Pantauan detikJabar di ruang sidang, terdakwa Uti nampak menundukkan kepala saat mendengar keterangan Naik Napitu. Uti duduk di samping kuasa hukumnya.
Duduk sebagai Hakim Ketua Miduk Sinaga serta dua Hakim Anggota Christoffel Harianja dan Eka Desi Prasetia. Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum Jaja Subagja.
Naik Napitu menceritakan kisah hidup korban Roslindawati, dimulai dari kerja sebagai buruh hingga banting setir sebagai pekerja di koperasi simpan pinjam (KSP). Roslindawati diketahui tinggal di Sukabumi sejak 2007. Mulanya ia bekerja sebagai buruh di Cicurug, Kabupaten Sukabumi, namun di PHK.
"Dia sebelumnya buruh pabrik di daerah Cicurug, di-PHK dan bekerja di koperasi, modal sendiri karena dia dapat uang pesangon," kata Napitu di ruang sidang Pengadilan Negeri Kelas IB Sukabumi.
Korban tinggal bersama kakak kandung dan kakak iparnya. Korban juga diketahui belum menikah. Setiap hari, korban berjalan kaki untuk menagih utang, terkadang juga menggunakan ojek online.
"Setiap hari melakukan penagihan, kecuali tanggap merah. Berangkat dari rumah 09:30 pulang jam 16:00 WIB, setiap hari pulang," ujarnya.
Pada 13 November 2023, kejadian yang tak diharapkan terjadi. Hari itu, dia berangkat seperti biasanya, namun tak pulang ke rumah. Keluarga pun melakukan pencarian dengan mendatangi satu per satu nasabah korban.
"Begitu jam 18:00 langsung mencari dia, ke tempat dia menagih setiap hari. Malam hari itu, target dia dekat Lapang Merdeka, langsung ke Siti menanyakan apakah almarhum datang menagih dan dijawab tidak ada, 'biasanya datang jam 13:00 WIB," kata Napitu menirukan perkataan nasabah.
Kemudian, satu orang nasabah terakhir yang ditemui korban adalah terdakwa, yaitu Putri Sumiati alias Uti. Napitu pun mendatangi kediaman Uti pada Senin (13/11/2023) malam sekitar pukul 19:00 WIB.
"Saya ke sana dan bertanya ketemu langsung (terdakwa), saya tanya adakah almarhum menagih utang ke sini? Dia jawab ada jam 12:00 tapi kata dia biasanya naik ojek online menagih ke tempat lain," sambungnya.
Selama tiga hari berturut-turut, Napitu mendatangi rumah terdakwa. Pihak keluarga pun sudah membuat laporan kehilangan.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini terdakwa mengaku tidak melihat korban. Hingga akhirnya, Napitu pun berbincang dengan beberapa tetangga korban yang mengaku tidak melihat korban keluar rumah sejak menagih utang kepada terdakwa.
"Awal mula tahu itu Rabu (15/11/2023) ada dugaan dibunuh karena tetangga terdakwa lihat korban masuk (rumah terdakwa) tapi tidak keluar lagi," kata dia.
Pada Kamis (16/11/2023) Napitu datang kembali bersama aparat setelah mendengar pernyataan warga bahwa korban tidak keluar rumah sejak melakukan penagihan pada Senin (13/11) lalu. Namun lagi-lagi terdakwa tidak mengakui perbuatannya.
Keesokan harinya tepat pada Jumat (17/11/2023) keluarga korban mendapatkan kabar bahwa ada anak-anak yang membuang kasur ke sungai. Mereka pun mendatangi lokasi pembuangan itu di Sungai Cipelang.
"Dari sana anak memberitahu dibuang berupa kasur tapi di dalamnya pengakuannya kasur berbangkai tikus. Karena ada kecurigaan, dari situ langsung kepolisian Jumat sore ke rumah pelaku. Waktu itu belum ditemukan mayatnya, ditemukan Sabtu (18/11)," jelasnya.
"Karena sudah sore, kepolisian dan Basarnas pun memutuskan untuk mencari jasad korban besok. Sabtu (18/11/2023) mencari dan ketemu. Saya ikut menelusuri sungai itu, ketemu (jasad korban). Si mayat sudah ditemukan, kami langsung menuju ke sana. Sudah jauh dari tempat awal pembuangan," sambung Napitu.
Korban ditemukan dengan kondisi membusuk dan berada di bebatuan sungai. Wajahnya sudah tidak dikenali namun keluarga mengenai pakaian dan cincin yang dikenakan korban.
Jasad korban pun dibawa ke RSUD Syamsudin untuk dilakukan visum dan autopsi. Hasilnya sesuai yang dibacakan JPU Jaja Subagja bahwa ditemukan luka-luka terbuka pada kepala di antaranya patah tulang atap tengkorak hingga dasar tengkorak, tulang pipi kiri dan rahang atas, iga-iga kiri akibat kekerasan tumpul.
Kemudian, organ-organ dalam sebagian besar tidak ditemukan karena pembusukan lanjut. Bagian kulit wajah, leher dan dada kiri yang menghilang serta area kemerahan pada permukaan tulang tengkorak dapat menjadi tanda adanya perlukaan sebelumnya.
Di depan majelis hakim, Napitu memohon agar terdakwa diberi hukuman maksimal. Terlebih, usai kejadian tersebut, terdakwa maupun keluarganya tidak menunjukkan rasa penyesalan setelah membunuh adik iparnya.
"Belum ada ucapan permintaan maaf sedikitpun dari terdakwa. Kami harap dihukum sesuai perbuatannya, seberat-beratnya, hukum mati atau seumur hidup karena nyawa tidak bisa diganti dengan uang," kata Napitu.
Sekedar informasi, terdakwa Putri Sumiati alias Uti diancam dengan pidana Pasal 351 ayat 3 KUHP dan Pasal 338 KUHP ancaman maksimal hukuman 15 tahun penjara.
(orb/orb)