Fakta baru terungkap dari perkara dugaan korupsi pengadaan lahan Tol Cisumdawu. Salah satu terdakwa bernama Dadan Setiadi menyebut ada fakta terkait landasan dasar pengadaan lahan tol.
Sebagaimana diketahui, dalam kasus ini, 5 terdakwa telah dihadapkan di persidangan. Kelimanya adalah Agus Priyono, pensiunan pegawai BPN yang saat itu bertugas selaku Ketua Satgas B Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) Tol Cisumdawu dan Atang Rahmat yang merupakan mantan anggota Tim P2T, kemudian Mono Igfirly selaku pejabat di Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), mantan Kades Cilayang Mushofah Uyun, serta Dadan Setiadi Megantara selaku Direktur PT PR dari pihak swasta.
Pengacara Dadan, Febri Hendarjat menyebut saksi ahli yang dihadirkan di Pengadilan Tipikor Bandung di sidang kemarin telah menerangkan tentang landasan hukum lokasi lahan yang nantinya dipakai menjadi Tol Cisumdawu itu. Tapi kata Febri, kualitas keterangan saksi ahli bidang yang dihadirkan belum memuaskan secara materiil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara keseluruhan saksi yang dihadirkan jaksa belum bisa menjawab pertanyaan mendasar. Seperti tumpang tindih antara izin lokasi perumahan yang merupakan izin pelaku usaha untuk memperoleh lahan, lahir lebih dulu sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan penetapan lokasi (penlok) tol yang melarang peralihan lahan," katanya, Kamis (14/11/2024).
"Di mana keduanya memiliki derajat dan tidak pernah ada pembatalan atas kedua izin tersebut. Namun secara substansi, bertolak belakang. Dan itu tidak terjawab," ungkapnya menambahkan.
Kemudian kata dia, saksi ahli belum bisa memberi jawaban pasti mengenai penlok tol di saat belum ada perubahan RTRW. Alhasil kata Febri, keterangan saksi ahli ikut memberikan gambaran bahwa ketika belum ada trase atau jalur tol yang ditetapkan, seharusnya peralihan lahan masih bisa dilakukan.
"Itu soal perbuatan hukum pengalihan lahan tanah milik adat masyarakat di lokasi penlok selama belum ada trase atau jalur ternyata bisa atau dibolehkan," ucapnya.
Keterangan ini Febri sampaikan karena kliennya, Dadan Setiadi Megantara sudah menjadi pemilik lahan di sana sejak 1994. Saat itu, Dadan mengajukan pengadaan lahan di sana untuk dibangun proyek perumahan sebagai bagian bisnis yang dijalaninya.
Bahkan, Dadan mengurus langsung sejumlah perizinan dari mulai izin prinsip hingga izin lokasi untuk proyek perumahannya. Perizinan tersebut lalu diteken Pemkab Sumedang.
Di tengah jalan, ternyata muncul wacana pembangunan proyek strategis nasional yang diusulkan Pemkab Sumedang untuk pembangunan Tol Cisumdawu. Tapi ditengarai, saat itu belum muncul detail jalur yang akan dilalui jalan tol tersebut.
Di saat itu juga, tepatnya pada 2015-2017, Dadan membeli sejumlah bidang tanah warga sekitar untuk keperluan proyek perumahannya. Tapi ternyata, pada medio 2018-2019, tanah yang dibelinya itu masuk dalam rencana jalur pembangunan Tol Cisumdawu.
Dadan kemudian ditetapkan pemerintah sebagai pihak penerima ganti rugi dari pembebasan tanah untuk jalur tol. Dadan pun mendapat kompesasi senilai Rp 320 miliar lebih dari pemerintah.
Tapi, sebelum mendapatkan uang tersebut, Dadan menghadapi gugatan dari sejumlah pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah di sana. Karena ada gugatan tersebut, uang kompensasinya dititipkan secara konsinyasi ke PN Sumedang.
Ternyata, Kejari Sumedang mengendus ada dugaan perbuatan melawan hukum dalam proses pengadaan tanah tersebut. Dadan bersama 4 orang itu kemudian ditetapkan menjadi tersangka dan kini diadili di persidangan.
Kelima orang itu didakwa telah membuat kerugian negara lebih dari Rp 320 miliar dalam proses pengadaan lahan Tol Cisumdawu. Mereka didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1), Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan primair. Serta Pasal 3, Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan subsidair.
(dir/dir)