'Sultan Anggadita' itulah kesan pertama yang terekam saat menelusuri kisah H Endang (62) si pengusaha jasa penyebrangan jembatan perahu di Karawang. Namun, di balik sosoknya kini, ia pernah menjalani hidup from zero to hero alias dari bekerja sebagai sopir angkutan umum, dan Office Boy (OB) di sebuah perusahaan.
Dari masa lalunya itulah detikJabar mencoba berbagi pengalaman bagaimana 'Sultan Anggadita' ini berproses?
H Endang atau bernama lengkap Muhammad Endang Junaedi ini lahir pada 14 Juli 1961 di Desa Anggadita, Kecamatan Klari, Karawang. H Endang di kalangan warganya, sangat dikenal sebagai sosok yang ramah dan suka menolong. Bahkan, warga mengenalnya kini sebagai 'Sultan Anggadita' atau sosok tersohor di Desa Anggadita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di balik itu semua, pada masa muda dulu, H Endang hanya anak tentara yang gagal melanjutkan sekolah. H Endang menuturkan bahwa ia hanya sekolah sampai bangku kelas dua sekolah menengah pertama (SMP).
"Bapak saya mantan tentara dan saya SMP juga tidak lulus, jadi terakhir pendidikan itu SMP kelas dua," kata H Endang kepada detikJabar, saat diwawancarai di jembatan perahunya, Jumat (8/4/2022).
Tidak Lulus Sekolah SMP dan Jadi Supir
Pada tahun 1977 menjadi awal karir H Endang, pasca tidak melanjutkan sekolahnya, Endang muda mulai belajar mengemudikan kendaraan milik kerabatnya. Dari proses belajar itulah, ia kemudian mampu menjadi seorang sopir yang andal untuk membawa penumpang.
Selama satu tahun, ia menjadi sopir angkutan umum dan berpenghasilan sekitar Rp 200 hingga Rp 300 per hari.
"Jadi kalau penumpangnya penuh dapat 300 perak per harinya," bebernya.
Kemudian, ia ditawari pekerjaan oleh kakaknya untuk menjadi supir truk dan mengurusi pabrik beras pada tahun 1979 hingga 1980.
"Jadi tahun 79 sampai 80 itu disuruh jadi supir truk sama ngurus bantu di pabrik beras," kata pria yang memilik 4 anak ini.
![]() |
Tahun 1981, ia lalu menikah dengan Siti Suwarni (58) lulusan sekolah pertanian ini. Pertemuan dengan istrinya diakuinya saat ia sedang membawa truk untuk menyuplai pasir ke sebuah proyek milik kakaknya.
"Jadi ketemu saat saya bawa truk, dan dari situ kenalan dan akhirnya menikah," katanya.
Istri Jadi Kondektur
Selang setahun pernikahannya, ia lalu dikarunia anak pertama. Di masa itulah, ia lalu bekerja lebih giat untuk menafkahi keluarganya. Bahkan, sang istri pun ikut menjadi bagian dari pekerjaannya.
"Jadi saya kembali angkut penumpang, jadi supir elf dan istri ikut jadi keneknya (kondektur) dulu itu saya angkut penumpang dari Klari ke Cikampek dan kadang ke Wadas," terangnya.
Setelah itu, pada tahun 1984 sampai 1986 ia bekerja sebagai supir mobil box di sebuah perusahaan penyedap rasa. Pekerjaan itu, ia lakoni selama dua tahun.
Usai bekerja sebagai supir box, ia akhirnya membuka sebuah warung yang berada di kompleks area parkir mobil-mobil angkutan umum milik kakaknya.
"Terus saya akhirnya buka warung itu juga disuruh kakak, katanya buka di dekat rumah makan kakak yang lokasinya menjadi kompleks parkir mobil-mobil angkutan umum," katanya.
Di sela membuka warung, ia juga menyempatkan menjadi calo para pedagang, yakni dengan menjajakan makanan dari pedagang ke penumpang yang berada di mobil angkutan.
"Jadi buat tambah-tambah saya juga pernah jadi calo dagangan, kayak baso, terus aqua, teh botol, jadi kalau ada penumpang yang mau saya antarkan makanannya, kadang dapat per sekali antar itu kadang 500 perak sampai 800 perak," katanya.
Jadi OB dan Pergi Haji
Kemudian, pada tahun 1989 ia mengambil peluang kerja menjadi seorang OB di pabrik rotan di desanya. Namun selang setahun perusahaannya pailit.
