Hakim tak mengamini permintaan ganti rugi atau restitusi yang diajukan korban Doni Salmanan. Pengadilan Tinggi (PT) Bandung menyebut perkara Doni Salmanan tak masuk lingkup restitusi.
"Kemudian ada restitusi maupun kompensasi tapi menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2022 yang mengatur tentang restitusi maupun kompensasi, karena ini kejahatan perbankan tidak tercover oleh aturan yang disebutkan dalam PERMA itu, kalau di dalam PERMA itu kan yang bisa dapat restitusi adalah perkara terorisme kemudian HAM berat dan lain-lain," ujar Humas PT Bandung Jesayas Tarigan di PT Bandung, Rabu (22/2/2023).
"Tapi terkait dengan kejahatan tindak pidana informasi ITE dan TPPU itu tidak dapat direstitusi," kata dia menambahkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jesayas menuturkan Doni Salmanan juga terbukti melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Atas dasar itu, hakim menyita aset-aset milik Doni Salmanan.
"Dari pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Bandung, aset-aset jadi dari poin 33 sampai 136 yang berbentuk barang, uang dan segala macam itu dirampas untuk negara," kata Jesayas.
Jesayas mengungkapkan, putusan pengadilan tinggi menyatakan Doni Salmanan terbukti melakukan tindak pidana dakwaan kesatu alternatif pertama, kemudian dakwaan kedua alternatif pertama dan surat dakwaan itu berbentuk campuran kumulatif alternatif.
"Jadi kalau di pengadilan negeri dakwaan kedua alternatif pertama tidak terbukti maupun yang keduanya, tapi di pengadilan tinggi dakwaan pertama alternatif pertama terbukti dan dakwaan kedua alternatif pertama terbukti itu yang TPPU itu," ungkapnya.
Sebagaimana diketahui, asa korban mendapatkan ganti rugi atas perbuatan Doni Salmanan kandas. Hakim tak mengamini permintaan restitusi atau ganti rugi dalam putusan di tingkat banding.
Keputusan tak memberikan restitusi kepada korban tersebut termuat dalam petikan vonis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung yang diputus pada Selasa (21/2) lalu. Majelis hakim yang diketuai Catur Iriantoro menyebut pemberian restitusi itu diatur sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) nomor 1 tahun 2022.
Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa restitusi diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh Negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya secara limitatif.
Disebutkan pula bila pemberian restitusi bisa diberikan bagi korban tindak pidana HAM berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis serta tindak pidana terkait anak-anak.
"Menimbang bahwa dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b, maka kompensasi yang diajukan adalah terkait tindak pidana ITE maupun tindak pidana pencucian uang. Sehingga tidak termasuk ruang lingkup yang dapat dimohonkan restitusi dan kompensasi sebagaimana secara limitatif tidak diatur dalam PERMA nomor 1 tahun 2022. Dengan demikian permohonan tersebut harus dikesampingkan dan ditolak," ujar hakim dalam petikan putusannya yang dilansir detikJabar pada Rabu (22/2/2023).
(wip/dir)