Sore itu, di salah satu sudut bagian belakang Gua Sunyaragi, yang dulu pernah digunakan untuk lokasi Pasar Seni, tampak beberapa anak usia belasan tahun sedang asyik menari, dengan menggunakan selendang warna hitam. Terlihat tangan, badan dan kaki mereka tampak lincah bergerak mengikuti irama lagu gamelan yang diputar dari pengeras suara.
Tepat di depan mereka, terlihat seorang pria berusia 63 tahun, sedang fokus memperhatikan anak-anak yang sedang menari, sambil sesekali mencontohkan bagaimana gerakan tari yang benar. Nama pria paruh baya tersebut adalah Kardiman atau biasa akrab dipanggil Pak De, yang merupakan pelatih dari anak-anak yang sedang menari.
Sebelum menjadi pelatih tari, Kardiman merupakan ASN di salah satu kantor pajak di Kota Cirebon. Namun, setelah pensiun pada 2013, Kardiman memutuskan mengisi waktu pensiunnya dengan membuka sanggar tari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aktif melatih menari sejak 2013, setelah pensiun dari ASN kantor pajak, kebetulan saya punya keahlian menari, daripada di rumah suntuk, akhirnya mending buka sanggar kelas menari, itu cara saya untuk mengisi waktu pensiun," tutur Kardiman, belum lama ini.
![]() |
Awalnya Kardiman hanya membuka kelas tari untuk anak-anak di sekitar rumahnya. Namun, lama-kelamaan anak-anak yang ingin belajar tari semakin banyak. Tak hanya anak-anak, ada juga mahasiswa yang ikut belajar menari di Sanggar Ciptawati milik Kardiman. Setidaknya, dalam setahun, ada ratusan anak yang silih berganti belajar menari tradisional kepada Kardiman.
"Ternyata alhamdulillah, dari awalnya cuman tetangga di kanan dan kiri, nyebar ke perumahan lain, akhirnya sampai ke daerah lain, kayak dari Beber, Gunung Jati, Ciledug, dari Losari juga pernah ke sini. Di Kota Cirebon, hampir semua sekolah pernah belajar menari di sanggar kita, kebetulan kadang ngajar ekskul tari juga. Untuk usianya tidak terbatas, dari TK sampai mahasiswa bisa belajar," tutur Kardiman.
Selain dorongan untuk melestarikan tari tradisional, alasan lain kenapa Kardiman memutuskan menjadi penari adalah untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani dia saat mengisi waktu pensiun. Menurutnya, ada beberapa manfaat yang dia rasakan saat aktif menari di usia senja.
"Banyak manfaatnya kayak untuk refreshing, untuk jaga kesehatan, kalau masa tua diam terus malah penyakit mudah datang, beda kayak lagi menari, itu bisa buat enjoy," tutur Kardiman.
Kardiman mengatakan keahlian menari sudah ia kuasai sejak dari kecil. Hal ini membuat dia tidak asing dengan seni tari. Kardiman mengatakan, hampir semua jenis tari tradisional ia kuasai, tak jarang ia juga sering diundang untuk melakukan pentas di berbagai macam pertunjukan.
"Kalau saya sendiri dari SMP, SMA, kuliah sampai kerja itu tetap menari tari tradisional, kadang juga tari kreasi, dari Melayu atau Kalimantan. Tapi kalau di sini, kita fokuskan tari Jaipongan sama Topeng. Dulu sering pentas, paling jauh pernah di Bengkulu, Bangka Belitung, sampai Pelembang itu pernah," tutur Kardiman.
![]() |
Meskipun menari identik dengan perempuan, tapi, tidak bagi Kardiman. Menurutnya, baik laki-laki ataupun perempuan semuanya berhak untuk bisa menari. Kardiman ingin membuktikan bahwa menari hanya untuk perempuan adalah mitos belaka.
"Memang terkesan mitosnya kalau cowok menari itu bencong, padahal kalau mau lihat di Jawa, itu banyak penari cowok semua, kayak di Jawa Timur itu di tari jaranan yang menari cowok semua, atau di Indramayu tari topeng banyak yang cowok, kecuali di Cirebon sedikit penari cowok, masih susah nyari murid yang cowok," tutur Kardiman.
Untuk biaya latihan, Kardiman mematok biaya terjangkau, yakni Rp 30.000 dalam satu bulan. Bahkan untuk anak-anak sekitar Gua Sunyaragi, Kardiman tidak mematok tarif sama sekali, alias gratis.
Kardiman hanya berharap, semoga dengan menjadi pelatih tari, ia bisa terus melestarikan seni tari tradisional. "Jangan sampai tari tradisional punah, sama sekalian untuk mengajak anak-anak agar tidak terlalu fokus main gadget juga, gitu saja," pungkas Kardiman.
(orb/orb)