Bandung tersohor sebagai kota fesyen di Indonesia. Banyak produk anak muda Bandung yang tak hanya dipasarkan di dalam negeri, namun juga telah merambah hingga pasar mancanegara.
Dari sekian banyak produk fesyen di Bandung, Ame Raincoat menjelma menjadi salah satu brand yang mengusung keunikan tersendiri dalam menyajikan produknya. Ame Raincoat menawarkan produk berupa jas hujan yang didesain mirip jaket agar tetap stylish digunakan anak-anak muda alias generasi milenial.
Ide segar itu ternyata mendapat respons positif dari konsumen dan pasar industri fesyen di Tanah Air. Bahkan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sampai kepincut menggunakan produk Ame Raincoat hingga membuat nama brand ini langsung melambung tinggi di pasaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun siapa sangka, ide segar yang membuat Jokowi kepincut itu ternyata berawal dari tugas kampus para pemilik Ame Raincoat. Salah satu owner Ame Raincoat, Bimo Atiflugeni Usoko Ady pun menceritakan bagaimana ide produk fesyen jas hujan ini bisa muncul saat ia masih berkuliah di Jurusan Desain Produk pada Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB).
"Jadi itu tuh sebetulnya dari tugas kuliah kang idenya, tugas kuliah di tahun ketiga. Saya sama temen-temen masuk 2011, terus ada tugas mata kuliah Bisnis Desain dan kita disuruh bikin tugas itu," kata Bimo mengawali perbincangannya dengan detikJabar belum lama ini.
Bimo bercerita, saat itu dosen mata kuliah Bisnis Desain-nya memberikan tugas membuat produk fesyen di pasaran namun yang belum kena sentuhan inovasi secara desain produknya. Bimo dan keempat rekannya di kelompok tugas itu langsung melakukan riset beberapa produk fesyen untuk melengkapi tugas mata kuliah tersebut.
Beberapa kali melakukan riset, ide membuat desain baru jas hujan itu ternyata malah muncul secara tidak sengaja. Bimo masih ingat, saat itu salah satu rekan di kelompoknya sempat berbincang dengan seseorang di jalanan ketika hujan sedang mengguyur Kota Bandung.
Tanpa disangka, orang tersebut enggan menggunakan jas hujan yang ia miliki dan memilih basah kusup kena guyuran hujan dibandingkan menggunakan jas hujan. Alasannya mengejutkan, orang ini risih dengan desain jas hujannya karena berbentuk kurang stylish, bahkan kerap berbau apek akibat endapan air hujan.
"Ide itu awalnya nemu orang tadi yang enggak mau pake jas hujan karena enggak keren gitu lah. Akhirnya ditawarin ke kelompok kita, kita semua sepakat waktu itu tugas kelompoknya bikin sentuhan desain untuk jas hujan," ujar pria berkacamata ini sembari menyeruput secangkir kopi panasnya kembali saat berbincang dengan detikJabar.
Setelah semua konsepnya disusun, ide segar ini lantas disodorkan ke dosen mata kuliah Bimo oleh kelompoknya. Sang dosen ternyata memberikan respons positif, karena ia juga berpandangan jarang ada sentuhan desain yang terkini terhadap produk jas hujan.
Awal garapan, Bimo dan kelompoknya sempat dibuat bingung dengan ide tersebut. Bagaimana tidak, mereka menemukan jalan buntu mengenai bahan yang cocok untuk digunakan sebagai desain baru jas hujan yang lebih stylish tersebut.
Bimo dan kelompoknya lantas meminta arahan salah satu dosen mata kuliah material desain untuk membicarakan garapan ide tersebut. Tak disangka, sang dosen ini malah mengusulkan Bimo dan kawan-kawannya untuk menjajal gorden toilet yang biasa digunakan di hotel sebagai uji coba pembuatan desain jas hujannya ini.
"Kita sempet 5 sampe 6 kali kali nyoba beberapa bahan. Pertama itu disuruh pake gorden kamar mandi yang ada di hotel karena kan waterproof (tahan air), akhirnya kita beli, terus dibongkar dan dijahit. Tapi pas jadi, kita ngerasa kurang cocok," ungkapnya.
"Nyari lagi bahan yang kedua, tapi enggak awet. Itu emang waterproof bahannya, tapi kalau dicuci ngebrudul gitu, akhirnya enggak jadi lagi pake bahan itu," ucap Bimo saat mengingat masa-masa awal merintis bisnis Ame Raincoat-nya itu.
Setelah bongkar-pasang bahan, Bimo dan kelompoknya akhirnya lebih fokus mencari bahan jaket-jaket gunung yang memang sudah teruji antiair untuk diaplikasikan ke desain jas hujannya. Setelah mencari referensi ke sana-sini, mereka akhirnya mendapatkan informasi ada pabrik bahan tersebut yang beroperasi di Indonesia.
Tapi, kendala baru muncul. Pabrik tersebut ternyata tak menjual bahan buatannya di Indonesia karena hanya melayani penjualan dengan sistem ekspor ke luar negeri.
Untungnya, kendala ini bisa diantisipasi Bimo dan kelompoknya. Meskipun akhirnya mereka harus merogoh kocek lumayan supaya bisa mendapatkan bahan yang biasa digunakan untuk brand jaket gunung tersohor dari luar negeri.
"Pas nemu bahan yang cocok, pabriknya memang ada di Indonesia. Tapi dia enggak ngejual di dalam negeri karena sistemnya dia ekspor ke luar. Akhirnya kita belinya juga pake biaya lebih, karena belinya harus dari luar negeri pake dollar," tuturnya.
Setelah menunggu waktu yang cukup panjang, jas hujan dengan sentuhan desain baru dari Bimo dan kelompoknya akhirnya siap dipresentasikan. Mereka masih tetap mengusung jas hujan sesuai fungsinya sebagai pakaian pelindung dari hujan, namun dengan sentuhan dan gaya trendi yang tetap stylish saat digunakan anak-anak muda.
Begitu dipresentasikan, dosen mata kuliah Bimo yang memberi tugas ini merespons positif ide segar tersebut. Namun lagi-lagi, sang dosen memberikan challenge alias tantangan baru yang tidak hanya membuat produk inovatif, tapi mampu menjualnya ke pasaran.
"Waktu itu kita butuh waktu enam bulanan lah sampe jadi kayak gitu. Pas jadi, disuruh sama dosennya buat jual langsung. Katanya sok (ayo) cobain ada yang beli enggak. Untuk ukuran kita yang masih mahasiswa, kita bingung juga gimana ini ngejualnya," kata Bimo.
Tak mau putus asa dengan tugas baru, Bimo dan kelompoknya lantas mencoba menawarkan desain baru jas hujan tersebut kepada kawan kampusnya. Sambil terkekeh, Bimo mengakui saat itu produknya berhasil terjual dengan sedikit 'paksaan' kepada kawan-kawan di kampusnya supaya membeli jas hujan tersebut.
"Akhirnya ditawarin ke temen-temen di kampus, mau enggak mau kan harus beli jadinya, he-he-he," tutur Bimo.
![]() |
Arti Ame Raincoat
Saat awal garapan desain segar jas hujan itu, Bimo dan rekan-rekannya sepakat menamai karya tugas kuliah mereka dengan nama Ame. Nama itu terinspirasi dari bahasa Jepang yang memiliki arti hujan.
"Namanya kita lagi belajar desain, di desain itu ada banyak mazhab, syle-nya lah. Ada style Eropa, kayak Inggis, Jerman, Paris dan ada dari Jepang juga. Kita di kelompok kebetulan suka sama mazhab dari Jepang, karena memang desainnya minimalis. Maka dipilih kata Ame itu yang artinya hujan," ungkapnya.
"Nah kalau raincoat, itu awalnya kita mau daftarin hak cipta. Tapi ternyata udah ada nama Ame itu, akhirnya kita tambahin aja jadi Ame Raincoat," tuturnya menambahkan.
Setelah sukses membuat desain segar jas hujan, kelanjutan proyek Ame Raincoat sebetulnya sempat tak tergarap lagi oleh Bimo dan keempat rekannya. Alasannya tentu urusan kuliah dan tugas akhir (TA) Jurusan Desain Produk pada Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Keinginan agar Ame Raincoat go publik pun harus tertunda oleh urusan mereka masing-masing di kampus. Tapi bagi Bimo, proyek Ame Raincoat tetap ia bawa hingga tugas akhirnya dan akhirnya lulus di ITB pada 2015 lalu.
"Tugas kita ini memang diapresiasi sama dosen, terus dikasih challenge lagi supaya dikembangin desainnya terus dijual ke pasaran. Ngenalin produk kayak gini ke pasar kan enggak gampang yah, kalau kaos-kaos biasa mah gampang. Ini mah produk yang susah," katanya.
Bimo baru bisa fokus lagi menggarap proyek Ame Raincoat setelah ia lulus kuliah. Namun, satu per satu teman kelompoknya memilih keluar dari proyek itu dengan berbagai alasan, salah satunya mencari pekerjaan tetap setelah lulus kuliah.
Yang tersisa dari proyek Ame Raincoat pun hanya tinggal berdua yaitu Bimo dan satu rekannya yang kini masuk dalam daftar owner brand jas hujan tersebut. Dengan tekad yang tinggi, pada medio tahun 2016-2017, Bimo dan rekannya lalu mulai merancang konsep marketing supaya Ame Raincoat bisa mendulang konsumen.
"Dari situ akhirnya kita bikin sistem PO (pre-order) ke orang-orang yang mau mesen. Karena memang kita juga terbatas sama bahan yah, jadi kalau yang mau mesen nunggunya harus 2 bulan sampai bisa jadi itu jaketnya," ungkap Bimo.
Selain mulai diedarkan di pasaran, Bimo pun rajin ikut pameran-pameran fesyen di Indonesia untuk mengenalkan produk Ame Raincoat. Beberapa festival fesyen juga sempat ia ikuti, namun belum cukup mendongkrang nama Ame Raincoat seperti sekarang.
![]() |
Bikin Jokowi Kepincut
Lantas, bagaimana kisah jas hujan Ame Raincoat yang akhirnya bisa memincut ketertarikan Presiden Jokowi untuk menggunakannya? Ternyata hal itu bermula dari Bimo yang rajin ikut festival desain untuk mengenalkan Ame Raincoat di pasar Indonesia. Semuanya bermula pada awal tahun 2018, dimana para owner Ame Raincoat memang tengah menggeber penjualan brand tersebut supaya mendulang konsumen.
Di tahun itu, Ame Raincoat mencoba keberuntungan dengan mendaftar festival inovasi fesyen yang digelar salah satu perusahaan e-commerce marketplace di Indonesia. Di festival dengan tajuk IdeaFest tersebut, Ame Raincoat tak keluar jadi juara dan hanya masuk urutan 10 besar untuk kategori inovasi fashion tersebut.
Namun hal yang tak terduga datang setelah itu. Panitia festival menghubungi Ame Raincoat dan meminta mereka ikut serta mengenalkan produknya di booth pameran aneka fesyen di Indonesia. Kebetulan, Jokowi juga dijadwalkan akan hadir dan memberi sambutan pada acara IdeaFest pada Oktober 2018 lalu tersebut.
"Waktu diundang ke acara ini kan panitianya minta kita datang jam 8 pagi karena bakal ada Pak Presiden Jokowi, biar kita bisa masuk karena agenda Pak Jokowi jam 9-an. Tapi pas kita datang, ternyata enggak bisa masuk karena Pak Jokowi datang lebih pagi ke sana. Akhirnya yang bisa masuk cuma satu orang doang dari temen kita," kata Bimo.
Sempat tak dibolehkan masuk, protokoler Kepresidenan kemudian mengizinkan Bimo dan para owner Ame Raincoat masuk ke area IdeaFest 2018. Izin itu diberikan karena ternyata Jokowi mampir ke booth Ame Raincoat dan mulai menunjukkan ketertarikannya terhadap produk jas hujan milik mereka.
Kedatangan Jokowi ke booth mereka ternyata bukan hanya untuk sekadar melihat-lihat. Jokowi turut membeli satu jaket Ame Raincoat untuk kenang-kenangannya di IdeaFest 2018.
