Perjuangan Suparman, Nelayan Tradisional Cirebon di Era Modern

Perjuangan Suparman, Nelayan Tradisional Cirebon di Era Modern

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Selasa, 04 Jun 2024 06:00 WIB
Suparman, nelayan asal Cirebon.
Suparman, nelayan asal Cirebon. (Foto: Fahmi Labibinajib/detikJabar)
Cirebon -

Sudah lebih dari 50 tahun Suparman menjadi nelayan di Kampung Cangkol Tengah, Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Kini usianya sudah 60 tahun, Suparman bercerita profesi nelayan telah dijalani keluarganya secara turun-temurun.

"Asli anak nelayan, asam garam jadi nelayan sudah dicoba. Dari buyut sudah jadi nelayan, saya generasi keempat. Sejak kelas 2 SD saya sudah jadi nelayan," tutur Suparman kepada detikJabar belum lama ini.

Suparman, yang juga Ketua Himpunan Nelayan Cangkol Tengah (HNCT), mengatakan saat ini teknologi memudahkan pekerjaan nelayan dibandingkan dulu. "Dulu ikan banyak, tapi sekarang lebih enak. Dulu nelayan pakai layar, sekarang pakai mesin. Dulu tidak ada listrik, pakai minyak. Teknologi membuat semuanya lebih mudah," ungkap Suparman.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu teknologi yang sangat membantu adalah GPS manual serta alat bantu berupa karang buatan yang disebut rumpon. "Rumpon adalah alat bantu tangkap ikan di Cangkol yang mirip terumbu karang buatan. GPS yang kami gunakan masih GPS Garmin manual, karena lebih baik dibanding GPS HP," tambah Suparman.

Meski dengan kemudahan teknologi, namun, kebanyakan nelayan kini menghadapi kendala, salah satunya adalah harga rajungan dan udang yang sedang turun. "Sekarang harga rajungan jatuh. Dulu yang ada kulitnya bisa Rp 50.000 per kilo, sekarang hanya Rp 10.000 per kilo. Padahal yang sudah dikupas bisa sampai Rp 120.000 per kilo dengan upah pengupas Rp 30.000. Tapi kalau beli di saya, murah hanya Rp 10.000," tutur Suparman.

ADVERTISEMENT

Untuk udang, harga jatuh lebih drastis lagi. "Dulu waktu saya kecil, udang mahal. Satu kilo udang setara satu gram emas. Sekarang emas tambah mahal, udang murah. Sekarang udang saya jual 1 kilo Rp 50.000, padahal dulu bisa mencapai Rp 200.000 per kilo," kata Suparman.

Suparman kurang tahu pasti mengapa harga rajungan dan udang bisa turun drastis, tapi ia memperkirakan karena minimnya konsumsi makanan laut serta banyaknya nelayan di kapal besar.

"Orang Indonesia cepat bosan makan udang, tidak seperti orang luar yang makan udang lima ons sehari. Orang Indonesia lebih banyak makan ayam, padahal harusnya lebih banyak makan ikan. Selain itu, banyak orang jadi nelayan di kapal besar, jadi produksi banyak, pembeli sedikit," papar Suparman.

Meski harga sedang anjlok, Suparman tetap melaut mencari ikan. Dalam seminggu, ia biasanya berlayar tiga kali. "Dulu setiap hari ke laut, sekarang seminggu paling tiga kali," tutur Suparman.

Untuk modal melaut, nelayan harus berutang ke bank. "Saya punya utang buat modal, tapi saya mampu membayarnya dengan lancar, meski ada yang terkendala bayar," kata Suparman.

Dalam sekali melaut, Suparman mendapatkan hasil kotor sekitar dua juta rupiah. "Nelayan kan tidak menentu, tapi kalau dapat, bisa Rp 2.000.000 kotor, dipotong modal Rp 400.000 dan gaji ABK Rp 200.000, paling saya dapat sisa Rp 1.400.000," ungkap Suparman.

Untuk masalah solar di Cangkol, menurut Suparman, masih mencukupi. "Kalau kesulitan sih tidak, paling kadang suratnya mati jadi harus bikin lagi. Per hari dijatah 30 liter, tapi cukup untuk mancing," jelas Suparman.

Suparman mengungkapkan di zaman sekarang banyak orang kurang berminat menjadi nelayan. Menurutnya, ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini. "Banyak yang berkurang, jadi nelayan itu disiplin. Kalau bisa dari kecil SD atau SMP sudah jadi nelayan biar berani. Kalau sudah dewasa, kurang berani. Banyak anak perempuan yang menikah dengan orang darat, dan banyak yang memilih jadi pegawai. Kemarin saja ada nelayan 70 tahun jual kapalnya, soalnya tidak ada yang mau meneruskan," kata Suparman.

Suparman tidak bisa memaksakan orang agar tetap jadi nelayan. Menurutnya, hal tersebut merupakan pilihan hidup masing-masing. "Itu pilihan anak-anak masing-masing, tidak harus ditekan untuk jadi nelayan," ujar Suparman.

Bagi Suparman, meski menjadi nelayan tidak membuat kaya, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Nelayan tidak mungkin kaya, penghasilan tidak pasti, tapi cukup untuk makan sehari-hari, menyekolahkan anak. Rezeki sudah ada masing-masing," pungkas Suparman.

(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads