Menyesap Semarak Lebaran di Cirebon Tempo Dulu

Lorong Waktu

Menyesap Semarak Lebaran di Cirebon Tempo Dulu

Fahmi Labibinajib - detikJabar
Rabu, 10 Apr 2024 09:30 WIB
Masjid Cirebon.
Masjid Cirebon (Foto: Istimewa).
Cirebon -

Sebagai kota yang memiliki sejarah panjang, Cirebon punya banyak tradisi khususnya saat Lebaran. Bahkan tradisi Lebaran itu terdokumentasikan dalam catatan koran Hindia-Belanda Soarabaiasch-Handelsblad edisi 22 November 1907.

Dalam koran tersebut diceritakan, tentang semarak Lebaran. Para penduduk Cirebon menyalakan petasan dan kembang api pada hari ketujuh bulan November. Di sepanjang jalan terdengar kebisingan suara mercon dan kembang api. Biasanya waktu penyalaan kembang api oleh pemerintah daerah sebelumnya, dinyalakan sebelum Lebaran. Tepatnya di malam terakhir puasa. Selain itu juga penyalaan kembang api hanya di halaman rumah dengan waktu tertentu.

Namun di tahun ini, perayaan Lebaran berbeda, banyak orang yang menikmati Lebaran dengan berjalan-jalan. Terdapat pula banyak hiburan yang luar biasa di jalan kota. Dalam koran tersebut juga dituliskan, tentang pakaian yang dikenakan masyarakat Cirebon pada saat Lebaran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Zeer opmerke- lijk was het dat er ook ditmaal meer vertier was in straten en wegen der kotta. Bij groepjes te voet en in karre- tjes sag men se komen en gaan, onze Satja's en Sana's, keurig uitgedost in nieuwe sawitans en zwarte of khaki-jassen en kleurige badjoe's, nette sarongs en swierige slendangs," tulis koran tersebut.

Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini "Terlihat orang-orang datang berkelompok dengan berjalan kaki dan naik kereta. Mereka berpakaian rapi dengan baju jahitan baru dan jaket hitam atau warna khaki serta pakaian warna warni. Ada pula yang menggunakan sarung dan selendang dengan anggun. Mereka berpakain rapi untuk pergi mengunjungi saudara dan kerabat sesudah beribadah salat Id,"

ADVERTISEMENT

Kedatangan mereka ke sanak saudara untuk berkunjung bersilaturahmi meminta maaf. Pada saat berkunjung tak lupa mereka disuguhi teh harum, kue manis asli. Segala sesuatunya tampak teratur, tidak ada minuman keras, atau tindakan berlebihan apapun seperti yang kadang terjadi di tempat lain.

Tradisi Lebaran di Sekitar Keraton Kasepuhan

Kepala Pariwisata dan Informasi Keraton Kasepuhan Iman Sugiman menuturkan, memang sudah sejak dulu Cirebon memiliki banyak tradisi. Beberapa tradisi bahkan sudah ada sejak era Sunan Gunung Jati.

"Tradisi itu sudah ada sejak dulu peninggalan leluhur, tidak ada tradisi yang tercipta di zaman sekarang," tutur Iman.

Salah satu tradisinya diisi setiap malam menjelang Lebaran, tepatnya di 10 hari terakhir Ramadan. Warga sekitar keraton menyalakan api yang dinamakan dengan damar malem. Penyalaan obor damar sendiri harus dilakukan di malam ganjil Ramadan.

"Seperti di malam ke 21, 23, 25, 27, dan 29. Itu di hampir setiap sudut rumah di sekitar keraton menyalakan api," tutur Iman, Jumat (29/3/2024).

Menurut Iman, alasan kenapa harus di malam ganjil, karena dipercaya turunnya malam lailatul qadar itu di malam ganjil 10 terakhir bulan Ramadan. Tradisi tersebut oleh masyarakat disebut dengan maleman. Namun, menurut Iman, sekarang tradisi maleman sudah jarang dilakukan.

Untuk obornya terbuat dari kapas dan minyak kelapa, dengan piring kecil yang terbuat dari tanah. Menurut Iman, piringnya mirip piring yang dipakai sebagai wadah tahu gejrot. Setelah dinyalakan, damar tersebut diletakan di sudut sekitar rumah dan keraton.

Tradisi lain di hari Lebaran, menurut Iman, adalah kala sultan keraton Kasepuhan melaksanakan salat Id dua kali. Pertama di Langgar Agung yang ada di dalam keraton, kedua di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

"Di Langgar Agung dari jam 6 pagi sampai jam 7, dilanjutkan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, jemaah sudah banyak menunggu. Di pandu oleh kaum Masjid Sang Cipta Rasa, para kaum menjemput sultan dari Langgar Agung menuju Masjid Agung, kemudian memandu jalanya salat Id," tutur Iman.

Ketika melaksanakan salat Id, banyak masyarakat dengan memakai baju baru yang meriah datang ke Masjid Agung. Mulai dari masyarakat Cirebon sampai luar kota, ikut dalam ibadah salat Id bersama sultan."Di Langgar Agung ada sekitar 300 an, yang membludaknya di Masjid Agung ada sekitar 1000 orang lah. Itu kesempatan pemudik juga dari luar kota ingin tahu masjid wali, kedua pengen ikut salat," kata Iman.

Setelah selesai pelaksanaan salat Id, sultan meninjau pertunjukan kesenian gamelan sekaten. Yang hanya dibunyikan setahun dua kali, yakni, di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. "Gong sekaten sendiri gong yang usianya sudah mencapai 600 tahun. Peniggalan para wali. Pembunyian gong sendiri, tidak lama, dimulai dari setelah salat Id sampai duhur," tutur Iman.

Setelah Lebaran, tepatnya dua hari setelah lebaran, sultan dan keluarga melakukan halal bi halal, kepada warga sekitar yang ingin berkunjung dan bersilaturahmi. "Banyak yang datang, tapi waktunya terbatas dari pagi sampai duhur," kata Iman.

Lalu di tanggal 7 sawal atau 7 hari setelah lebaran. Sultan mengadakan grebeg sawal. Untuk melakukan ziarah kubur ke Astana Gunung Sembung. Pada tahun 1907 dalam artikel koran Soarabaiasch-Handelsblad, perayaan grebeg lebaran sempat untuk tidak dilangsungkan. Dituliskan juga, penghormatan kepada raja telah dihilangkan oleh kepala pemerintahan Belanda.

Selain tradisi di atas, menurut Iman tidak ada tradisi lain lagi yang dilakukan keraton Kasepuhan dan warga sekitar saat lebaran. "Nggak ada lagi. Jadi malam takbiran yah khusus pembayaran zakat fitrah, umumlah dimana-mana," pungkas Iman.

(mso/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads