Jemparingan adalah olahraga panahan tradisional yang berasal dari budaya Jawa, khususnya dari lingkungan keraton atau kerajaan. Seiring berjalannya waktu, Jemparingan telah banyak digandrungi oleh masyarakat luas.
Bagi para pecintanya, jemparingan tidak hanya menjadi ajang olahraga semata, melainkan sebuah cara untuk menjaga warisan budaya serta mempererat tali silaturahmi.
Di Kota Cirebon, Jawa Barat, tidak sedikit masyarakat yang menekuni olahraga jemparingan. Bahkan, mereka telah membentuk sebuah komunitas yang bernama Paseduluran Jemparingan Cirebon (PJC).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdiri sejak tahun 2016 silam, komunitas ini telah memiliki sekitar 60 orang anggota yang berasal dari berbagai kalangan. Menariknya, meski jemparingan ini adalah olahraga tradisional, namun yang menekuni olahraga ini tidak hanya orang tua, melainkan juga anak muda.
detikJabar berkesempatan berbincang-bincang langsung dengan salah seorang pengurus Paseduluran Jemparingan Cirebon (PJC), Didin Kamsudin. Ia pun menjelaskan tentang asal usul jemparingan dan berbagai keunikannya.
Jemparingan Gaya Mataraman
Didin mengatakan bahwa dalam olahraga jemparingan ini sebenarnya ada berbagai macam gaya. Namun, khusus yang ditekuni oleh para anggota PJC adalah gaya mataraman.
"Di kita itu jemparingan gaya mataraman. Karena di setiap daerah juga banyak panah-panah tradisional yang bentuk dan ragamnya macam-macam," terang Didin.
Menurut Didin, jemparingan gaya mataraman berasal dari lingkungan keraton, dalam hal ini yaitu Keraton Yogyakarta.
"Untuk asal usulnya, jemparingan gaya Mataraman ini berasal dari Keraton Yogyakarta. Pertama memang dari penggede-penggede keraton, lama-lama banyak masyarakat yang ingin terlibat," kata Didin kepada detikJabar di Kota Cirebon, Minggu (16/2/2025).
Di Kota Cirebon sendiri, menurut Didin, banyak masyarakat yang menekuni jemparingan gaya mataraman. Terutama mereka yang tergabung dalam Paseduluran Jemparingan Cirebon.
Saat ini, setidaknya ada sekitar 60 orang yang tergabung dalam komunitas tersebut. Baik pria maupun wanita, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.
"Sekarang anggotanya kalau ditotal kurang lebih ada 60 orang. Nah, yang uniknya di kita ini, usianya dari yang anak-anak sampai kakeknya itu ada," kata Didin.
Busana dan Peralatan dalam Jemparingan
Didin menjelaskan bahwa olahraga jemparingan memiliki ciri khas tersendiri, baik dari segi busana para pemain maupun peralatan yang mereka gunakan.
Menurutnya, setiap pemain jemparingan diwajibkan mengenakan busana tradisional yang mencerminkan kebudayaan dari daerah asal mereka.
Jika pemain jemparingan ini berasal dari Jawa, maka busana yang digunakan pun tentunya mengandung unsur-unsur khas kebudayaan Jawa, seperti kain batik, baju lurik, serta berbagai aksesoris tradisional, termasuk iket atau penutup kepala.
"Untuk busananya, masing-masing daerah punya ciri khas busananya. Untuk event gladhen, syaratnya utamanya harus berbusana daerah. Ngga mesti batik sebenarnya, karena setiap daerah kan punya pakaian khasnya masing-masing," ucap Didin.
![]() |
Sementara itu, Didin juga menjelaskan tentang alat panah yang digunakan dalam jemparingan gaya Mataraman. Ia menyebutkan bahwa dalam jemparingan ini, semua alat yang digunakan terbuat dari bahan alami dan tradisional, baik busur maupun anak panahnya.
"Bahan dasarnya tidak boleh ada unsur yang non-natural. Semuanya berbahan dasar natural, seperti bambu, kayu. Baik itu busurnya maupun anak panahnya. Untuk anak panahnya itu ada unsur besinya di ujungnya untuk kestabilan," kata Didin.
Cara Bermain Jemparingan Gaya Mataraman
Didi kemudian menjelaskan lebih lanjut tentang teknik dalam jemparingan gaya Mataraman. Menurutnya, para pemain harus duduk bersila dan menjaga kestabilan tubuh saat melakukan tembakan.
"Saat memanah posisi duduknya sila untuk laki-laki. Sedangkan untuk perempuan bisa sila bisa duduk simpuh," kata dia.
Terkait cara memegang busur panah, Didi menjelaskan bahwa busur harus dipegang dengan posisi vertikal, sedikit miring. "Posisi busurnya vertikal, sedikit miring," kata Didin.
Sasaran tembakan dalam jemparingan gaya Mataraman ini adalah sebuah bandul dengan dua warna, yakni merah di bagian atas dan putih di bagian bawah.
"Target sasarannya kita memakai bandulan, panjang 30 centimeter, diameternya 3 centimeter. Di molo atau kepalanya itu berwarna merah, sedangkan badan atau awak berwarna putih. Kalau kena warna merah atau molonya itu nilainya 3. Sedangkan kalau kena awak atau warna putih bernilai nilai 1," kata Didin.
Gladhen Jemparingan di Kota Cirebon
Pada Minggu (16/2), Paseduluran Jemparingan Cirebon (PJC) mengadakan sebuah event perlombaan atau gladhen yang diikuti oleh para peserta dari berbagai daerah.
"Biasanya kalau di event olahraga yang lain kan namanya lomba, nah kalau dikita namanya gladhen," kata Didin.
Digelar di kawasan Bima Kota Cirebon, gladhen jemparingan itu diselenggarakan dalam rangka memperingati ulang tahun PJC yang ke-8.
Didin mengatakan, gladhen jemparingan ini merupakan sebuah acara yang rutin diselenggarakan setiap tahun di Kota Cirebon. Namun, kali ini, acara tersebut digelar dalam rangka memperingati ulang tahun PJC ke-8.
Menurut Didin, gladhen jemparingan gaya mataraman ini diikuti oleh para peserta yang berasal dari berbagai daerah. "Para pesertanya ada dari berbagai daerah. Ada yang dari Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jogjakarta," kata Didin.
Didin menilai, jemparingan ini tidak hanya menjadi ajang olahraga semata, melainkan juga sebuah cara untuk menjaga warisan budaya. Ia pun berharap, dengan banyaknya masyarakat yang menekuni, olahraga jemparingan dapat tetap lestari.
"Ini merupakan dalam rangka kami menjaga tradisi dan budaya kita sendiri," demikian Didin.
(yum/yum)