran di Indonesia dan Korea Selatan. Di Indonesia, jam belajar berkisar antara 6 hingga 7 jam, sedangkan di Korea Selatan, seringkali jam belajar bisa berlangsung hingga malam, dengan banyak murid mengikuti les tambahan. Fokus pembelajaran di Indonesia lebih pada penguatan karakter dan keterampilan abad ke-21, sementara di Korea, fokus utamanya pada aspek akademis, terutama sains, matematika, dan bahasa Inggris.
"Metode pembelajaran di Indonesia bervariasi. Metode pembelajaran di Korea Selatan lebih didominasi metode hafalan dan penguasaan materi ujian dan penggunaan teknologi pembelajaran di Indonesia sudah ada, namun belum merata. Sedangkan, di Korea Selatan e-learning dan alat digital secara aktif digunakan, baik di kelas maupun saat belajar mandiri," tambahnya.
Ke depan, Jezzy berharap bahwa kegiatan yang diikutinya ini dapat menjadi gerbang untuk melanjutkan studi S2 di Korea Selatan. "Apabila ada kesempatan untuk melanjutkan studi ke Korea Selatan dan mendapatkan beasiswa saya sangat mau, karena saya ingin belajar langsung di negara dengan pemanfaatan teknologi yang sangat tinggi khususnya dalam dunia pendidikan dan mampu bersaing dengan sistem pendidikan dengan negara lainnya, kedisiplinan yang tinggi saat belajar, serta ketekunan dalam meraih prestasi di bidang akademik," katanya.
(wip/iqk)