Gigitan ular yang berujung nyawa manusia melayang kerap terjadi di Indonesia. Sekadar diketahui, Indonesia memiliki sekitar 350 hingga 370 spesies ular, dan 77 di antaranya adalah ular berbisa.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam Buku Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa dan Keracunan Tumbuhan dan Jamur (2023) mengungkapkan bahwa tiap tahunnya diperkirakan ada sekitar 135.000 kasus gigitan ular, dengan tingkat kematian mencapai 10% per tahun. Angka-angka tersebut berasal dari laporan 10 tahun terakhir oleh Indonesia Toxinology Society.
Gigitan ular seringkali merupakan bahaya terkait pekerjaan, terutama di daerah pedesaan. Tubuh manusia yang paling sering menjadi target gigitan ular yakni pada kaki bagian bawah, pergelangan kaki, dan telapak kaki.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan buku tersebut, profesi atau pekerjaan yang berisiko tinggi digigit ular di Indonesia meliputi:
Pekerjaan |
Petani |
Pekerja perkebunan |
Gembala |
Nelayan |
Penjaga suaka margasatwa |
Pegawai rumah makan ular |
Orang yang menangani ular dan kolektor kulit ular |
Pemelihara dan pedagang ular |
Pemain atraksi ular |
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan dalam studi herpetologi (cabang ilmu yang mempelajari ular), salah satu cara umum untuk membedakan ular berbisa dan tidak berbisa adalah dengan melihat keberadaan sisik loreal. Ular dari kelompok Colubridae (ular tidak berbisa) biasanya memiliki sisik loreal, yang terletak di antara mata dan lubang hidung. Sebaliknya, pada sebagian besar ular berbisa, sisik ini tidak ada, sehingga bagian depan mata langsung menempel pada sisik di depan hidung.
"Ular berbisa memiliki tool atau alat yang digunakan untuk menginjeksi atau menghantarkan bisanya ke mangsa atau ke musuhnya. Alat ini disebut taring, jadi ular yang berbisa pasti memiliki gigi taring/bisa. Gigi taring bisa terletak di belakang, bisa dilipat atau tidak dilipat. Ukuran gigi bisa sangat besar, dibandingkan gigi-gigi lainnya," tutur Amir Hamidy, Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan-BRIN sebagaimana dikutip detikJabar dari situs resmi BRIN yang diakses pada Rabu (28/5/2025).
Membedakan Gigitan Ular Berbisa dan Tidak Berbisa
![]() |
Membedakan gigitan ular berbisa dan tidak berbisa sangat penting untuk penanganan awal yang tepat. Identifikasi ini dapat dilakukan berdasarkan pola luka gigitan dan, jika memungkinkan, karakteristik fisik ular itu sendiri. Mengutip dari Buku Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa dan Keracunan Tumbuhan dan Jamur (2023), berikut penjelasannya.
Berdasarkan Tanda Gigitan
- Gigitan Ular Tidak Berbisa: Ditandai dengan luka yang berbentuk robekan atau lecet pada kulit, digambarkan sebagai 'robekan dan babras. Ini menunjukkan bahwa gigi ular non-berbisa meninggalkan jejak yang lebih dangkal dan menyebar.
- Gigitan Ular Berbisa: Ditandai dengan luka tusukan yang jelas, disebut 'vulnus ictum'. Jumlah tusukan dapat bervariasi, mulai dari satu hingga tidak terbatas, karena adanya variasi gigi taring ular dan kemampuannya untuk mengunyah. Sebagai contoh, gigitan Calloselesma rhodostoma dapat menunjukkan 4 tusukan, sementara gigitan King Kobra bisa lebih dari 7 tusukan. Adanya luka tusukan yang dalam mengindikasikan penetrasi taring yang membawa bisa.
Sekadar diketahui, beberapa jenis ular berbisa yang ditemukan di Indonesia antara lain Kobra Jawa (Naja sputarix), Kobra Sumatera (Naja sumatrana), Weling (Bungarus candidus), Ular Tanah (Calloselesma rhodostoma), Viper-Pohon Barat (Trimeresurus albolabris), Viper-Russel Siam (Daboia siamensis), Dead-Adder Papua (Acanthophis Laevis), King Kobra (Ophiophagus hannah), Welang (Bungarus fasciatus), Welang Kepala-Merah (Bungarus flaviceps), Ular Cabe-Besar (Calliophis bivirgata), Ular-Cabe Kecil (Calliophis intestinalis).
Tabel 1: Perbandingan Gigitan Ular Berbisa dan Tidak Berbisa Berdasarkan Bekas Luka
Jenis Ular | Karakteristik Bekas Gigitan | Jumlah Tusukan |
Ular Tidak Berbisa | Robekan dan babras | Tidak ada tusukan taring yang jelas |
Ular Berbisa | Tusukan (vulnus ictum) | 1 hingga tidak terbatas (misalnya, 4 pada Calloselesma rhodostoma, >7 pada King Kobra |
Identifikasi Jenis Ular
Meskipun karakteristik fisik ular (kelenjar bisa, gigi taring) dapat membedakan jenis berbisa, dalam praktik klinis, pasien seringkali tidak membawa ular yang menggigit (baik hidup maupun mati), tidak mengetahui jenisnya, atau tidak dapat menjelaskan morfologinya dengan jelas. Kondisi ini menjadikan identifikasi langsung berdasarkan spesimen ular menjadi sulit. Sebab itu, tenaga medis perlu mengandalkan pola gigitan, dan yang lebih penting, sindrom klinis yang timbul akibat keracunan bisa ular untuk menegakkan diagnosis dan memberikan pertolongan yang tepat.
