Sistem Irigasi Padi Hemat Air (IPHA) mulai diterapkan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sistem tersebut diterapkan di lahan pertanian Desa Slangit, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon.
Menteri PU Dody Hanggodo meninjau langsung lahan pertanian padi di Desa Slangit yang menggunakan sistem IPHA, Sabtu (4/1). Dody mengatakan, IPHA ini merupakan sistem irigasi yang dirancang untuk mengoptimalkan penggunaan air dalam pertanian padi.
Selain itu, kata dia, dengan penerapan sistem IPHA tersebut, jumlah produksi hasil pertanian juga bisa lebih meningkat hingga rata-rata 2 ton per hektare jika dibandingkan dengan sistem konvensional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang membedakan (dengan sistem konvensional) yang pasti (penggunaan) airnya berkurang. Tapi yang paling pokok, produksinya naik rata-rata 2 ton gabah kering," kata Dody di Cirebon, Sabtu (4/1/2025).
Sebelum di Kabupaten Cirebon, menurut Dody, sistem IPHA untuk lahan pertanian ini telah lebih dulu diterapkan di wilayah Kabupaten Indramayu dan membuahkan hasil memuaskan. Kini, sistem tersebut mulai diterapkan di Kabupaten Cirebon dengan harapan mendapat hasil yang sama. "(Sistem IPHA) sudah sukses di Indramayu. Sekarang kita tarik ke Cirebon dan kita terapkan di Cirebon. Harapannya di sana sukses di sini sukses," kata Dody.
Kendati demikian, Dody mengakui jika sistem IPHA ini memiliki tantangan tersendiri. Terutama meningkatnya ancaman hama tikus karena lahan tidak selalu tergenang air. Untuk mengatasi persoalan tersebut, Kementerian PU akan memasukkan pembangunan rumah burung hantu sebagai bagian dari program IPHA untuk lahan pertanian.
"Ini membutuhkan rumah burung hantu. Karena kan ini padi hemat air. Jadi ngga selalu menggenang airnya. Kalau ngga ada rumah burung hantu, yang nyerbu tikus. Kasihan petani nanti," kata Dody.
Dody menyebut, IPHA merupakan program kolaborasi antara Kementerian PU, Kementerian Pertanian dan TNI AD. Dody berharap sistem IPHA ini bisa menjadi salah satu solusi bagi para petani yang sering menghadapi kendala keterbatasan air.
"Di Indonesia kan masalah utamanya adalah air. Semua itu mengatakan, ngga ada air, gagal panen. Nah dengan ini bisa menjadi salah satu solusi. Bahwa dengan hemat air pun bisa maksimal," kata dia.
"Tapi ini kan sesuatu yang baru dan petani juga harus diedukasi. Yang kedua, kalau ngga ada air, ada tikus. Itu juga sesuatu hal yang harus kita bicarakan dengan petani," sambung Dody.
Sementara itu, petugas penyuluh pertanian dari BPP Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, Sanaji menjelaskan tentang sistem penanaman padi dengan menggunakan sistem IPHA, mulai dari proses penyemaian hingga tahap penanaman bibit. Ia mengatakan, dengan sistem IPHA ini proses penanaman padi tidak terlalu membutuhkan banyak air. Pengaturan air mulai diterapkan mulai dari proses penyemaian hingga memasuki waktu panen.
"Beberapa perlakuan di metode IPHA ini, saat penyebaran benih di persemaian itu ditambahkan dengan abu sekam. Yang tujuannya saat pencabutan bibit akan lebih mudah," kata Sanaji.
"Untuk airnya sendiri sudah mulai diatur mulai dari penyemaian sampai nanti panen. Waktu penyemaian, air itu cukup macak-macak tidak perlu banyak-banyak," kata dia menambahkan.
Menurut Sanaji, dengan sistem IPHA ini ketinggian air di lahan pertanian jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan sistem konvensional. "Ketika sudah mulai pindah tanam, air juga diatur. Air itu paling tinggi maksimal 2 centimeter. Kalau yang konvensional, petani biasanya kalau ada air itu mumpung banyak air, bisa sampai 5 centimeter," kata dia.
Sanaji mengatakan, sistem IPHA ini baru diterapkan di lahan pertanian Desa Slangit, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon. Oleh karenanya, ia pun belum bisa menjelaskan bagaimana tingkat produksi pertanian dengan menggunakan sistem tersebut. "Kami di Slangit ini baru (menggunakan sistem IPHA). Sehingga kami belum bisa membicarakan masalah produksi, karena belum panen," kata dia.
Seperti dijelaskan sebelumnya, sistem IPHA tersebut telah lebih dulu diterapkan di lahan pertanian Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Salah seorang petani yang mengaku telah menerapkan sistem IPHA adalah Sunaryo. Ia merupakan seorang petani yang berasal dari Desa Cangko, Kecamatan Tukdana, Kabupaten Indramayu.
"Sudah dua musim (menggunakan sistem IPHA) MT (musim tanam) 1 dan MT 2 tahun kemarin," kata Sunaryo saat hadir dalam acara kunjungan Menteri PU, Dody Hanggodo di Desa Slangit, Kabupaten Cirebon.
Sunaryo pun menjelaskan beberapa kelebihan dari sistem IPHA untuk lahan pertaniannya. Menurutnya, dengan menggunakan sistem tersebut, jumlah produksi pertaniannya mengalami peningkatan jika dibandingkan menggunakan cara lama atau sistem konvensional. "Alhamdulillah ada peningkatan. Dengan sistem konvensional kita cuma 8,4 (ton) per hektare. Sedangkan dengan program IPHA ini bisa mencapai 9,8 sampai 10 (ton) per hektare," ucap Sunaryo.
Meski begitu, Sunaryo tidak menampik jika sistem IPHA ini memiliki tantangan tersendiri. Dengan menggunakan sistem tersebut, Sunaryo mengaku jadi lebih sering membersihkan rumput yang tumbuh di sekitar lahan pertaniannya. "Lebih sibuknya di pencabutan rumput. Karena program IPHA ini kan berselang pengaturan airnya, tiga hari sekali. Otomatis rumputnya cepat tumbuh. Jadi kita lebih ekstra untuk penyiangannya. Bisa 4 sampai 5 kali penyiangan dalam satu musim," kata Sunaryo.
(iqk/iqk)