Nelayan dii Desa Mundu Pesisir Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, selalu dihantui kerugian. Sebab, hasil melaut kadang tak sebanding dengan modal yang dikeluarkan. Ya, hasilnya minus.
Kondisi demikian kerap dirasakan Nanang (42) dan nelayan lain. "Sekali berlayar nelayan itu butuh modal Rp 600.000, tapi dapatnya kadang-kadang kurang dari segitu, paling dapat Rp 400.000," lah tutur Nanang, Selasa (12/5/2024).
Nanang yang juga Wakil Ketua Nelayan Desa Mundu menuturkan, di zaman sekarang berprofesi menjadi nelayan amat sangat sulit untuk dijalani. "Sekarang itu kehidupan nelayan benar-benar susah, nggak kaya dulu sebelum tahun 2000-an," tutur Nanang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Nanang, ada banyak faktor yang membuat kehidupan nelayan di Mundu Pesisir menjadi sulit. "Pertama masalah limbah pabrik yang dibuang ke laut, tersandera utang sama tengkulak, solar, sama kapal besar yang nangkep ikan di wilayah nelayan tradisional," tutur Nanang.
Nanang memaparkan bagaimana masalah-masalah tersebut muncul. Dimulai dari masalah limbah pabrik yang dibuang ke laut. Imbasnya, hasil tangkapan ikan menurundrastis. Selain itu, dampak lainnya adalah kerusakan ekosistem.
"Di sini juga semenjak ada PLTU dan perusahaan-perusahaan lain, buang limbahnya ke laut. Apalagi kalau malam pas hujan itu kesempatan, nggak diolah dulu, buang limbahnya seenaknya aja," tutur Nanang.
"Dampaknya ke nelayan itu kan, biota lautnya pada mati, dari mulai biota yang masih bibit juga pada mati," tutur Nanang.
Dampak buruk terhadap lingkungan akibat pembungan limbah ke laut itu sangat memukul Nanang. Pria berusia 42 tahun itu mengaku tak bisa panen kerang hijau gegara limbah yang mencemari laut. Selain menangkap ikan, Nanang juga memiliki 28 keramba untuk membudidayakan kerang hijau.
"Saya sebagai nelayan keramba kerang hijau, itu benar-benar terasa, selama setahun ini, kerang hijau nggak panen sama sekali, gara-gara limbah tadi," tutur Nanang.
Nanang juga mengeluhkan tentang kapal besar yang menangkap ikan di wilayah nelayan tradisional. Meski sudah ada aturan yang jelas tentang operasional kapal besar di laut.
"Ada lagi yang lebih parah, kita nelayan kecil yang kemampuanya mesinya cuman 2jt bersaing dengan perahu yang punya kemampuan 16 gross ton sampai 30 gross ton. Nah yang bikin saya jengkel operasinya di tempat nelayan tradisional," tutur Nanang.
Sambil menunjukkan kapal besar yang sedang beroperasi, Nanang mengatakan, sekalinya kapal besar ke laut, hasil tangkapan ikannya bisa mencapai berton-ton.
"Bahkan carinya itu bukan ikan besar saja, tapi ikan baru yang baru menetas dari telurnya saja itu kena. Sekali kena itu, bukan hitungannya kuintal tapi ton. Okelah kalau operasinya dari 5-6 mil itu nggak masalah, itu malah dari 1-3 mil. Jadi buat nelayan tradisionalnya tuh apa," tutur Nanang,
Untuk masalah solar, walaupun sudah dijatah 30 liter per hari. Menurut Nanang di kawasan Mundu Pesisir, jatah tersebut masih kurang, karena untuk menangkap rajungan dan ikan sekarang harus di atas 4 mil dengan kebutuhan solar 40 - 50 liter. Selain itu juga, solar masih sulit untuk didapatkan.
"Yang ditunjuk pemerintah pom bengsinya cuman satu, yang ada di Kanci, Astanajapura. Diserbu sama 4 desa, kalau dihitung perahunya, 4 desa itu hampir 7000. Padahal yang nelayan di sini (Mundu) lebih dekat ke pom bensin Kalijaga yang ada di Kota Cirebon. Tapi tidak boleh, alasanya NIKnya bukan orang kota tapi kabupaten," tutur Nanang.
Mengatasi hal tersebut, Nanang dan nelayan yang lain membeli solar kepada para tengkulak dengan harga yang jauh lebih mahal.
Tersandera Tengkulak
Nanang menambahkan, hampir semua nelayan yang ada di Mundu Pesisir terjebak dengan utang di tengkulak dengan nominal mencapai puluhan juta rupiah.
"Dulu nelayan di sini itu ada sekitar 300 nelayan sekarang paling 100 nelayan dan itu kesandra tengkulak semua. Bahkan sama yang ngutangnya ada mindset gini, enak kalau hutangnya banyak, bayarnya nanti kalau udah mati. Itu menset muncul karena pasrah saking banyak hutangnya," tutur Nanang.
Menurut Nanang, kenapa nelayan lebih memilih berutang ke tengkulak dibandingkan ke bank, karena di tengkulak tidak ada bunga serta jaminan ketika berutang. Meski begitu, menurut Nanang, ada syarat jangka panjang yang harus dipenuhi oleh nelayan. Yakni, setiap hasil tangkapanya harus dijual ke tengkulak dengan harga yang jauh lebih murah.
"Misal saya belum punya perahu, untuk menutupinya saya utang di tengkulak. Sama tengkulak pasti ngasih, dengan catatan cari apa aja (hasil laut) harus masuk sama dia. Tapi harga jualnya yah bener-bener. Kaya kerang, harga umumnya Rp 5.000 tapi dijual sama tengkulak Rp 3.000, karena apa? modal kamu ke laut dari saya (tengkulak). Jadi tersandera sama tengkulak," tutur Nanang.
Nanang menceritakan, pernah ada upaya untuk melepas nelayan agar tidak tersandra tengkulak, yakni dengan cara membuat koperasi. Tapi tidak terlaksana, karena terkendala anggaran yang cukup besar.
"Satu-satunya cara kan harus ada koperasi. Tapi koperasi juga terbentur masalah dana. Soalnya satu Desa Mundu saja, agar semua nelayan terbebas dari jerat tengkulak itu butuh dua sampai tiga miliar buat bayarin ke tengkulak, itu supaya barangnya masuk ke koperasi semua, belum menghitung operasional koperasinya," tutur Nanang.
Melihat modal yang besar, menurut Nanang, baik dari pihak swasta maupun pemerintah menolak untuk membuat koperasi nelayan.
"Sempat untuk buat kayak gitu, dari mulai pengusaha, pertamina atau BUMN, sama pemerintah cuma yah gitu bilangnya terkendala sama anggaran," tutur Nanang.
Nanang juga memaparkan, tentang program pendamping nelayan yang sekarang sudah tidak ada lagi. Menurut Nanang, program pendampingan sangat diperlukan oleh nelayan Desa Mundu.
"Semenjak tahun 2020 Desa Mundu jarang ada pendamping dari dinas kelautan, padahal dulu masih ada. Nah semenjak orang lamanya pindah, sampai sekarang nggak ada," tutur Nanang.
Nanang berharap, ke depan pemerintah dapat lebih memperhatikan lagi nelayan kecil seperti dirinya. "Harapanya, pemerintah lebih memperhatikan nelayan kecil lah, supaya nelayan bisa makmur lagi seperti dulu, jangan selalu ditindas saja kayak gini," pungkas Nanang.
Senada disampaikan nelayan lainnya, Amin (64). Amin mengaku sulit menjadi nelayan di zaman sekarang. "Menjadi nelayan itu sulit, mata pencahariannya, kadang-kadang ada, kadang-kadang nggak ada. Kayak sekarang nih musim paceklik gini, paling nganggur," tutur Amin.
Untuk memenuhi modal melaut, menurut Amin sejak dulu, nelayan memang lebih memilih berutang kepada tengkulak. "Jadi kita ya utang aja meski nggak menguntungkan, meski dapat hasil harganya nggak sesuai kan dijual ke tengkulak," tutur Amin.
Semenjak fisiknya tidak lagi mampu untuk diajak ke laut. Amin, memutuskan untuk berhenti menjadi nelayan. Menurut Amin, tidak hanya saat aktif jadi nelayan yang sulit, menjadi pensiunan nelayan juga sama sulitnya.
"Nggak punya kesibukan apa-apa, kayak gini saja, setiap hari, mau kerja di darat juga susah kan, tenaganya sudah habis di laut, jadi ya nganggur aja kayak gini," tutur Amin.
(sud/sud)