Youtuber reptil, Panji Petualang mengungkap bahwa ular berbisa tidak bisa dibedakan dari fisiknya saja. Menurutnya, ada banyak jenis ular dengan ciri yang disebut tidak berbisa, padahal berbisa. Menurut Panji, cara paling tepat untuk membedakan ular berbisa ataupun tidak ialah dengan mengetahui setiap jenis ular, terutama yang ada di Indonesia dan kerap ditemukan di sekitar pemukiman.
"Ya cara paling benar, ketahui jenis ular. Mana ular yang tidak berbisa dan berbisa. Termasuk mana yang berbisa tidak berbahaya, yang bisanya sedang, hingga bisa mematikan. Informasi di internet banyak, termasuk di konten saya pun sering kali menjelaskan mana saja ular yang berbahaya," tuturnya.
Panji menyebut jika informasi salah tersebut dibiarkan tanpa diluruskan, maka akan berbahaya bagi masyarakat. Hal yang paling fatal tentunya warga kehilangan nyawa gegara salah akibat kurangnya pengetahuan dan salah dalam penanganan.
"Dikhawatirkan masyarakat begitu saja tangkap ular tanpa alat bantu, karena mengira ularnya tidak berbahaya berdasarkan informasi ciri-ciri yang salah, sehingga ditangkap pakai tangan kosong padahal ularnya itu beracun. Risikonya tentu bisa berujung kematian jika tidak segera ditangani secara medis," ujar Panji.
Pertolongan Pertama Gigitan Ular
![]() |
Penanganan awal setelah gigitan ular harus dilakukan sesegera mungkin, bahkan sebelum pasien tiba di fasilitas pelayanan kesehatan. Tujuan utamanya adalah meminimalkan penyerapan dan penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh.
Apa saja yang boleh dan tidak boleh saat melakukan pertolongan kepada orang yang digigit ular? Mengutip dari Buku Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa dan Keracunan Tumbuhan dan Jamur (2023), berikut ulasannya.
Tabel 2: DO'S dan DON'TS Pertolongan Pertama Gigitan Ular
Kategori | Tindakan | Alasan |
DO'S / Direkomendasikan | Imobilisasi: Buat bagian tubuh yang tergigit tidak bergerak dengan bidai (kayu, bambu, kardus) atau sling (kain/selendang). | Meminimalkan penyerapan dan penyebaran bisa. |
Pressure Bandage Immobilization (PBI): Terapkan bebat elastis dan imobilisasi untuk gigitan neurotoksin (Elapidae) atau Russell's viper. | Efektif mengurangi penyebaran bisa neurotoksin. | |
Gunakan Snake Bite Kit: Berisi bidai, elastic bandage, plester kertas, pena, mitella, perban. | Memastikan ketersediaan alat yang tepat untuk pertolongan pertama. | |
DON'TS / Tidak Direkomendasikan | Menyedot/Mengeluarkan Darah: Jangan menyedot atau mengeluarkan darah dari luka gigitan. | Menimbulkan lebih banyak risiko daripada manfaat; dapat memicu infeksi dan mempercepat penyebaran bisa. |
Membuat Sayatan: Jangan membuat sayatan pada luka gigitan. | Memperparah luka, meningkatkan risiko infeksi sekunder, dan mempercepat absorpsi bisa. | |
Mengaplikasikan Bahan Asing: Hindari memberikan cairan tanah, obat tradisional, atau tanaman yang tidak jelas efek farmakologinya. | Tidak ada bukti ilmiah manfaatnya, dapat menyebabkan infeksi, dan memperlama penanganan medis yang tepat. | |
Memijat Area Gigitan: Jangan memijat area yang tergigit. | Dapat meningkatkan penyebaran bisa ke seluruh tubuh. | |
Memberi Batu Hitam/Kejutan Listrik: Hindari praktik ini. | Tidak ada bukti ilmiah manfaatnya dan dapat memperburuk kondisi. | |
Menusuk dengan Jarum/Mengikat: Jangan lakukan tusukan dengan jarum atau mengikat area gigitan. | Mengikat dapat menyebabkan kerusakan jaringan parah dan meningkatkan konsentrasi bisa di area lokal. | |
Mengompres dengan Es: Jangan mengompres luka dengan es. | Dapat memperburuk kerusakan jaringan. |
Di Indonesia, masyarakat dapat menghubungi sistem Public Safety Center (PSC) seperti 119, 118, atau 112 untuk bantuan darurat. Petugas Call CenterPSC 119 akan memberikan panduan pertolongan pertama yang sesuai dan segera mempersiapkan tim ambulans menuju lokasi kejadian. Tim ambulans akan melanjutkan pertolongan di lokasi sesuai prosedur dan merujuk pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan yang kompeten untuk penanganan definitif.
(bbp/iqk)