KH Ahmad Sanusi, Diasingkan Belanda Sebelum Jadi Pahlawan Nasional

KH Ahmad Sanusi, Diasingkan Belanda Sebelum Jadi Pahlawan Nasional

Siti Fatimah - detikJabar
Jumat, 04 Nov 2022 08:17 WIB
Profil KH Ahmad Sanusi yang Bergelar Pahlawan Nasional di 2022
Profil KH Ahmad Sanusi yang Bergelar Pahlawan Nasional di 2022 (istimewa)
Sukabumi -

Nama KH Ahmad Sanusi masuk dalam daftar lima tokoh yang dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 2022 ini. Hal itu disampaikan oleh Menteri Polhukam Mahfud Md selaku Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Mahfud menjelaskan, almarhum Kiai Ahmad Sanusi merupakan salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang belum mendapat gelar pahlawan nasional. Beliau juga tokoh Islam yang memperjuangkan dasar negara yang menghasilkan kompromi lahirnya negara Pancasila.

Dikutip dari berbagai jurnal ilmiah, KH Ahmad Sanusi lahir pada 3 Muharam 1036 Hijriah atau 18 September 1889 di Kampung Cantayan, Desa Cantayan, Kecamatan Cantayan, Kabupaten Sukabumi. Ia merupakan tokoh agama yang akrab dikenal sebagai Ajengan Genteng dengan ciri khas peci hitam yang sering digunakan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat berusia 7 tahun, Ahmad Sanusi membekali dirinya dengan ilmu agama dari sang ayah KH Abdurrahim bin H. Yasin, kemudian dilanjut menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain hingga ke Tanah Suci Mekkah. Hingga pada akhirnya, ia mendirikan pesantren di Kampung Genteng dengan nama Pesantren Babakan Sirna.

Sebagai seorang pejuang yang gigih dalam menentang kekuasaan Belanda, sosok Ahmad Sanusi turut andil dalam mendirikan negara Republik Indonesia. Tak banyak yang tahu, ia pernah ditahan dan diasingkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

ADVERTISEMENT

Tepatnya pada bulan Agustus 1927, Ahmad Sanusi difitnah terlibat dalam insiden perusakan dua jaringan kawat telepon yang menghubungkan Sukabumi, Bandung, dan Bogor. Peristiwa tersebut dijadikan bukti dan alibi pemerintah Hindia Belanda untuk menangkap dan menahan Ahmad Sanusi, karena jaraknya yang tak jauh dari pesantren Genteng, pesantren yang ia pimpin.

Beliau dimasukkan ke penjara Cianjur selama sembilan bulan sampai Mei 1928. Tak cukup sampai di situ, Ahmad Sanusi yang saat itu berusia 39 tahun dipindahkan ke penjara di Kota Sukabumi sampai bulan November 1928.

Selama sebelas bulan itu, Ahmad Sanusi diinterogasi oleh pemerintah Belanda, tetapi faktanya tak ada satu pun bukti yang menyatakan dirinya terlibat dalam peristiwa perusakan jaringan telepon tersebut.

Gubernur Jenderal saat itu, B. C. de Jonge tetap mengeluarkan keputusan untuk mengasingkan Ahmad Sanusi ke Tanah Tinggi di Batavia Centrum. B. C. de Jonge menilai, keputusan itu untuk menjaga ketentraman umum karena pemikiran-pemikiran Ahmad Sanusi yang dianggap berpotensi menumbuhkan semangat revolusioner dan nasionalisme bagi masyarakat.

Selama dipengasingan, Ahmad Sanusi tidak pernah mengalami kesulitan. Pasalnya biaya hidup Ahmad Sanusi selama di penjara dibantu oleh H. Abdullah. Setelah bebas, Sanusi kembali ke Sukabumi.

Ahmad Sanusi juga tak terpuruk menyesali keadannya itu. Ia bangkit dan semangat untuk membuktikan jika dirinya merupakan ulama yang produktif dalam menulis kitab.

Kitab-kitab yang ditulisnya rata-rata berasal dari permintaan masyarakat untuk membahas dan mengkaji permasalahan yang berkembang saat itu. Misalnya seperti permasalahan sosial, keagaaman dan negara.

Berselang beberapa tahun kemudian, Ahmad Sanusi tinggal di Gunung Puyuh dan mendirikan Pesantren Syamsul Ulum pada 1934. Sepuluh tahun berselang, tahun 1944, saat Jepang masuk ke Indonesia, Ahmad Sanusi diangkat menjadi Foku Shuchohan (Wakil Residen wilayah Bogor). Setelah itu, Ahmad Sanusi diangkat sebagai anggota BPUPKI.

Pernyataan penting Ahmad Sanusi dalam sidang-sidang BPUPKI terdapat dalam sidang pleno 10 Juli 1945 ketika membahas bentuk negara kelak setelah Indonesia merdeka. Saat itu, Ahmad Sanusi menjadi penengah antara Mr. Soesanto dan Prof. Muhammad Yamin.

Mr. Soesanto mengusulkan agar Negara itu berbentuk Kerajaan. Usulan ini di tentang oleh Prof. Muhammad Yamin dari kelompok Nasionalis yang menghendaki bentuk Negara itu Republik. Di sanalah secara total Ahmad Sanusi memberikan gagasannya mengenai bentuk Negara dari perspektif Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Hadist.

Menurutnya, sebaiknya Negara Indonesia ini berbentuk Imamat yang dipimpin oleh imam. Dengan kata lain berbentuk Republik yang dipimpin oleh seorang Presiden.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads