Dua mahasiswa semester 3 Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini, mengagumi seni dengan cara yang berbeda. Kalau kesenian identik dengan lukis, musik, atau kriya, tapi Syauqi (19) dan Suryana (21) menikmati seni dari corak hewan melata.
Indahnya corak kulit ular, hewan yang banyak ditakuti manusia itu, membetot perhatian mereka. Terlebih saat mereka tahu, ternyata keindahan corak kulitnya bisa jadi potensi bisnis yang menggiurkan.
Syauqi yang terlebih dulu mengenal dan tertarik dengan ular, kecantikan coraknya, mengetahui kalau ular bisa punya nilai jual lebih saat mengalami kelainan genetik. Kulitnya yang berbeda, membuatnya bakal semakin unik dan berpotensi mengundang pembeli dari kalangan pecinta hewan langka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi awalnya ada program wirausaha gitu, mahasiswa ajukan ide nanti akan dinilai dan bimbingan apakah ide itu pantas atau tidak untuk dilaksanakan. Nah kami buat kelompok Repcality Cultivators, yakni budidaya ular lokal. Karena dari kecil suka hewan, ular, dan makin lama makin ditekuni. Corak hewan lokal gitu jadi tahu," katanya belum lama ini berbincang dengan detikJabar.
Dari berbagi pengetahuan dalam lingkup komunitas, mereka saling bertukar informasi dan Syauqi merasa teredukasi. Syauqi jadi mengenal ular lokal termasuk sisi gelapnya, yakni terancam jumlahnya berkurang akibat tingginya perburuan atau pengurangan lahan.
Soal perburuan, Syauqi menilai ada banyak faktor penyebabnya. Tapi salah satunya yakni ketidak tahuan masyarakat, sehingga memutuskan untuk memusnahkan ular lokal. Padahal, hal tersebut tak cuma mengancam populasi mereka tapi juga keseimbangan ekosistem alam.
"Ular itu dibunuh terus jadi berkurang, konservasi juga masih kurang. Jadi hamanya kayak tikus gitu makin naik. Saya kan asalnya dari Garut, nah di kampung itu sering dapet cerita kalau hama tikus tambah banyak, ya karena setiap ketemu ular langsung dibunuh," cerita Syauqi.
Dari ketertarikan pada corak ular lokal, keunikan yang ditemukan dalam ular kelainan genetik, dan rasa prihatin karena populasi yang semakin berkurang, mengantarkan Syauqi dan Suryana menjadi kandidat mahasiswa enterpreneur (Mapren) di ISBI. Dalam Program Pembinaan Mahasiswa Wirausaha (P2MW), mereka terpilih jadi satu dari 5.000 mahasiswa yang mengikuti seleksi nasional.
"Dari ISBI ada enam yang lolos, salah satunya kami. Dapat hibah Rp11.800.000 itu untuk pembelian indukan yang proven pernah beranak agar tinggi tingkat berhasilnya, kandang, keperluan wadah air, pakan alat sexing untuk cek kelamin, tongkat ular, alat kesehatan dll," ceritanya.
Di sebuah kamar kos-kosan yang mereka sewa, menjadi tempat untuk budidaya delapan ular lokal. Tiap kandangnya diberi kelapa olahan atau cocopeat untuk menyerap bau dan kotoran ular, serta substrat atau tanaman hias.
Kedepelapan ular itu punya jenis berbeda seperti Water Tiger, Ular Pelangi, Mono Pohon, dan Ular Pucuk. Keseluruhnya memiliki bisa yang skalanya rendah. Saat ini, mereka tengah menanti menetasnya 19 telur ular dari hasil persilangan tersebut.
"Di kosan itu ada enam kotak kandang, dua buat pakannya jadi satu diisi tikus dan satunya kodok. Empat kandang untuk ular, satu kandang ada dua ular yang dipasangkan agar bertelur. Tiap pasang biasanya salah satu ada yang beda genetik jadi warnanya cerah atau unik," kata Syauqi.
Tapi bukan cuma berniat jual beli ular, Syauqi dan Suryana membawa misi besar yakni menjaga keseimbangan alam dengan adalahya ular lokal. Melestarikan kembali keberadaan mereka, yakni ular lokal namun yang punya bisa skala rendah.
"Kami hanya spesialis ular bisa rendah, atau ya maksimal sedang. Kami ingin kembangkan ular supaya bisa berkontribusi dengan alamnya. Ularnya bisa lestari itu tujuannya, jadi nangkep ular untuk dikawinin," tutur Syauqi.
Uniknya, meskipun Syauqi dan Suryana tergabung dalam satu tim, tapi Suryana mengaku sebetulnya takut dengan hewan melata ini. Suryana pun menceritakan bahwa jelang pengajuan proposal wirausaha, Syauqi menelponnya.
"Kalau saya kan ada pengalaman di bidang logistik, jadi diajak join pengembangan kelompok ini. Saya jadi tertarik, awalnya memang takut. Terus dikasih tahu kalau ular itu yang paling bagus saat punya kecatatan di fisiknya. Mereka bisa dikawinkan, jadi menarik untuk mixnya, lebih seru permainan genetikanya," cerita Suryana.
Sebagai orang awam yang tak tahu soal dunia memelihara hewan, ia pun mengaku cukup kaget dengan harga-harga penjualan yang bisa 2-3 kali lipat lebih besar dari harga belinya. Hal ini cukup membuatnya bersemangat sambil belajar berwirausaha.