"Saya sempat tidak digaji selama 3 bulan di pabrik rotan terus teman-teman yang lain itu pada demo, tapi saya ikhlas saja lah, karena saat itu pabrik sudah benar-benar bangkrut," katanya.
Dan kemudian, dari hasil tabungannya selama bekerja ia lalu memutuskan untuk pergi haji. Meski, ia mengaku memaksakan diri untuk berangkat.
"Jadi 91 saya paksakan untuk pergi haji karena sudah niat, jadi saat itu biayanya 5 juta dan saya ambil uang tabungan dan mengutang ke bank juga menggadaikan motor Astrea prima saya," ucapnya.
Pasca naik haji itulah, ia mengaku dimudahkan dari urusan mencari rezeki. Berbagai peluang pun akhirnya bermunculan, salah satunya ia dipercaya menjadi suplier bahan bangunan untuk proyek.
"Jadi setelah haji, saya mulai manjadi penyuplai bahan bangunan ke proyek-proyek dan Alhamdulillah selalu lancar dan dimudahkan," ucapnya.
Jadi Suplier, Pemain Limbah dan Buka Ekspedisi
Dari relasi di proyek tersebut, ia kemudian ditawari untuk mengolah limbah sebuah perusahaan. Perusahaan demi perusahaan limbahnya ia tampung dan akhirnya ia mulai dikenal sebagai 'pemain limbah'.
"Di proyek itu saya bertemu banyak relasi yang menawarkan usaha pengelolaan limbah, dan di situlah saya tertarik menjadi pemain limbah perusahaan," ungkapnya.
Dari pemain limbah itu, pada tahun 2000 ia mencoba merambah ke usaha jasa angkut atau ekspedisi. Ia pun mendapatkan kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan multinasional hingga tahun 2004.
Jadi Pengusaha Jasa Penyebrangan Jembatan Perahu
Keberuntungan lain pun menghampiri H Endang, setelah salah satu tokoh masyarakat di desanya meminta ia membuat sebuah jembatan agar perekonomian terbangun.
"Desa Anggadita itu dulu memang bisa dikatakan terisolir dari segi perekonomiannya, karena akses jalan, terus H Usuf tokoh masyarakat meminta kepada saya untuk buatkan jembatan penghubung dari kawasan industri ke desanya," bebernya.
Dari permintaan itulah, ia lalu meminta izin ke Bupati (Saat itu masih dipimpin Dasim) untuk menghidupkan akses jalan.
"Bupati Dasim saat itu mengiyakan meski terkesan biasa saja menanggapinya," ungkapnya.
Setelah mendapat izin, ia lalu membuat tim untuk membangun akses jalan. Salah satu ide yang muncul saat itu adalah dengan membuat perahu eretan.
"Jadi konsep awal saya nyontek ke desa tentangga yang membuat akses penghubung di Citarum dengan perahu eretan, dan dari situ saya dan tim lalu beli dua perahu, dulu harganya 5 juta per perahu," katanya yang juga paman dari Wakil Bupati Karawang Aep Syapuloh ini.
Namun, dua perahu itu diakuinya belum mampu memenuhi akses jalan, dan memiliki resiko tinggi. Dengan berpikir keras, H Endang mencoba menyatukan dua perahu dengan memanjangkannya.
"Jadi dua perahu akhirnya dicoba disatukan dengan cara memanjang agar bisa jadi jalan utuh tanpa dieret," ungkapnya.
Seiring perkembangannya, ia lalu memodifikasi jembatan perahunya yang kini bisa menghasilkan penghasil 25 juta per hari.
"Kalau dihitung itu habis 7 milyar dari awal membuat sampai saat ini, dan itu pun saya masih ngutang ke bank. Tapi alhamdulillah bisa menghidupi 41 pegawai di jembatan perahu dan menghidupkan ekonomi warga di sini," ucapnya.
Di akhir wawancara, di setiap prosesnya ia selalu teringat pesan kedua orang tuanya.
"Yang paling selalu diingat itu pesan orang tua, tapi pakai bahasa sunda, kalimatnya itu 'ulah sirik pidik jail kaaniaya' yang artinya jangan iri hati atau dengki dan 'Mipit amit ngala kudu menta' artinya jangan mengambil hak orang lain," pungkasnya.
(yum/bbn)