Dua orang remaja lelaki asal Garut dipenjara usia dilaporkan mencabuli seorang bocah SD. Beberapa pihak menduga korban dalam kejadian itu lebih dari satu.
Aksi sodomi yang dilakukan kakak-beradik kepada korbannya itu, diketahui berlangsung pada tahun 2021 lalu. Menurut pengakuan orang tua korban, korban diiming-imigi mainan kemudian dipaksa untuk disodomi.
"Setelah dirayu, dibelikan layangan, anak saya ngaku dibawa ke makam. Terus digituin sama si pelaku," ungkap orang tua korban kepada awak media, Kamis (4/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pelaku dilaporkan tak hanya sekali melakukan aksi pencabulan. Orang tua korban menyebut, anaknya dicabuli tiga kali. Selain itu, tempat pelaku menjalankan aksinya juga, diketahui beragam. Mulai dari di dalam rumah, hingga di pemakaman.
Kasus ini mencuat ke publik, usai keluarga korban mengadu ke lembaga bantuan hukum (LBH) Serikat Petani Pasundan (SPP) Garut belum lama ini.
"Kami menerima aduan dari orang tua korban. Mereka mengadu karena diintimidasi oleh keluarga pelaku," kata Yudi Kurnia, Ketua LBH SPP kepada detikJabar.
Remaja kembar itu, diketahui sudah diadili. Keduanya, sudah menjalani proses peradilan belum lama ini. Menurut Kasi Intel Kejaksaan Negeri Garut, Jaya P. Sitompul kedua tersangka dijatuhi hukuman yang berbeda.
"Divonis masing-masing dua tahun dan pelatihan kerja selama 6 bulan, serta divonis 3 tahun dan pelatihan kerja juga selama 6 bulan," kata Jaya kepada detikJabar.
Aksi pencabulan yang dilakukan kedua pelaku, dilaporkan membuat heboh masyarakat setempat. Sebab, ada yang mengklaim korbannya lebih satu.
"Ada 10 orang tua yang konsultasi sama-sama. Tapi, yang buat laporan resmi ke polisi saya," kata orang tua korban.
Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh pelaku, melalui kuasa hukum mereka, Evan Saeful Rohman. Evan mengatakan jika jumlah korban lebih dari satu, itu tidak benar.
"Kami juga keberatan jika ada yang menyebut, korban dalam kejadian ini adalah 10 orang. Sebab, pada faktanya, korban hanya satu orang saja, sehingga hal tersebut menyebabkan kegaduhan dan menambah rusak citra klien kami yang dalam hal ini juga statusnya sebagai anak dan masih sekolah," kata Evan.
Evan mengatakan, hingga kasus ini bergulir ke pengadilan, tidak ada korban lain, selain pelapor yang diperiksa atau dihadirkan sebagai saksi di persidangan.
"Jika betul saat laporan itu mewakili 10, saya rasa penyidik tidak akan serta merta menetapkan 1 orang saja. Logikanya kenapa saat sidang hanya satu yang dihadirkan JPU," katanya.
Selain oleh orang tua korban, dugaan korban sodomi yang dilakukan dua remaja kembar lebih dari satu orang ini, juga diungkap Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Tasikmalaya Ato Rinanto yang turun menangani kasusnya.
Ato mengatakan, berdasarkan hasil pendalaman pihaknya, korban diduga lebih dari satu orang.
"Betul, di persidangan yang bersaksi hanya satu. Tapi ada dugaan di lapangan, info yang masuk ada 10. Makanya kami verifikasi," ucap Ato.
Ato menambahkan, pihaknya sudah turun langsung ke korban, untuk memberikan pendampingan psikis.
"Kita tidak berpatokan kepada fakta hukum di persidangan. Karena, kepentingan kita adalah pendampingan dan pemulihan," katanya.
"Jadi, tidak terpaku, kami masih mencoba menelusuri. Mungkin bisa 10, lebih atau kurang dari itu. Tapi, esensinya, adalah bagaimana anak yang jadi korban ini secepatnya dilakukan penanganan untuk disembuhkan secara utuh," pungkas Ato.
(dir/dir)