Getir Pejabat Cirebon Demi Promosi Jabatan: Mengutang-Jual Tanah Warisan

Round-Up

Getir Pejabat Cirebon Demi Promosi Jabatan: Mengutang-Jual Tanah Warisan

Tim detikJabar - detikJabar
Selasa, 04 Apr 2023 09:00 WIB
Ilustrasi suap, ganti rugi
Ilustrasi kasus suap (Foto: Ilustrasi oleh Andhika Akbarayansyah).
Bandung -

Fakta anyar mengenai kasus gratifikasi dan suap yang menyeret mantan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra kembali terungkap di persidangan. Sunjaya disebut mematok tarif fantastis kepada para pejabat jika ingin mendapat promosi jabatan.

Akibatnya, sejumlah pejabat mengaku harus memutar otak untuk bisa memberikan uang setoran kepada Sunjaya. Ada yang rela mengutang ke sanak keluarga, menjual sawah bahkan rela menjual tanah warisannya.

Contohnya seperti dialami Abdullah Subandi. Saat diangkat menjadi Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Cirebon, ia mengaku menyetorkan uang senilai Rp 300 juta kepada Sunjaya. Uang tersebut diberikan pada Agustus 2017, yang tadinya diminta Sunjaya sebesar Rp 400 juta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Begitu selesai dilantik, saya diminta sama beliau (Sunjaya Purwadisastra). Tapi saya hanya bisa menyerahkan Rp 300 juta," kata Abdullah di Pengadilan Tipikor Bandung, Senin (3/4/2023).

Untuk bisa menyetorkan uang ratusan juta itu, Abdullah terpaksa menjual tanah warisan, sawah hingga mengutang ke sanak keluarganya. Setelah uangnya terkumpul, uang itu lalu Abdullah setorkan kepada ajudan Sunjaya yang bernama Baihaki di halaman Pemkab Cirebon.

ADVERTISEMENT

"Sumber uangnya itu saya nyari-nyari, minjam ke saudara. Saya juga punya tanah warisan, sawah yang saya jual buat bayar yang 300 itu," ungkapnya.

Tak selesai di situ saja. Demi bisa menutupi utang-utangnya, Abdullah sampai harus mengutang ke bank. Ibarat pepatah gali lobang tutup lobang, Abdullah pun harus melakukan hal itu lantaran Sunjaya menagih setoran uang setelah mendapat promosi jabatan.

"Sudah, pak. Saya pinjam bank. Pelunasan itu saya pinjam bank untuk bayar utang," ungkap Abdullah begitu ditanya JPU KPK.

Beda Abdullah, beda juga dengan Rio Eka Nanjaya. Setelah dilantik menjadi Kabid Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Disnakertrans Cirebon pada 3 Oktober 2018, ia menyebut menyetorkan uang Rp 50 juta kepada Sunjaya.

Dalam pengakuannya, Rio tadinya diminta menyetor uang kepada Sunjaya sebesar Rp 100 juta. Namun karena tidak mencukupi, ia hanya menyetor uang Rp 50 juta setelah mendapatkan promosi jabatan tersebut.

Dari sini lah siasat Sunjaya untuk memalak anak buahnya sendiri terungkap. Sunjaya diakui Rio, tak segan menagih uang setorannya meskipun saat itu merupakan momen tahlinan 40 hari mendiang mertua mantan Bupati Cirebon tersebut.

"Iyah sebelumnya, jadi ada kode. Kode itu ada dua, dari kepala dinas dan pada saat tahlilan (mendiang mertua Sunjaya)," kata Rio.

"Kodenya gimana?" tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK kepada Rio.

"Kodenya selamat sudah promosi, jangan lupa (uang setoran Rp 50 juta). Seperti itu," ucap Rio menimpali.

JPU KPK lalu membacakan BAP Rio di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung. Rio dalam keterangannya mengatakan Sunjaya menagih uang setoran promosi jabatan saat tahlilan 40 hari mendiang mertuanya.

"Di BAP, pada momen tahlilan atau pengajian 40 hari mertua, Pak Sunjaya bilang, 'Pak Kabid, kan sudah dilantik, segera selesaikan itunya yah'," ucap JPU KPK yang turut dibenarkan Rio.

"Atas penyampaian tersebut, karena tidak mengerti saya bertanya. 'Maaf, pak, bagaimana pak? Dijawab lagi 'kan sudah jadi kabid, itu yang Rp 100 juta itu. Nah itu satu lagi yang jadi kasubag, Rp 30 juta," kata JPU menambahkan.

Setelah mendapat kode dariSunjaya, Rio lantas menghubungi IrmaWidiastuti, pejabat yang juga baru saja dilantik menjadiKasubbag KeuanganDisnakertrans Cirebon. Dari Rp 30 juta duit setoran yang dimintaSunjaya, Irma kata Rio hanya bisa menyanggupi sebesar Rp 25 juta.

