Usia senja dan badannya yang sudah tak sekuat dulu tidak melunturkan semangat Omon untuk mencari nafkah. Setiap hari, ia memikul jualannya dari sekolah ke sekolah demi menunaikan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga sekaligus ayah dari keempat anaknya.
Ia tidak tahu persis tahun berapa ia lahir, namun kulit yang mulai keriput dan badannya yang tak lagi tegak menunjukkan usianya yang sudah tak muda lagi. "Dulu mah kalau ada yang lahiran gak dicatat kayak sekarang, jadi gak tahu tahun berapa saya lahir. Kalau di KTP saya lahir tahun 1955, itu juga tahunnya nembak," kata pria dengan kemeja merah yang mulai memudar itu kepada detikJabar belum lama ini.
Sebelum berjualan telur congkel, pria kelahiran Garut ini pernah bekerja sebagai pengangkut batu di Gunung Galunggung, Tasikmalaya. Namun tragedi yang menimpanya membuat Omon mencari jalan lain untuk mencari nafkah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu pas zamannya Pak Habibie jadi presiden saya pernah kerja ngangkatin batu di Gunung Galunggung, upahnya Rp 3.000 per hari. Tapi kena musibah, punggung saya kejatuhan batu yang dibawa teman, sampe gigi saya habis pada copot," ujarnya sambil menunjukkan giginya yang hanya tersisa sedikit.
Tidak lama setelah berhenti kerja di Gunung Galunggung, Omon diajak oleh rekannya merantau ke Bandung untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Ia tidak ingat tahun berapa pertama kali ke Bandung, yang ia ingat ketika itu masih Pak Habibie yang memimpin Indonesia.
"Awal merantau ke Bandung, saya sudah jualan ini (telur congkel) ikut sama orang. Dulu harganya masih Rp 250 satu loyangnya. Awalnya ikut orang lain, jadi setelah pulang dagang, harus setor sama yang punya. Kalau sekarang mah alhamdulillah, udah punya sendiri," ungkapnya mengenang puluhan tahun yang lalu.
Sekarang, Omon menjual dagangannya seharga Rp 5.000 satu loyang. Untuk membuat satu loyang telur congkel, dia mencampur 2 butir telur puyuh dan adonan terigu kemudian digoreng di cetakan berbentuk setengah lingkaran. Ia masih menggunakan kompor dengan minyak tanah untuk memasaknya.
"Alhamdulillah, dalam sehari habis 40 butir telur puyuh, kadang bisa lebih kadang juga kurang. Kalau buat makan sama ngirim ke kampung mah cukup, walaupun gak banyak yang penting disyukuri," katanya.
Selama lebih dari 25 tahun merantau, Omon tinggal sendiri di Bandung, ia menyewa kamar kontrakan kecil yang disewanya Rp 2,5 juta setahun, sementara istri dan anaknya tinggal di kampung. Dari 4 anaknya, ia masih berkewajiban menyekolahkan anak bungsunya yang baru saja lulus SMP.
"Dua anak saya sudah menikah, anak yang ketiga pernah masuk pesantren, saya ngirimin uang Rp 1 juta setiap bulan, tapi anaknya malah keluar, gak betah katanya. Sekarang harapan saya tinggal anak yang bungsu, baru lulus SMP, semoga ada rezeki buat dia sekolah," ungkapnya.
Omon tidak berharap banyak, ia hanya ingin anaknya melanjutkan sekolah supaya bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi.
"Harapan saya gak banyak, cuma mau anak saya sekolah benar aja. Selagi ada rezeki saya kirim buat ongkos sekolahnya. Supaya hidupnya lebih baik dan dapat kerja yang enak juga," harapnya.