Kejadian ini sontak membuat Bimo dan para owner Ame Raincoat kegirangan. Bagaimana tidak, produk desain inovasinya mengenai jas hujan itu ternyata mendapat respons dari orang nomor satu di Indonesia, yang tentunya akan begitu jarang dialami oleh brand fashion lainnya.
Bimo makin kegirangan setelah tahu Jokowi langsung memakai jaket Ame Raincoat saat membuka acara IdeaFest 2018. Sejak saat itu lah, nama brand jas hujan ini langsung kebanjiran permintaan penjualan dari konsumen.
"Jadi pas Pak Jokowi itu muter-muter, mampir ke booth kita. Ngobrol-ngobrol, akhirnya oke lah jaketnya itu beliau beli. Ternyata langsung dipake sampe beliau ngasih sambutan," ucap Bimo.
Jokowi pada saat itu membeli satu jaket Ame Raincoat berwarna terracotta. Uniknya, Bimo malah baru mengetahui produk yang didesain awalnya bersumber dari ide tugas kuliah itu digunakan Jokowi setelah dihubungi beberapa kawannya yang menonton acara pembukaan IdeaFest 2018 di televisi.
"Tadinya enggak tahu dipake sama Pak Jokowi, saya sama yang di booth malah awal tahunya itu pas diinfoin sama panitia. Dari sana temen-temen juga banyak yang ngehubungin, nonton di TV katanya jaket kita dipake sama Jokowi," ungkapnya.
"Untuk kita itu pastinya enggak nyangka banget, itu rezeki sih," katanya sambil kembali mengingat momen kebanggaan yang dialaminya tersebut.
Bimo makin bangga terhadap produknya setelah Jokowi turut memakai jaket Ame Raincoat tersebut pada beberapa agenda kenegaraan. Kata Bimo, jaket berwarna terracotta itu bukan hanya dipakai Jokowi saat IdeaFest 2018, di beberapa momen, Jokowi tertangkap kamera menggunakan jas hujan dengan desain khas itu seperti di acara Sumpah Pemuda hingga kunjungannya ke beberapa daerah di Indonesia.
"Jaketnya masih dipake ke beberapa kunjungan, itu bikin kita nambah seneng lagi pastinya," tutur pria kelahiran Malang, Jawa Timur tersebut.
Setelah IdeaFest 2018, Ame Raincoat mulai kebanjiran pesanan dari konsumen. Bahkan Bimo bercerita, laman yang mereka buat untuk memasarkan jas hujan tersebut sempat down karena diakses banyak orang untuk memilih katalog jas hujan dalam sehari.
"Sempat down web-nya, pas saya cek visitor-nya itu sehari nyampe 20 ribuan lebih. Nah karena waktu itu stok juga belum banyak, akhirnya kita bikin sistem PO. Nunggunya 2 bulan sampe ada barangnya, orang-orang pada mau akhirnya," ungkapnya.
Permintaan jas hujan dari konsumen makin membanjiri brand Ame Raincoat pada saat itu. Bimo bahkan mencatat, permintaan paling tinggi bisa mencapai angka 2 ribuan konsumen setelah digunakan Jokowi di IdeaFest 2018.
"Untuk skala saat ini memang kecil, tapi waktu itu besar banget rasanya. Apalagi dengan bahan susah, banyak yang kita enggak terima karena takut enggak bisa menuhin janji karena bahan susah itu," terangnya.
Kini dengan pasar yang begitu luas, Ame Raincoat sudah bisa mendulang cuan Rp 80-100 juta setiap bulannya. Siapa sangka, ide fesyen yang berawal dari tugas kampus itu kini sudah merambah pasar internasional, mulai dari negeri tetangga hingga negara besar di Eropa.
"Kalau omzet kasarnya alhamdulilah nyampe segitu. Sekarang juga udah ekspor, karena cita-cita kita dari awal ngincer market luar negeri," tutur Bimo mengakhiri perbincangannya dengan detikJabar.
Detikers, jika tertarik, kamu bisa merogoh kocek Rp 300-500 ribu untuk mendapatkan jas hujan Ame Raincoat. Sementara, produk paling top Ame Raincoat dibanderol dengan harga Rp 1 juta yang pastinya akan tahan air saat digunakan dalam kondisi musim hujan.
(ral/ors)