Setelah Rio mendapat uang setoran dari Irma untuk Sunjaya, Rio kemudian menghadap lagi ke Sunjaya di rumah dinasnya. Sunjaya lantas memerintahkan ajudannya bernama Nanda untuk mengambil uang setoran itu. Penyerahan duit ini pun lalu dilakukan pada 23 Oktober 2018.

"Saya hanya punya uang Rp 50 juta, dan Bu Irma menitipkan ke saya Rp 25 juta," ungkap Rio.

"Ketika (menghadap ke Sunjaya) itu saya ditanya pak bupati. 'Punya berapa?' Yaudah, yang seadanya dulu aja (diberikan ke Sunjaya). Pak bupati terus memerintahkan kepada ajudan bernama Nanda. Uangnya diserahkan di parkiran," tuturnya menambahkan.

Sama halnya dengan Rio, Irma Widiastuti juga menyetorkan uang Rp 25 juta untuk Sunjaya setelah dilantik menjadi Kasubbag Keuangan Disnakertrans Cirebon. Irma bahkan awalnya mengira promosi jabatan yang diterimanya itu tidak memerlukan setoran uang dengan nominal tertentu.

"Awalnya saya dipanggil Pak Kadis, bilang akan diusulkan kasubbag. Saya setuju karena tidak menyampaikan nominal pada awalnya sebelum dilantik. Ketika sudah dilantik, beberapa hari kemudian ternyata ada permintaan dari Pak Bupati sebesar Rp 30 juta. Sampai tanggal 23 Oktober pagi, saya baru bisa menyerahkan Rp 25 juta," kata Irma.

Uang itu pun Irma kumpulkan melalui pinjaman dari sanak keluarganya. Setelah uang itu terkumpul, ia lantas menyerahkan duit setoran tersebut kepada Rio Eka Nanjaya untuk disetorkan kepada Sunjaya.

Tak hanya kepada pejabat setingkat kepala bidang hingga kepala dinas. Sunjaya bahkan menerima duit haram Rp 10 juta dari seorang guru agar bisa dipindahtugaskan tempat mengajarnya.

Penuturan ini diungkapkan saksi bernama Latifah, guru TK di Kabupaten Cirebon. Dalam kesaksiannya, Latifah menyatakan menerima titipan uang Rp 10 juta dari seorang guru SMP bernama Mahmudah untuk diserahkan kepada Sunjaya pada 2018.

Mahmudah ini kata Latifah, menyetorkan uang Rp 10 juta setelah mendapat surat pindah dari SMP 2 Susukan ke SMP 1 Gegesik. Uang tersebut kata Latifah, diserahkan Mahmudah lantaran tempat ngajarnya pindah dari pelosok Cirebon ke wilayah perkotaan.

"Yang saya tahu, (uang Rp 10 juta) Ibu Haji Mahmudah (diserahkan setelah) pindah dari SMP yang jauh ke SMP yang dekat kota. Buat sukuran katanya," katanya.

Uang setoran itu tadinya hendak diserahkan kepada suami Latifah. Namun karena saat itu suaminya sedang sakit, ia akhirnya mengantarkan langsung uang setoran tersebut kepada ajudan Sunjaya bernama Nanda.

"Waktu itu kata ibuhya (uangnya) Rp 10 juta, saya nggak tahu (nominalnya) karena waktu itu sudah di amplop. Penyerahan setelah ibu Haji Mahmudah pindah tugas," tuturnya.

Latifah pun bisa mendapat titipan uang setoran Rp 10 juta itu karena rumahnya masih satu kampung dengan Mahmudah. Latifah sendiri yang merupakan guru, mengaku belum pernah memberikan setoran sepeser pun kepada Sunjaya.

"Kalau ibu Latifah sendiri, pernah nggak menyerahkan uang ke Pak Bupati?" tanya JPU KPK.

"Belum pernah, pak," jawab Latifah menimpali pertanyaan JPU.

Sementara saat ditanyakan langsung kepada Mahmudah, ia membantah uang tersebut merupakan setoran untuk Sunjaya setelah pindah tugas ngajar. Uang itu bagi Mahmudah, merupakan rasa sukurnya karena dipindahtugaskan.

"Jadi itu inisiatif saya sebagai rasa syukuran, pak. Rasa sukur saya karena dipindah, sehingga alhamdulillah. Jadi memang kesadaran sendiri," ucapnya.

"Jadi itu bukan karena permintaan orang lain?" tanya JPU KPK yang langsung dijawab Mahmudah dengan kata bukan.

JPU KPK lantas menanyakan kembali kepada Mahmudah terkait uang Rp 10 juta tersebut. JPU meminta penegasan ke Mahmudah mengenai setorannya setelah mendapat surat pindah tugas kerja.

"Jadi kalau ibu tidak dipindah, tidak dilantik, ngasih uang nggak?," tanya JPU KPK.

"Tidak, itu sukarela," timpal Mahmudah.

Halaman 2 dari 2
(ral/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads