Asep Yudi Nurul, pemuda asal Kabupaten Tasikmalaya tega menyiksa bayi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) hingga mati. Aksi penyiksaan yang dilakukan Asep tergolong sadis, selain itu, aksi penyiksaan ini dijadikan konten dan videonya dijual.
Kriminolog Fakultas Hukum Unpad Widati mengatakan, penyiksaan satwa tersebut bisa terjadi karena motif ekonomi.
"Dari kasus yang ada dan tampak di luar riset, dari isu tersebut kelihatannya motifnya uang," kata Widati via sambungan telepon, Kamis (15/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Widati, tekanan hidup bisa melatarbelakangi orang tega berbuat kejam dan melakukan penyiksaan hewan hingga konten videonya dijual.
"Ada tekanan orang hidup untuk mencapai sukses, dia standar hidupnya nggak sampai, sehingga cari alternatif karena penghasilan dan pekerjaannya tidak tetap. Maka dia cari alternatif gimana caranya bisa sampai cita-citanya, tapi tidak melalui jalur yang legal," ungkapnya.
Pendidikan yang rendah juga bisa membuat pelaku melakukan hal-hal di luar batas normal seperti itu.
"Dia tidak punya sarananya, kalau dia pendidikannya bagus, kariernya bagus, dia punya tuh sarana untuk dapat goals, ternyata cita-cita dia nggak dapat lewat cara legal," tuturnya.
Motif ekonomi menjadi alasan bagi mereka melakukan tindak kejahatan. Mereka juga dibayang-bayangi kehidupan yang mewah, namun kemewahan itu tak tercapai.
"Masyarakat yang penuh tekanan ini juga jadi salah satu faktor lakukan kejahatan. Tekanan sosial, tekanan ekonomi, media image yang menawarkan luxury (kemewahan), orang kan ingin punya handphone keren, punya lifestyle yang luxury sama dengan orang lain tapi sarananya nggak ada. Ini kejahatan biasa dilakukan oleh masyarakat kelas bawah, punya goals seperti orang lain tapi jalannya nggak ada," jelasnya.
Jika dilihat dari sisi perilaku, menurutnya harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut apakah pelaku tersebut waras atau tidak. Seba dalam kriminologi ada teori yang mengatakan bahwa orang yang melakukan perilaku menyimpang itu ada yang salah pada dirinya. Misalnya dia punya gen yang agresif, orang keji, atau tega yang ada pada dirinya sejak lahir.
"Teori ini ada kalau dilakukan kajian mendalam, biasanya kejahatan yang orang sulit membayangkan kok manusia bisa melakukan hal seperti itu, seperti mutilasi dan kejahatan seksual yang menyimpang," tuturnya.
Perspektif lain, menurut Widati yakni kontrol diri atau kontrol personal, mengapa pelaku tidak punya kontrol diri dan melakukan perbuatan diliar batas nalar. Kontrol personal ini sesuatu yang dibawa keluarga dan dipantau oleh lingkungan, jadi artinya siapa orang ini, bagaimana dibesarkan, apa yang diajarkan tentang cinta kasih, katakan dengan hewan, dengan manusia dan kemudian dia tinggal dan dibesarkan di lingkungan seperti apa.
"Kita tahu orang bisa kaya dari konten, bahwa konten itu menghasilkan sesuatu, disitu adalah proses yang ia pelajari meniru sesuatu, orang bisa kaya lho. Dia belajar sesuatu, ada proses meniru bahwa konten seperti ini bisa dijual," ucapnya.
Ia pun memandang apa yang dilakukan pelaku bukan kejahatan individu. Sebab, ada permintaan pasar di situ yang berusaha dipenuhi pelaku.
"Ketika ini bisa dijual, bisa dijelaskan menggunakan learning teori, bahwa orang belajar dan meniru dari orang lain dan faktor lain karena ada peluang dan pasar. Artinya bukan kejahatan individu yang begitu kejam, tapi ada demand-ya, karena ada demand pasti ada suply," pungkasnya.
(wip/orb)