Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mendesak pengadilan membebaskan empat petani asal Cikandang dan Margamulya, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. Keempatnya dijebloskan ke penjara atas laporan dari PTPN VIII dengan tudingan menggarap lahan secara ilegal.
Tim Hukum LBH Bandung untuk petani Cikandang M Rafi Saiful Islam mengatakan, pada Rabu (30/11/2022), keempat petani bernama Nandang, Saepudin, Ujang Juhana, dan Pakih telah menjalani sidang dakwaan dari Kejaksaan Negeri Garut. Keempatnya didakwa melanggar Pasal 170 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP Jo Pasal 107 huruf c Jo Pasal 55 huruf c UU No 39 Tahun 2014, dengan ancaman hukuman 5 tahun kurungan penjara.
"Keempat petani yang tergabung Serikat Petani Badega ini mengalami kriminalisasi oleh pihak PTPN VIII setelah menggarap tanah terlantar pada lahan afdeling Cisaroni. Lahan garapannya meliputi Desa Margamulya dan Desa Cikandang," kata Rafi dalam keterangannya, Kamis (1/12/2022).
"Kami mendesak bebaskan keempat petani yang ditahan. Karena sejatinya keempat petani ini merupakan pejuang reforma agraria yang memperjuangkan tanah untuk dikelola sebagai penghidupan," ucapnya menambahkan.
Rafi menyebut, keempat petani Cikandang, Garut, itu sedang memperjuangkan hak atas tanah yang seharusnya bisa mereka dapatkan. Pasalnya, lahan yang mereka garap sudah tidak produktif dan ditelantarkan PTPN VIII. Namun, karena adanya regulasi hak guna usaha (HGU), para petani tidak bisa serta merta menggarap lahan milik PTPN VIII. Padahal lahan yang digarap para petani sudah ditelantarkan PTPN VIII dan tidak produktif sama sekali.
"Sebagaimana kondisi ril di lapangan, lahan area yang berlokasi di Desa Cikandang area garapan blok Cipancur 5 dan 6 itu tidak lagi produktif dan ditelantarkan oleh PTPN VIII," ungkapnya.
Menurut LBH, tanah yang diterlantarkan PTPN VII itu harus bisa menjadi manfaat bagi masyarakat sekitar. Apalagi, keempatnya merupakan petani penggarap yang sama sekali tidak memiliki lahan garapan sendiri. "Sebagian besar masyarakat di Desa Cikandang adalah masyarakat yang mencari nafkah di sektor pertanian. Namun lahan pertanian yang terbatas, menyebabkan petani di daerah ini bekerja sebagai buruh tani, yang akibatnya penghasilan mereka tidak layak dan jauh dari cukup untuk menghidupi keluarganya. Maka buruh tani di sana banyak yang menjadi penggarap lahan tidak produktif atau terlantar di wilayah perkebunan PTPN VIII," katanya.
LBH pun mendesak supaya regulasi HGU PTPN VIII dicabut untuk para petani di Desa Cikandang, Garut. Mereka turut mendesak keempat petani ini segera dibebaskan, dan meminta aparat penegak hukum supaya meninjau kembali keputusannya. "Cabut HGU PTPN VIII Desa Cikandang area garapan blok Cipancur 5 dan 6 yang selama ini jadi tanah terlantar dan digarap oleh para petani untuk sumber kehidupan. (Dan) kepada aparat penegak hukum seharusnya lebih melihat pada konteks penguasaan hak atas tanah yang dimana petani tersebut sejatinya mendapat hak penguasaan tanah bukan dijawab melalui pemidanaan," katanya.
Kronologi Kejadian
Saat dikonfirmasi ulang, Rafi menceritakan kronologi kasus tersebut. Kasus yang menimpa empat petani Cikandang ini terjadi pada pertengahan 2022. Mereka dilaporkan pihak PTPN VIII ke Polsek Cikajang dengan tudingan perusakan pohon teh. "Dari awal tahun 2022 sebetulnya sudah ada konflik. Sampai pertengahan di bulan Maret, Juni, Juli, konfliknya agak meningkat dan berujung ada laporan dari PTPN ke Polsek Cikajang. Laporannya perusakan di lahan perkebunan," kata Rafi kepada detikJabar.
Rafi mengungkap, petani di Desa Cikadang tidak merasa merusak lahan maupun pohon teh di tanah milik PTPN VIII. Warga malah membantu memproduktifkan kembali tanah di lahan tersebut karena sudah bertahun-tahun disebut ditelantarkan oleh PTPN VIII. Tak hanya itu, warga menurut penuturan Rafi, juga merasa sejak 1995 sudah tidak menemukan aktivitas lagi di lahan yang kini berstatus milik PTPN VIII. Seharusnya kata dia, jika sudah ditelantarkan, maka warga berhak untuk menggarap lahan yang sama sekali tidak dimanfaatkan PTPN.
"Fakta di lapangan memang tanahnya itu sudah terlantar, pohon tehnya itu kira-kira tingginya sudah 4 meter dan dipenuhi semak belukar. Pokoknya udah seperti hutan belantara, tidak seperti perkebunan teh pada umumnya," katanya.
"Makanya warga berinisiatif untuk membuka lahan tersebut. Tapi ternyata malah berujung ada laporan dari PTPN ke Polsek Cikajang. Padahal enggak ada yang dirusak, karena itu tanahnya tanah terlantar. Jadi tidak ada yang namanya perusakan perkebunan teh, tapi warga itu menggarap tanah terlantar," kata Rafi.
Respons Jaksa
Menanggapi hal tersebut, pihak Kejaksaan Negeri Garut buka suara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Friza Adiyudha mengatakan saat ini perkaranya memang sudah dipersidangkan.
"Agendanya sudah di pengadilan. Penahanan kita lakukan pada tanggal 14 November, saat tahap dua. Kita limpah ke pengadilan tanggal 20 November, kemudian keluar penetapan dari pengadilan tanggal 23 November," ucap Friza kepada wartawan di kantornya, Kamis (1/12/2022).
Berdasarkan berkas perkara yang dilimpahkan Polres Garut kepada Kejaksaan, penyidik menjerat keempat tersangka dengan Pasal 170 ayat 1 KUHP, serta dakwaan alternatif yakni Pasal 107 C UU RI Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. "Kalau ancaman hukumannya, Pasal 179 5 tahun 8 bulan, di atas 5 tahun dapat dilakukan penahanan. Alternatifnya Pasal 107 itu 4 tahun maksimal," kata Friza.
Friza mengatakan, berdasarkan berkas perkara yang diterimanya, kasus tersebut bermula dari peristiwa penebangan sejumlah pohon teh, yang dilakukan keempat terdakwa yakni Nandang, Saepudin, Ujang dan Pakih itu sekitar bulan Juni 2022. "Para terdakwa dan pelaku lainnya yang masih dalam daftar pencarian orang melakukan penebangan atau pembabatan pohon teh milik PTPN VIII. Pohonnya banyak, ratusan mungkin. Karena ini terjadi di beberapa area PTPN," katanya.
Para terdakwa mengakui perbuatannya tersebut. Menurut Friza, berdasarkan keterangan dari para terdakwa, mereka merasa berhak untuk mengelola tanah yang diakuinya sebagai milik negara. "Cuman, dalam hal ini, PTPN merasa keberatan sehingga akhirnya pihak PTPN melaporkannya ke Polres. Sampai proses persidangan pun, para terdakwa tetap merasa yang dilakukannya tidak salah," ungkap Friza.
(ral/iqk)