Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Garut menjatuhkan hukuman penjara 18 tahun kepada Aep Saepudin, pria mengaku guru ngaji yang cabuli 17 bocah di Kabupaten Garut.
Hukuman terhadap Aep dibacakan majelis hakim dalam sidang beragendakan putusan yang digelar di PN Garut, pada Selasa (17/10/2023) kemarin. Kasi Intel Kejaksaan Negeri Garut Jaya P. Sitompul mengatakan Aep divonis bui 18 tahun.
"Dijatuhkan hukuman 18 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan penjara," kata Jaya kepada wartawan, Rabu (18/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Aep sudah sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Jaksa, menuntutnya dengan hukuman serupa karena dianggap melanggar Pasal 76E Juncto Pasal 82 UU RI Nomor 17 tentang Perlindungan Anak.
"Hal yang memberatkan, mulai dari posisi terdakwa sebagai pendidik hingga jumlah korban yang tidak sedikit," kata Jaya.
Aksi bejat yang dilakukan Aep terbongkar di awal bulan Juni 2023 silam. Saat itu, salah seorang korban mengaku kepada orang tuanya jika dia telah dicabuli oleh Aep. Orang tua kemudian melaporkannya ke polisi.
Berdasarkan hasil penyelidikan, jumlah korban yang diduga dicabuli Aep saat itu mencapai 17 orang. Mereka merupakan bocah dengan usia 9-12 tahun. Jaya mengatakan, dalam proses persidangan terungkap, jika aksi pencabulan itu dilakukan paling banyak di momen bulan suci Ramadan tahun 2023.
"Bentuk pencabulannya beragam. Diiming-imingi uang mulai dari Rp 2 hingga 5 ribu," katanya.
Aksi yang dilakukan oleh Aep menjadi kabar yang membuat geger karena Aep sendiri mengaku sebagai ustaz. Namun, berdasarkan penelusuran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Garut, Aep dipastikan hanya mengaku sebagai ustaz, tanpa dasar keilmuan yang jelas.
"Mengaku sebagai ustaz, tapi setelah kami telusuri, dari sisi pengetahuan, kemudian latar belakang, dia ini hanya mengaku-ngaku," kata Ketua MUI Garut KH Sirojul Munir bulan Juni lalu di Polres Garut.
"Jadi dia hanya berdalih menjadi guru ngaji, untuk bisa mencabuli korban. Padahal dia hanya masyarakat biasa. Kami pastikan bukan guru ngaji atau ustaz," pungkas Munir.
(iqk/iqk)