Jalan Jacob Ponto Kuningan, Kisah Wafatnya Raja Manado Saat Pengasingan

Lorong Waktu

Jalan Jacob Ponto Kuningan, Kisah Wafatnya Raja Manado Saat Pengasingan

Mohamad Taufik - detikJabar
Sabtu, 16 Des 2023 19:30 WIB
Makam Jacob Ponto di Kuningan.
Makam Jacob Ponto di Kuningan. Foto: Mohamad Taufik/detikJabar
Kuningan - Melintasi Desa Sangkanurip, Kecamatan Cigandamekar, Kabupaten Kuningan, terdapat sebuah jalan kecil yang mempunyai nama unik, Jalan Jacob Ponto. Konon, nama jalan tersebut diambil dari nama Raja Manado yang meninggal dunia saat menjalani pengasingan oleh kolonial Belanda.

Kemudian, Raja Manado itu wafat. Dan, jasadnya dikuburkan di daerah itu, yang kini diberi nama Jalan Jacob Ponto.

Untuk memastikannya, detikJabar pun menelusuri keberadaan makam Raja Jacob Ponto tersebut. Berdasarkan petunjuk dari warga setempat, makam Raja Manado tersebut berada di tengah areal Taman Pemakaman Umum (TPU) Blok Kaliwon, Desa Sangkanurip, atau sekitar 200 meter dari gerbang jalan.

Ternyata tak sulit menemukan keberadaan makam Raja Jacob Ponto. Makam Raja Siau ke-14 tersebut berada di antara deretan makam warga setempat.Namun, dibangun lebih tinggi dengan atap genting menaungi dan terdapat pekarangan kecil di sisi kanan makam dengan tiang bendera merah putih tegak terpancang.

"Di lahan kecil depan makam ini sering dipakai untuk upacara bendera saat Hari Kemerdekaan RI atau Hari Pahlawan oleh kelompok ormas dan OKP, Koramil, pernah juga dari Lanal Cirebon. Sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Manado yang telah berjuang melawan Belanda pada masa penjajahan dulu," ungkap Juru Kunci Makam Yacob Ponto Engkos Rosta (60) saat berbincang dengan detikJabar, Rabu (13/12).

Engkos membenarkan makam tersebut merupakan tempat dikuburkannya sang Raja Siau ke-14. Ini dibuktikan dengan adanya prasasti yang menempel di salah satu dinding makam bertuliskan "Jacob Ponto Radja Keradjaan Siau Sangihe-Talaud Keresidenan Manado. Bertachta Selama Tahun 1851-1890. Diasingkan Oleh Pemerintah Hindia Belanda Pada Tahun 1889 Ke Tjirebon Dan Wafat Pada Tanggal 3 Mei 1890 Di Sangkanhurip".

Di bagian bawah makam pun masih terdapat batu nisan berwarna kuning. Konon, batu nisan tersebut adalah yang pertama dipasang oleh pemerintahan Desa Sangkanurip dulu saat Raja Jacob Ponto dikebumikan.

"Awalnya makam ini dibuat terbuka sama seperti makam pada umumnya. Kemudian pernah dipugar tahun 2012 lalu, dan kembali direnovasi pada tahun 2018 lalu oleh Komandan Lanal Cirebon hingga jadi seperti sekarang," tutur Engkos.

Adapun sejarah Raja Jacob Ponto bisa berada di Sangkanurip, Engkos mengaku hanya mengetahui sedikit saja berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat dan beberapa literasi buku sejarah pemberian keluarga keturunan Jacob Ponto.

"Awalnya dulu warga di sini tidak tahu nama asli beliau, hanya menyebutnya Raja Menado saja. Sampai akhirnya pada tahun 1960, ada salah satu keturunan Raja Jacob Ponto bernama GD Ponto datang ke sini dan memastikan makam tersebut adalah leluhurnya seorang Raja Siau yang meninggal dunia saat dalam pengasingan penjajah Belanda," ujar Engkos.

Dari keluarga keturunan Raja Yacob Ponto, Engkos juga diberi buku berjudul "Jejak Leluhur Warisan Budaya Di Pulau Siau" yang ditulis oleh Max S. Kaghoo. Diterangkan dalam buku tersebut, Raja Jacob Ponto merupakan putra dari Daud Ponto, saudara dari Nikolaus Ponto.

Makam Jacob Ponto di Kuningan.Makam Jacob Ponto di Kuningan. Foto: Mohamad Taufik/detikJabar

"Raja Jacob Ponto dulunya sangat disegani oleh warga Sangkanurip yang menyebutnya sebagai Raja Manado. Sampai-sampai setelah beliau meninggal namanya dibadikan menjadi nama jalan menuju makam ini Jalan Jacob Ponto," ujarnya.

Berdasarkan catatan sejarah, Raja Jacob Ponto merupakan salah satu pangeran di kerajaan Kaidipang hasil perkawinan antara Kerajaan Siau dan Kerjaan Bolangitang. Dia diangkat menjadi Raja Siau ke - 14 oleh Komolang Bobatong Datu (Majelis Petinggi Kerajaan) yaitu semacam lembaga legislatif yang dibentuk oleh Raja Winsulangi.

Jacob Ponto tercatat sebagai raja muslim yang memerintah selama 38 tahun. Pemerintahannya dihentikan Belanda karena dia membangkang mengibarkan bendera Belanda di halaman istananya. Raja ini hanya mau mengibarkan bendera kerajaan berwarna merah putih yang memang sejak lama sudah dipakai sebagai atribut kerajaan Siau, yaitu terhitung sejak zaman Raja Winsulangi.

Pejabat Belanda yang dikirim untuk menggertak raja tidak berhasil membuat raja gentar. Raja juga tidak mau menaikkan pajak kepala di Siau sehingga dia berdebat dengan pejabat Belanda dan mengatakan untuk residen Manado kala itu " Residen punya perintah, tetapi beta Raja Siau punya negeri dan bala rakyat. Simpanlah perintah tuan untuk negeri tuan".

Pada tahun 1889, Belanda dengan siasat seperti yang dilakukan pada Pangeran Diponegoro pada tahun 1830, menipu juga raja Jacob Ponto. Wakil Residen Manado datang ke Siau dan memintanya naik ke kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Ulu Siau. Belanda menyatakan ingin merundingkan hal penting dengan raja. Namun pada saat di kapal itu malah raja Jacob Ponto ditawan, selanjutnya dibuang ke Karesidenan Tjirebon. Tak heran di kalangan masyarakat Siau raja ini terkenal dengan gelar 'I tuang su Sirebong' (Tuan Raja di Cirebon).

Karena perlakuan tidak manusiawi selama perjalan pengasingan menggunakan kapal laut tersebut, menyebabkan Raja Yacob Ponto menderita sakit, salah satunya sakit kulit. Karena sakit tersebut, Raja Yacob Ponto pun meminta dimukimkan di daerah yang mempunyai sumber mata ari panas yaitu di Sangkanurip.

Hingga akhirnya, beliau ditemukan oleh warga setempat dalam keadaan sudah meninggal dunia di tempat pemandian air panas setempat dan kemudian oleh warga setempat dikebumikan secara layak, sekalipun tidak diketahui asal-usulnya. Hingga akhirnya pada tahun 1960, makam Raja Yacob Ponto ditemukan oleh salah satu keturunannya bernama GD Ponto dan mengumumkan kepada masyarakat setempat tentang keberadaan makam tersebut adalah leluhurnya yang seorang raja Siau yang meninggal dunia saat dalam pengasingan penjajah Belanda. (sud/sud)



Hide Ads