Profil dan Kiprah KH Ahmad Sanusi, Pahlawan Nasional dari Sukabumi

Profil dan Kiprah KH Ahmad Sanusi, Pahlawan Nasional dari Sukabumi

Siti Fatimah - detikJabar
Jumat, 04 Nov 2022 07:33 WIB
Profil KH Ahmad Sanusi yang Bergelar Pahlawan Nasional di 2022
Profil KH Ahmad Sanusi yang Bergelar Pahlawan Nasional di 2022 (istimewa)
Sukabumi -

Profil KH Ahmad Sanusi menarik untuk diketahui. Sosok ajengan asal Sukabumi ini merupakan satu dari lima tokoh yang dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah Indonesia di tahun 2022.

KH Ahmad Sanusi lahir pada 3 Muharam 1036 Hijirah atau 18 September 1889 dalam kalender Masehi. Dia merupakan putra daerah asal Kampung Cantayan, Desa Cantayan, Kecamatan Cantayan, Kabupaten Sukabumi.

Tumbuh di dalam keluarga Islami, Ahmad Sanusi kecil mendapatkan pendidikan agama pertamanya secara tradisional dari sang ayah, KH Abdurrahim bin H. Yasin, keturunan Syekh Abdul Muhyi (penyebar agama Islam di Tasikmalaya). Menginjak usia dewasa, ia melanjutkan pendidikannya ke beberapa pondok pesantren di Jawa Barat seperti Cianjur, Garut dan Tasikmalaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selama empat tahun lebih, Ahmad Sanusi menjadi santri di berbagai daerah. Ia kembali ke Sukabumi atas saran dari KH Suja'i dan diperintahkan untuk pergi ke Pesantren Babakan Selawi Sukabumi di bawah pimpinan Ajengan Affandi. Di pesantren inilah, Ahmad Sanusi mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Siti Djuwariyah.

Sekitar tahun 1910, Ahmad Sanusi bersama istrinya pergi ke Mekkah untuk melanjutkan belajar ilmu agama. Di Tanah Suci, ia berguru kepada ulama-ulama besar seperti Shaikh Salih Bafadil, Shaikh Ali Maliki al-Tayyibi dan lain-lain khususnya ulama bermadzhab shafi'iyyah. Ia juga bertemu dengan tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida.

ADVERTISEMENT

Mendirikan Pesantren Genteng

Pada Juli 1915, Ahmad Sanusi memutuskan untuk kembali ke Pesantren Cantayan untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Kemudian, sang ayah mendorong Ahmad Sanusi untuk mendirikan pesantren di kampung Genteng yang dinamakan Babakan Sirna. Dari situlah sebutan Ajengan Genteng tersemat pada diri Ahmad Sanusi.

Santri pertamanya tak lain adalah santri di pesantren ayahnya. Di pesantren Genteng, dia sering membuka diskusi mengenai persoalan pemikiran keagamaan yang berkaitan dengan gerakan pembaharuan.

Selama menjadi pimpinan pesantren, Ahmad Sanusi menjadi seorang Kyai sekaligus penulis beragam disiplin ilmu mulai dari masalah fikih, tauhid, tasawuf dan tafsir Al-Qur'an. Beberapa karyanya yang mahsyur di kalangan cendekiawan yaitu Tahdir al-Awam min Mardiyyah di Mukhtasir al-Furu al-Shafi'i, Siraj al-Azkiyya, Malja' al-Talibin, Raudat al-Irfan fi Ma'rifat Al-Qur'an dan lain-lain.

Aktif di Dunia Politik

Sebagai seorang pemikir dan pejuang yang gigih dalam menentang kekuasaan Belanda, Ahmad Sanusi juga melibatkan dirinya dalam merumuskan berdirinya negeri. Sejarah mencatat, Ahmad Sanusi diangkat sebagai anggota BPUPKI dan berjuang bersama tokoh-tokoh lainnya.

Pernyataan penting Ahmad Sanusi dalam sidang-sidang BPUPKI terdapat dalam sidang pleno 10 Juli 1945 ketika membahas bentuk negara kelak setelah Indonesia merdeka. Saat itu, Ahmad Sanusi mengusulkan bentuk negara Indonesia adalah imamat, yang tak lain bentuk Republik.

Usulan itu diambil dari perspektif Al-Qur'an. Menurutnya, sebaiknya Negara Indonesia ini berbentik Imamat yang dipimpin oleh imam, dengan kata lain berbentuk Republik yang dipimpin oleh seorang Presiden.

Ahmad Sanusi juga diangkat sebagai anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), anggota Dewan Penasehat Daerah Bogor (Giin Nogor Shu Sangi Kai) dan Wakil Residen Bogor (Fuku Syucokan).

Dia juga yang membentuk Tentara PETA (Pembela Tanah Air), BKR (Badan Keamanan Rakyat) Sukabumi, KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Kotapraja Sukabumi dan bersama Mr. Syamsuddin diangkat sebagai pengurus Jawa Hokokai (Kebangkitan Jawa).

Kiprah di Bidang Kemasyarakatan

Di tengah kesibukannya di dunia politik, Ahmad Sanusi tetap menjalankan tugasnya sebagai Kyai pesantren. Perjuangannya berlanjut ketika ia terlibat dalam kegiatan politik dengan menjadi anggota Sarikat Islam Cabang Sukabumi dan pendiri organisasi AII (Al-Ittihad Al-Islamiyah) yang sempat dibubarkan Jepang dan berdiri lagi dengan nama Persatoean Oemat Islam Indonesia (POII) atau yang lebih dikenal Persatuan Umat Islam (PUI).

AII ini berazaskan Islam dengan tujuan "Menuju Kebahagiaan Umat dengan mamakai jalan atau madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah." Kegiatan AII diisi dengan pengajian, tabligh, dan mendorong para kyai untuk mendirikan madrasah-madrasah.

Punya Ratusan Karya

Sosok ulama Nusantara ini berperan penting dalam perkembangan intelektualisme Sunda. Kiprahnya juga cukup penting dalam pergerakkan Islam sehingga mampu menjadi jembatan antara kelompok Islam tradisonalis dan modernis.

Gagasan pemikiran Ahmad Sanusi banyak dituangkan ke dalam dunia tulis menulis sehingga beliau terkenal sebagai Kyai yang sangat produktif. Mulai dari kitab fikih, kitab tafsir dan ulum Al-Qur'an, kitab tauhid, kitab hadist, kitab bahasa arah, kitab akhlak dan lain-lain.

Pihak keluarga menyebutkan, karangan lainnya yang belum tercatat baik dalam bentuk manuskrip ataupun sudah tercetak diperkirakan jumlahnya sekitar 400-an judul kita. Sayangnya, kitab-kitab itu berada di tangan perorangan, di perpustakaan negara Belanda atau tempaf lain yang membutuhkan waktu penelitian.

Wafat Diusia 63 Tahun dan Namanya Diabadikan di Kota Sukabumi

Ahmad Sanusi wafat pada umur 63 tahun di Pesantren Gunung Puyuh. Beliau mendapatkan pengahargaan sebagai perintis kemerdekaan dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Soeharto, Bintang Maha Putra Adipradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 November 2009.

Namanya diabadikan oleh Pemerintah Kota Sukabumi menjadi salah satu nama Terminal dan jalan di kota Sukabumi, yang menghubungkan antara jalan Cigunung sampai Degung dengan nama jalan KH. A. Sanusi.

(yum/yum)


Hide Ads