Dalam situasi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) sering terdengar frasa 'serangan fajar'. Tatkala mendengarnya, terbayang sebuah tindakan yang dilakukan tiba-tiba di waktu fajar.
Bayangan itu tidak keliru. Namun, serangan fajar politik yang muncul di musim Pemilu, tak terkecuali Pemilu 2024, bernada rompes.
Serangan fajar politik identik dengan perilaku korupsi, yaitu money politics alias politik uang. Serangan fajar ini umumnya dilakukan tim sukses caleg, pasangan capres-cawapres, atau calon kepala daerah agar banyak orang yang memilih calon tersebut pada saat pencoblosan Pemilu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tindakan ini merupakan tindakan yang dilarang oleh Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Namun, sebelum lebih jauh membahas landasan hukum yang melarang serangan fajar, ada baiknya detikers mengetahui asal-usul serangan fajar politik.
Dari Bahasa Militer
Serangan fajar, menurut laman Pusat Edukasi Antikorupsi, aclc.kpk.go.id, adalah frasa yang datang dari kalangan militer.
Frasa itu mengisyaratkan bahwa tentara menyergap dan menguasai daerah yang ditargetkan. Serangan ini dilakukan tentu secara mendadak. Dan umumnya, dengan serangan seperti ini, tentara banyak meraih keberhasilan.
Taktik ini lalu diadopsi ke dunia politik. Dilakukan agar para caleg, capres-cawapres, maupun calkada menang dengan efektif tanpa bersusah-susah menampilkan integritas.
"Untuk itulah praktik ini diadopsi di pemilihan oleh para caleg atau calon pemimpin culas," tulis laman tersebut.
Yang menjadi target dalam serangan fajar adalah orang-orang yang sudah punya pilihan pasti (core voters) dan yang masih bimbang atau mengambang untuk memilih siapa (swing voters). Namun, swing voters cenderung menjadi sasaran karena partai-partai tidak ingin berspekulasi dengan pemilih loyal.
Sayangnya, tulis laman tersebut, mengutip Burhanudin Muhtadi dalam buku Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru (2020), kajian-kajian tentang politik uang banyak yang tidak berdasar bukti.
Bentuk-bentuk Serangan Fajar
Serangan fajar yang dalam kata lain politik uang, tidak berarti pemberian 'suap' dalam bentuk uang saja. Namun dalam bentuk lain seperti sembako, termasuk pernak-pernik perlengkapan rumah tangga seperti sabun colek.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memerinci bahwa politik uang bisa berupa tiga hal:
1. Uang
Namanya politik uang, sudah pasti uang menjadi instrumen utama. Uang dipilih karena bobotnya yang ringan sehingga mudah dibawa ke mana saja. Uang juga mudah disembunyikan.
Tim sukses umumnya memberikan uang sebagai alat tukar dengan suara yang dicoblos di TPS. Nilai nominal yang diberikan sangat beragam antara Rp 25.000 hingga ratusan ribu.
2. Sembako
Bahan-bahan masakan yang terhimpun dalam sembilan bahan pokok (Sembako) juga menjadi bagian dari politik uang, jika sembako diberikan tim sukses caleg, capres-cawapres, atau calkada di saat-saat Pemilu.
Namun, sembako serangan fajar bisa dibedakan dengan sembako lainnya. Yakni, dapat dipastikan ada stiker bergambar calon yang berkontestasi pada Pemilu. Misalnya, beras, minyak, gula pasir, dan sebagainya yang dikemas dengan stiker atau identitas calon lainnya.
3. Barang Rumah Tangga
Beragam cara dilakukan untuk mengaburkan praktik politik uang atau serangan fajar saat Pemilihan Umum (Pemilu). Selain dengan sembako, suap Pemilu juga dilakukan dengan pembagian barang rumah tangga kepada calon pemilih.
Misalnya, sabun colek, sabun cuci piring, sabun mandi, dan lain-lain. Tak lupa, identitas calon yang berkontestasi pada Pemilu tersemat pada bungkus-bungkus barang tersebut.
Serangan Fajar Melanggar Hukum
Serangan fajar dengan membagikan uang, sembako, dan barang lainnya pada calon pemilih adalah tindakan yang memicu korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut politik uang ini sebagai induk korupsi.
Karenanya, Undang-undang mengatur tentang pelarangan politik uang saat Pemilihan Umum (Pemilu). Ancamannya pidana. KPK sendiri sejak tahun 2023 telah menggaungkan gerakan "Hajar Serangan Fajar" untuk menyadarkan sebanyak mungkin warga tentang bahaya politik uang.
Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan dengan tegas "setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah dipidana penjara paling lama tiga tahun dengan denda paling banyak Rp36 juta".
Pada Pasal 523 ayat 1-2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan "setiap pelaksana, peserta, dan/atau Tim Kampanye Pemilu -dan masa tenang- yang dengan sengaja menjanjikan/memberikan uang/materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung/tidak langsung diancam pidana penjara maksimal 2-4 tahun, denda maksimal Rp24-48 juta."
Ayat 3 Undang-undang tersebut "Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana paling lama tiga tahun dan denda sebanyak Rp36 juta.
Landasan hukum lainnya, yaitu Pasal 187 A ayat 1 dan 2 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Yakni, yang secara langsung atau tidak langsung melakukan perbuatan melawan hukum dengan memberi imbalan untuk memengaruhi pemilih saat pemilu dipidana paling singkat 36 bulan penjara dan denda Rp200 juta hingga Rp 1 miliar.