Keluh Kesah Warga Tinggal di Penyangga PLTU Indramayu

Keluh Kesah Warga Tinggal di Penyangga PLTU Indramayu

Sudedi Rasmadi - detikJabar
Senin, 14 Okt 2024 11:30 WIB
Deretan kapal nelayan di muara Karangsong Kabupaten Indramayu
Ilustrasi nelayan Indramayu (Foto: Sudedi Rasmadi/detikJabar)
Indramayu -

Warga penyangga proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berada di Desa Sumuradem, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu mengaku merasakan dampak yang cukup siginifikan. Tak hanya kesulitan mencari udang mereka juga merasakan adanya cuaca ekstrem.

Mistara (42) misalnya, warga yang juga anggota Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (JATAYU) bercerita tentang kesulitan nelayan untuk mendapat tangkapan udang rebon. Hal itu terlebih setelah adanya PLTU Indramayu berdiri.

Biasanya, kata Mistara, hasil tangkapan udang rebon yang didapat nelayan bisa mencapai 1,5 kuintal dalam satu bulannya. Bahkan saat kegiatan Open Mic dan Diskusi Publik Jurnalis Rakyat Indramayu terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) PLTU Indramayu itu, Mistara menyebut musim udang di wilayah penyangga hampir selalu ada selama 12 bulan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebelum adanya PLTU, udang yang didapat per bulan bisa mencapai 70 kilogram sampai 1,5 kuintal. Setelah PLTU1 berdiri, udang yang didapat tidak sampai 20 kilogram per bulan. Musim udang rebon yang awalnya bisa selama 12 bulan, setelah berdiri PLTU 1, musim udang hanya 1 sampai 3 bulan," ungkap Mistra, Senin (14/10/2024).

Kegiatan yang bertajuk 'Ruang Aman atau Ancaman untuk perempuan?' itu dihadiri sekitar 40 orang dari berbagai kalangan, lintas jejaring dan komunitas di Indramayu. Dalam acara yang digelar di Aula Pesantren Miftahul Huda, Segeran Kidul, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu itu juga diisi oleh pemateri baik dari aktivis perempuan Indramayu dari Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) hingga aktivis Lingkungan dan Pemerhati Proyek PLTU Sumuradem.

ADVERTISEMENT

Dalam materinya, Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyebut perempuan termasuk orang yang rentan terdampak pembangunan proyek. Sehingga perlu bagi perempuan untuk memahami isu lingkungan.

"Penting untuk perempuan turut serta berpartisipasi dalam menyusun kebijakan dan memahami isu lingkungan. Sebab, pada dasarnya perempuan adalah orang yang paling rentan terdampak dari setiap proyek-proyek pembangunan" kata Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Zahra Amin .

"Bukan hanya perempuan yang terdampak dengan adanya PLTU Indramayu ini, akan tetapi seluruh. Semua masyarakat secara umum turut terdampak dari proyek pemerintah yang katanya Proyek Strategis Nasional," kata Aktivis Lingkungan dan Pemerhati Proyek PLTU Sumuradem, Ahmad Sayid Mukhlisin turut menyambung di sesi penyampaian materinya.

Diskusi tentang isu lingkungan itu pun disambut baik oleh pengasuh Ponpes Miftahul Huda. Hal itu karena jarang ada diskusi tentang lingkungan juga meskipun diakuinya banyak dampak yang yang kini dirasakan.

"Harapannya kegiatan ini ada berkelanjutan, syukur-syukur ada aksi-aksi nyatanya, selain menumbuhkan awareness juga kita agar lebih sadar dengan isu lingkungan untuk kehidupan yang berkelanjutan," ucap Pengasuh Ponpes Miftahul Huda, Novi Assirotun Nabawiyah.

Dampak PLTU itu sendiri berdampak buruk pada berbagai lini aspek kehidupan, juga sangat berdampak kepada orang-orang yang dilemahkan dalam hal ini anak-anak, perempuan, disabilitas maupun lansia. Sudah saatnya pelibatan bermakna perempuan dan orang muda dan lintas generasi agar kita semua melek literasi dengan isu lingkungan.




(dir/dir)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads