Sengketa lahan antara ahli waris dari almarhum Sech Abdlruchman dengan pengembang klaster perumahan mewah di Kabupaten Bandung Barat kembali berlanjut. Ahli waris gagal mendapatkan kembali lahan seluas 10.041 hektare tersebut.
Hal itu berdasarkan hasil mediasi di Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Menurut Sutara, kuasa hukum para ahli waris, sita eksekusi lahan yang disengketakan tidak bisa dilakukan lantaran beragam alasan. Salah satunya lahan yang masih dikuasai pengembang.
"Sita eksekusi dinyatakan tidak bisa dilaksanakan oleh Ketua PN Bandung dan menyarankan klien kami untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Kami tegaskan, kami tidak akan mengajukan gugatan tapi akan melaporkan pihak pengembang ke polisi soal perkara ini," kata Sutara kepada wartawan, Rabu (5/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sutara pun menilai pernyataan Ketua PN Bandung soal batas lahan terlalu mengada-ada. Menurut dia, batas lahan masih bisa ditunjukkan melalui citra satelit meski sudah dibangun perumahan di kompleks tersebut.
"Sungai masih ada, jadi batas itu jelas, hanya batas tanah yang dulu masih sawah, pohon dan sebagainya itu kan sekarang sudah berubah. Kita kurang sependapat dengan pendapat eksekusi pengosongan tidak bisa dilakukan karena tidak dapat menunjukkan batasnya," tuturnya.
Karena gagal mengambil alih kembali lahan tersebut, Sutara berencana melaporkan pihak pengembang ke polisi dalam waktu dekat. Ia akan mengadukan pihak pengembang telah melanggar Pasal 385 KUHP dan Pasal 167 KUHP yang berisi tentang penguasan lahan secara ilegal.
"Kami akan mengambil ranah pidana, kami akan melaporkan pihak perusahaan dalam hal ini adalah direksinya kepada pihak kepolisian. Dengan delik diduga melanggar penyerobotan dan perusakan lahan," tuturnya.
Sementara itu pihak pengembang klaster perumahan mewah di KBB dalam hal ini PT Belaputera Intiland buka suara. Kuasa hukum PT Belaputera Intiland, Titus Tampobolon menyatakan bahwa PN Bandung sudah memutuskan sita eksekusi lahan tidak bisa dilakukan.
"Jadi, tadi sudah di-clear-kan dan sudah dijelaskan oleh ketua bahwa eksekusi ini tidak bisa dijalankan karena sudah ada ketetapannya," kata Titus kepada wartawan di PN Bandung.
Dalam pertemuan itu, menurut Titus, pihaknya sudah menunjukkan sejumlah bukti kepemilikan atas lahan yang kini sudah dibangun sekitar 200 perumahan elit. Sementara menurutnya, pihak ahli waris tak dapat menunjukkan batas-batas yang diklaim menjadi kepemilikannya.
"Sehingga itu tidak bisa menjadi dasar sita eksekusi dilakukan oleh pihak pengadilan. Mereka tidak bisa menunjukkan batas-batasnya sementara Kota Baru sudah mempunyai sertifikat atas tanah tersebut," ucap dia.
Titus pun mengimbau penghuni perumahan agar tenang dan tak resah. Di sisi lain, dia menegaskan bahwa PT Belaputera Intiland bakal bersikap kooperatif dalam berperkara dengan para ahli waris.
"Jangan sampai nanti resah lah, penghuni kita yang di Kota Baru, tenang saja. Itu berita terakhir dari Ketua Pengadilan Negeri langsung," ujar dia.
Sebagaimana diketahui, sengketa ini bermula saat orang tua para para ahli waris memenangkan gugatan di 3 tingkatan pengadilan di Bandung pada 1963 hingga 1977. Pada 2 November 1977, pihak ahli waris kemudian mengajukan permohonan eksekusi di atas lahan seluas 10.041 hektar tersebut.
Baca juga: Menanti Metropolitan Baru di Jawa Barat |
Namun dalam perjalanannya, pihak yang kalah dalam gugatan tidak mematuhi putusan PN Bandung pada zaman itu. Perkara ini kemudian ditagih kembali oleh para ahli waris ke pengadilan.
Kemudian pada 2004, para ahli waris telah mengajukan permohonan eksekusi lelang atas bidang tanah dengan bukti kepemilikan surat letter C No 534 P.40 D.V seluas 10.041 hektar. Namun baru terungkap, lahan tersebut sudah dikuasai PT Bumiputera Intiland (BI) yang kini sudah dibangun menjadi klaster perumahan mewah dan kini sudah berdiri sekitar 200 perumahan.
(ral/dir)