"Saya juga tidak nyangka, karena harganya berapa, tapi kok besarnya cuma segini? Jadi valuenya itu besar. Apalagi saya jadi tahu budidaya ular itu memang sulit apalagi kalau di kota. Jadi itu yang bikin mahal juga," ucap Suryana.
Baru beberapa bulan menjajal usaha ini, mereka mengaku belum dapat keuntungan sama sekali. Meski begitu, semangat keduanya tak surut sebab sudah dapat pendanaan yang harus dipertanggung jawabkan.
Banyak hal yang masih dipelajari oleh Suryana dan Syauqi, salah satunya yakni teknik memberi makan yang susah-susah gampang. Suryana pun menceritakan kalau berburu pangan untuk ular, lebih mudah dilakukan di kampungnya yakni di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
"Terus untuk membuat ular bertelur, itu juga lebih mudah di desa. Mungkin karena kalau di kota itu lebih panas, jadi gampang infertil. Nah karena saya orang awam, ngasih makan ular itu juga agak sulit. Agak geli harus ngasih makan kodok, kalau kadal dan tikus sih masih oke. Belum lagi kalau ularnya pilih-pilih makanan," cerita Suryana sambil tertawa.
"Iya, jadi ada kalanya ular itu sulit ditebak mau makan apa. Dia dikasih makan kan seminggu sekali, misalnya udah dicariin kodok, ternyata nggak mau. Pernah dapat kadal itu kan agak mahal sampai belasan ribu per ekor, malah diajak jadi teman di dalam kandang itu. Jadi harus cari lagi tikus," cerita Syauqi menimpali.
Hal ini yang membuat dalam budidaya ular tak boleh sembarangan, mereka juga harus membudidayakan pakannya juga. Agak repot memang, tapi bisa sangat membantu kalau musim kemarau mereka kesulitan dapat hewan tertentu seperti kodok.
Ambisi Mengedukasi Masyarakat
Sebagai pegiat reptil, Syauqi membenarkan bahwa hanya ada dua cara untuk membedakan ular berbisa atau tidak. Pertama, melihat dari jarak aman apakah ular tersebut bertaring atau tidak. Kedua, mengenali jenis ular berbisa.
Hal inilah yang membuat Syauqi punya ambisi untuk memperkenalkan jenis-jenis ular ke masyarakat awam. Hal tersebut demi membuat warga aware dan bisa mempedulikan keseimbangan rantai makanan.
"Tiap manusia lihat ada ular di alam, kebanyakan langsung dibunuh. Kalau ular itu menjalar sampai ke pemukiman memang sebaiknya dibunuh, makanya edukasi ke masyarakat itu penting. Supaya mereka tahu mana ular lokal yang berbisa, mana yang membantu petani membasmi hama," harap Syauqi.
Sebab, jika hama dibasmi dengan menggunakan racun maka akan berpotensi meningkatkan resistensi hama. Sementara kalau memasang perangkap, maka akan membahayakan para petani.
"Jadi memang sebaiknya menjaga alam, mengenali ular yang berbisa dan satwa seperti elang, burung, harus dijaga dan dimanfaatkan. Pengetahuan masyarakat tentang ular itu harus dinormalisasi, supaya mereka lebih tenang melihat ular, jadi bisa mengatasinya. Negara lain yang banyak ularnya, seperti di Florida itu biasa menangani dengan santai, jadi kita harus menyembuhkan trauma dan edukasi," sambungnya.
Kalau sudah mengenal jenis-jenis ular bisa rendah hingga tinggi, nantinya warga akan mulai memahami bahwa pecinta ular dapat jadi pasar komunitas yang menjanjikan. Ular lokal akhir-akhir ini pamornya meningkat di kalangan kolektor ular.
Salah satunya yang dibudidayakan Syauqi dan Suryana, yakni Ular Pohon. Mereka punya Ular Pohon yang warna aslinya gelap menyerupai kayu pohon. Namun secara tak sengaja mereka menemukan Ular Pohon yang kelainan, karena punya warna kulit lebih cerah.
"Nah ini baru coba kita silangkan. Jadi kita ingij mengenalkan kalau dulu ular luar terkenal punya corak bagus. Tapi ular lokal sebetulnya bisa lebih bagus. Seperti Sanca Batik, di Indonesia banyak dibunuh. Tapi begitu dibawa ke Barat, dikembangkan jadi bagus. Dibawa ke sini jadi mahal," ceritanya.
"Jadi memang ular lokal ini kami harus rajin nyari, misal ada yang suka nangkepin ular kita cari satu-satu, kalau rasanya agak aneh terus kalau dirawat potensial bagus, ya dibeli. Harga beli Rp40-100 ribu, pasaran ketika baru menetas Rp15-10 ribu, kalau sudah dewasanya Rp30-400 ribu," sambung Syauqi.
Budidaya ular ini memang perlu kesabaran karena memakan waktu cukup lama. Mulai dari masa kawin sampai bertelur harus terus dirawat kurang lebih lima bulan lamanya. Tapi ide bisnis unik ini belum banyak yang menggeluti, sehingga berpotensi cuan besar. Jadi, detikers terinspirasi untuk punya usaha serupa?
Simak Video " Video: Pengungkapan Ruko Kasino di Bandung, 44 Orang Jadi Tersangka"
[Gambas:Video 20detik]
(aau/mso)