Nama Hadjarudin Supiana amat asing di telinga warga Kabupaten Bandung Barat (KBB), kalah tenar dibandingkan Plt Bupati KBB Hengky Kurniawan, maupun dua pendahulunya yakni Aa Umbara dan Abubakar.
Namun jangan pernah mengerdilkan peran pria yang karib disapa Ki Hadjar itu. Di balik wajahnya yang sudah keriput digerogoti waktu, ia begitu berjasa mendidik dan mencetak generasi muda dengan ilmu yang disampaikannya.
Hadjar yang kini berusia 75 tahun, sudah setengah abad lebih menjadi guru honorer di tapal batas antara Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur. Lokasinya amat pelosok, jangan bayangkan bisa dicari melalui aplikasi Google Maps.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sosok pria bersahaja dan sederhana itu masih terdata sebagai guru honorer di SD Negeri Babakan Sirna, Desa Cilangari, Kecamatan Rongga, Bandung Barat. Di sekolah dasar itu pula, sebagian usianya dihabiskan mengajar anak-anak pelosok Bandung Barat agar melek ilmu pengetahuan.
"Awalnya saya mengajar itu tahun 1970, setelah lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Cianjur. Pindah lagi ke Bandung tahun 1973, baru dari tahun 1986 pindah ke SD Babakan Sirna sampai sekarang," ungkap Hadjar kepada detikJabar di kediamannya, Jumat (17/6/2022).
Selama 52 tahun menjadi guru, status yang tersemat pada dirinya hanya guru honorer. Meskipun berbagai usaha sempat dijajal demi perbaikan nasib menjadi seorang guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) mulai dari Kursus Pendidikan Guru (KPG) pada tahun 1988.
"Tahun itu juga saya sempat ikut tes jadi PNS, tapi gagal. Kalau teman saya ada yang lulus, tapi dibantu 'orang dalam'. Ya akhirnya saya terima nasib begini," tutur Hadjar.
![]() |
Sambil duduk di lantai kayu tempat tinggalnya yang sederhana, Hadjar bercerita soal rutinitasnya mengajar sebagai guru honorer. Menapaki jalan terjal di tempatnya tinggal untuk menuju sekolah tercinta setiap hari. Kurang lebih Hadjar harus menempuh jarak 5 kilometer dari rumah ke sekolahnya.
"Dulu rumahnya dekat sekolah (di Cilangari, KBB), kemudian pindah ke rumah saudara di Cianjur dengan saudara. Kurang lebih setengah jam kalau jalan kaki kadang diantar naik motor oleh anak angkat," ujar Hadjar.
Gaya berpakaiannya pun tak necis-necis amat. Ia hanya mengenakan pakaian batik atau koko secara bergantian. Tak lupa jaket pemberian dari sekolah, tas selempang, dan tentunya peci hitam untuk menutupi rambutnya yang memutih.
Suaranya halus dan lembut, mungkin karena sudah memasuki usia senja kini suara Hadjar tak terlalu jelas. Pun demikian dengan pendengarannya yang mulai agak samar hingga lawan bicaranya mesti agak teriak sedikit.
"Kalau saya bagaimana kepala (sekolah) saja, mau dipakai terus atau tidak. Tapi sekarang juga saya hanya ngajar kelas 3, soalnya ada guru honorer baru," kata Hadjar.
Pernah Dibayar Hanya Rp 10 ribu
Nasibnya sebagai guru honorer di pelosok, jauh dari hingar bingar kota besar dan perhatian pemerintah tak jadi soal buat Hadjar. Kondisi itu seakan jadi indikator betapa 'sengsaranya' hidup hajar sebagai pendidik.
Setengah abad mengabdikan diri menjadi guru, Hadjar bercerita pernah dibayar hanya Rp 10 ribu per bulan saat pertama kali menjadi guru honorer. Tepatnya pada tahun 1970 silam.
"Dulu pernah dibayar Rp 10 ribu, itu juga uang Pak Kepala Desa yang memang kenal sama ayah saya. Jadi uangnya dari uang pribadi," kata Hadjar.
Tahun demi tahun dilewati Hadjar, di tempat yang sama, keadaan yang sama, hanya murid saja yang berbeda. Gajinya mulai bertambah sedikit demi sedikit, hingga kini menyentuh angka Rp 350 ribu perbulan.
"Jadi naik ke Rp 50 ribu, Rp 200 ribu, Rp 300 ribu, sempat Rp 400 ribu. Tapi karena di sekolah ada guru baru, jadi gajinya dipotong Rp 50 ribu, sekarang hanya terima Rp 350 ribu," tutur Hadjar.
![]() |
Tentu angka itu terlalu kecil dibandingkan dengan pengorbanan dan jasanya yang luar biasa besar. Demi menutupi kekurangan untuk sehari-hari, Hadjar juga menyibukkan diri menjadi petani.
"Ya dicukup-cukupkan saja, dari tani juga hanya cukup buat makan. Kebetulan istri sudah enggak ada, hanya punya anak angkat jadi disyukuri saja," ujar Hadjar.
Ketekunan, kesabaran, dan dedikasi Hadjar pada dunia pendidikan membuahkan hasil tatkala ia diganjar penghargaan Guru Daerah Terpencil (Gurdacil) oleh pemerintah setempat dan mendapat uang 'kadeudeuh' sebesar Rp 1,7 juta.
"Dapat Rp 1,7 juta cuma satu kali. Setelah itu enggak ada lagi," kata Hadjar.
Hadjar memberikan pelajaran penting pada semua pihak, betapa belum meratanya kesejahteraan masyarakat Indonesia karena masih banyak orang-orang di pelosok yang belum terperhatikan dan jauh dari kata cukup.
(yum/yum)