Catatan Pakar Hukum di Bandung Usai Praperadilan Tom Lembong

Catatan Pakar Hukum di Bandung Usai Praperadilan Tom Lembong

Rifat Alhamidi - detikJabar
Jumat, 24 Jan 2025 00:30 WIB
Para pakar hukum di Bandung saat menyoroti kasus Tom Lembong.
Para pakar hukum di Bandung saat menyoroti kasus Tom Lembong. (Foto: Rifat Alhamidi/detikJabar)
Bandung -

Kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan (Mendag) 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, tak luput dari sorotan. Sejumlah pakar hukum di Bandung memberikan catatan setelah perjalanan perkaranya kandas di tahap praperadilan.

Sekedar diketahui, Tom Lembong sempat melawan dengan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi kemudian, gugatannya kandas setelah hakim menolak praperadilan tersebut.

Putusan praperadilan itu yang kemudian tak luput menjadi sorotan. Dosen Hukum Unpad, Somawijaya, menilai hakim praperadilan Tom Lembong lebih menitikberatkan pada formalitas dua alat bukti, tanpa mempertimbangkan relevansi tindak pidana yang disangkakan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya juga melihat kurangnya pengawasan terhadap proses penetapan tersangka. Hakim pada kasus Thom Lembong menilai penetapan tersangka didasarkan pada potential loss, yang menurut Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 tidak memenuhi syarat sebagai kerugian negara yang nyata," katanya dala. diskusi panel "Pra Peradilan dalam Penegakan Hukum di Indonesia," di Unpad, Kota Bandung, Kamis (23/1/2025).

Lebih lanjut, Somawijaya bahkan melihat ada prosedur administratif yang tidak sah dari kasus Tom Lembong. Kata dia, penyidik menahan Tom tanpa dasar penangkapan terlebih dahulu.

ADVERTISEMENT

Hingga kemudian, dari catatan itu, ia menilai adanya ketidakmampuan peradilan dalam menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, kata dia, lembaga peradilan semestinya menjadi mekanisme untuk melindungi hak seseorang yang tersandung pidana.

"Hal tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan secara menyeluruh dalam setiap perkara, termasuk kasus Tom Lembong. Karena dalam praktiknya, lembaga ini sering kali terjebak dalam penilaian formalitas, yang dapat mengabaikan substansi dan berpotensi melanggar hak asasi manusia," ucapnya.

Di tempat yang sama, Prof Romli Atmasasmita menyebut jika seorang tersangka atau terdakwa memiliki hak atas kedudukan yang setara di hadapan hukum. Sehingga, menurut dia, pihak tersebut memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi, bebas dari penyiksaan dalam proses peradilan pidana.

"Seorang tersangka atau terpidana memiliki hak untuk diperiksa dalam pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum. Mereka juga memiliki hak untuk tetap dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan peradilan yang memiliki kekuatan hukum tetap," ujar Romli.

Prof Nandang Sambas juga menyatakan bahwa alat bukti memiliki fungsi penting dalam proses peradilan. Sehingga, penyidik kata dia, harus bisa membuktikan adanya unsur merugikan keuangan negara, perekonomian negara, unsur penyalahgunaan jabatan, kesempatan atau sarana.

"Proses memperoleh alat bukti sebagai bukti awal harus diuji kebenarannya, kehati-hatian, serta keprofesionalannya melalui mekanisme lembaga pra peradilan," katanya.

Pakar hukum lainnya, Elis Rusmiati menyoroti banyaknya kelemahan dalam proses praperadilan. Di antaranya, pemeriksaan dalam sidang yang hanya dilakukan oleh hakim tunggal.

"Tugas sehari-hari hakim itu banyak. Jika dia bertindak sebagai hakim tunggal dalam praperadilan, itu sangat berat dan membebani," ujar Elis.

Kelemahan lainnya, kata dia, pemeriksaan yang dibatasi paling lambat hanya berlangsung 7 hari. Selain itu, pengajuan pra peradilan juga gugur jika pemeriksaan pokok perkara sudah dimulai.

"Dalam banyak kasus pra peradilan, hakim hanya memperhatikan soal kuantitas, seperti pada alat bukti. Kualitas alat bukti sendiri diabaikan," pungkasnya.




(ral/dir)


Hide Ads