Sampah plastik jadi masalah serius yang tak kunjung tuntas. Sebab sampah plastik memerlukan waktu sangat lama agar terurai.
Berangkat dari hal itu, tiga mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) menggagas ide mengubah sampah plastik menjadi listrik. Ketiganya bahkan memenangkan kompetisi paper tentang pengadaan energi listrik dari sampah atau Waste to Energy (WTE).
Ketiganya adalah Earron Keane Woen, Christopher Abigail Surya, dan Catherine Nathania Christianto. Melalui paper berjudul 'Manfaat Pengolahan Sampah Plastik Menjadi Energi Listrik', mereka memenangkan kompetisi HVL National Competition.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masih dengan gagasan yang sama, mereka juga menganalisis manfaat peluang ekonomi sistem WTE dan memenangkan kompetisi International Competition UI Youth Environmental Action.
Tidak hanya soal sampah, gagasan tiga mahasiswa ITB itu tercipta dari masalah keterbatasan suplai listrik yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Christopher mengatakan, gagasan yang mereka usulkan dalam dua kompetisi tersebut yakni pemanfaatan pembakaran sampah plastik dengan sistem tertutup yang minim polusi.
"Panas hasil pembakaran kemudian akan digunakan untuk memanaskan air sehingga uap air yang terbentuk dapat menggerakkan turbin generator pembangkit listrik," kata Cristopher dalam keterangannya yang dikutip detikJabar, Rabu (14/12/2022).
"Sisa asap pembakaran juga dapat dikondensasikan ulang untuk diubah menjadi biofuel dan produk sampingan lainnya," ujarnya menambahkan.
Menuturnya, sistem WTE tersebut cocok diterapkan di Indonesia. Sebab menurut data BPS, di tahun 2019 Indonesia menjadi negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia setelah Cina.
"Oleh karena itu sistem WTE ini tidak akan kehabisan raw materials, melainkan akan mengurangi sampah berbahaya yang sulit terurai, membantu mengatasi pemanasan global, dan menaikkan ekonomi negara," jelas Christopher.
Tiga mahasiswa yang tergabung dalam Tim Piwpiw ini juga telah menganalisis potensi besaran energi listrik yang mampu dihasilkan dari sistem WTE. Hasilnya kemudian digunakan untuk mengkalkulasikan pengurangan subsidi pemerintah untuk penyediaan listrik.
Ketiganya juga mengusulkan kerja sama sektor privat yang menggunakan WTE dengan PLN agar penyediaan listrik lebih efektif dan efisien. Selain itu, produk sampingan sistem WTE juga dinilai sebagai potensi ekonomi yang menjanjikan dalam perspektif pasar nasional.
Tim Piwpiw menganggap sistem ini sudah layak untuk diterapkan karena hingga saat ini bahan bakunya sangat melimpah. Sistem yang dipakai juga tidak terlalu kompleks. Mereka menyebut beberapa negara seperti Singapura, Swedia, dan Nigeria berhasil mengadopsi sistem ini lebih dulu.
"Untuk kelayakan, sebenarnya layak, karena teknologi yang dibutuhkan juga sudah ada yaitu PLTSa. Hanya saja perlu dimodifikasi menjadi sistem tertutup dan ditambah mesin pyrolysis. Uap turbin generator juga menghasilkan produk-produk berguna dengan net zero carbon emission," ungkap Earron.
Meski gagasan itu sudah matang, namun sistem WTE tersebut masih menyimpan beberapa tantangan besar untuk diimplementasikan di Indonesia, salah satunya kesadaran dan perubahan pola pikir masyarakat dan juga soal modal.
Baca juga: Kamera Penghitung Bobot Ayam ala ITB |
"Kalau sistem WTE ini tantangannya berupa modal yang dibutuhkan serta kerja sama pemerintah, masyarakat, dan swasta. Selain itu, yang perlu diperbaiki mulai sekarang adalah perilaku masyarakat soal kedisiplinan mereka dalam memilah sampah," ucap Earron.
"Karena masing-masing jenis sampah menghasilkan produk sampingan yang berbeda ketika dibakar," ujar Catherine mengakhiri.
Simak juga 'Biodegradable, Solusi Atasi Permasalahan Sampah Plastik':