Dwifungsi Satria dalam Cerita Puragabaya Zaman Pajajaran

Dwifungsi Satria dalam Cerita Puragabaya Zaman Pajajaran

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Sabtu, 05 Apr 2025 07:00 WIB
Ilustrasi tulisan sejarah di samping buku dan pensil
Ilustrasi (Foto: Freepik/freepik)
Bandung -

Dalam khazanah sastra Indonesia, ada novel tiga jilid yang merupakan seri kesatria hutan larangan. Ketiganya masing-masing berjudul 'Pangeran Anggadipati', 'Banyak Sumba', dan 'Pertarungan Terakhir'.

Terbit pada tahun 2008, cerita ini ditulis oleh Saini K.M., penulis kawakan kelahiran Sumedang, Jawa Barat. Buku itu memang penuh dengan adegan silat. Kecuali adegan pertarungan dan pelarian yang menegangkan, banyak juga ditemukan ungkapan-ungkapan kebijaksanaan yang bisa direguk untuk disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari pembacanya.

Dalam cerita berseri tersebut, ada fragmen tentang ketidakbolehan seorang satria, prajurit, atau puragabaya mempelajari ilmu pemerintahan. Mengapa demikian? Ada alasan yang dijelaskan dalam bentuk dialog yang nanti akan dikutipkan dalam artikel ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, sebelum itu, sejumlah istilah perlu diketahui dahulu maknanya sebelum masuk ke dalam cerita berlatar zaman Kerajaan Sunda Pajajaran ini.

Istilah Puragabaya

Saini K.M. menuliskan kisah kesatria hutan larangan itu dengan menaburkan kata-kata Sunda ke dalam jalinan cerita yang menggunakan bahasa Indonesia, termasuk kata 'puragabaya' sendiri yang tidak ditemukan dalam KBBI daring.

ADVERTISEMENT

Di dalam kamus Sundadigi, lema puragabaya juga tidak ditemukan. Yang ditemukan hanya kata 'Purabaya' tanpa 'ga'. Purabaya punya arti satria dalam cerita pewayangan. Misalnya tokoh Gatotkaca. Satria sendiri menurut kamus yang sama bermakna prajurit.

Lalu apa makna Puragabaya? Mungkin saja ini gabungan dari dua kata. Jika dipecah lalu disatukan kembali, maknanya agak mengena. Puragabaya disusun atas kata 'Puraga' dan 'Baya'.

Puraga berarti 'hal-hal yang harus dilakukan' atau perintah, dan 'Baya' adalah bahaya. Puragabaya punya makna 'orang yang harus mengerjakan hal-hal paling bahaya'.

Karena tugasnya yang berat ini, tentu Puragabaya bukan prajurit sembarangan. Dia harus memiliki ilmu keperwiraan yang sangat tinggi, sesuai dengan tugas yang akan diemban, yakni menciptakan keamanan di seluruh Pajajaran.

Mari kita kutip dialog di dalam buku pertama, Pangeran Anggadipati:

"Anakku, tidakkah kau senang dipilih menjadi Pengawal Pribadi sang Prebu?" ayahandanya balik bertanya dengan penasaran. (hal. 14)

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Puragabaya bukan orang sembarangan dan bukan ditempatkan di sembarang tempat, melainkan di sisi prabu atau raja. Perwira yang langsung melindungi dan ada di lingkungan kerajaan.

Gemblengan untuk Calon Puragabaya

Puragabaya merupakan satu dari dua pekerjaan mulia bagi pangeran-pangeran dari kerajaan-kerajaan kecil di bawah sistem federal Kerajaan Sunda beribukota di Pajajaran. Pekerjaan lainnya adalah menjadi menteri di pemerintahan.

Sebagai teureuh bangsawan, setiap pangeran di kerajaan-kerajaan kecil itu dilecut untuk mempelajari naskah-naskah lontar tentang ilmu pemerintahan. Namun, apakah jadi menteri atau jadi perwira, tergantung situasi negara dan apa titah dari ibukota untuk pangeran-pangeran itu.

Situasi dapat berubah sewaktu-waktu jika negara kekurangan calon-calon perwira. Pangeran-pangeran berumur belasan tahun itu akan dipilih untuk menjadi calon puragabaya.

Calon puragabaya akan menjalani latihan sangat berat di sebuah padepokan yang disebut Padepokan Tajimalela. Padepokan ini berada di puncak gunung yang tidak diketahui lokasinya oleh sembarangan orang. Hanya para pendidik dan orang-orang terpilih saja yang bisa sampai ke tempat itu. Padepokan itu dipimpin Eyang Resi Tajimalela.

Di tempat ini, para calon puragabaya dilatih untuk punya ilmu silat yang tinggi sehingga mampu bertarung dengan efektif dan menang. Selain ilmu silat tingkat tinggi dengan melalui latihan-latihan yang berat, para calon puragabaya itu juga dilatih untuk mempunyai budi yang halus dengan ajaran-ajaran karesian atau kependetaan.

Ini penting, sebab tanpa pengendalian emosi yang baik, tubuh mereka yang telah terlatih akan menjadi bahaya bagi orang lain dan dirinya sendiri. Sehingga, purgabaya itu boleh dikatakan perwira sekaligus resi.

Dwifungsi Satria dalam Cerita Puragabaya

Satria yang diistilahkan dengan puragabaya dalam cerita gubahan Saini K.M. berlatar zaman Pajajaran di Sunda ini menyiratkan tidak boleh adanya hasrat seorang puragabaya untuk menduduki posisi-posisi pemerintahan.

Untuk memastikan ketiadaan hasrat itu, kemampuan puragabaya dalam bidang pemerintahanpun ditiadakan, yaitu dengan cara tidak boleh seorang calon puragabaya mempelajari ilmu pemerintahan.

Penjelasan hal ini muncul dalam dialog antara Pangeran Anggadipati dengan ayahnya, ketika Anggadipati terpilih oleh Padepokan Tajimalela untuk menjadi calon puragabaya, menggantikan calon sebelumnya yang meninggal dunia saat menjalani latihan-latihan berat.

Berikut ini dialog tersebut:

"Ayahanda, apakah kedudukan seorang puragabaya lebih kurang terhormat dari kedudukan seorang menteri?"

"Sama sekali tidak, anakku," ujar Ayahandanya, "yang menyedihkan bagi kami adalah bahwa kau tidak boleh lagi menyentuh ilmu kenegaraan yang sangat cocok bagi bakatmu itu."

"Mengapa tidak boleh, Ayahanda?"

"Anakku, kalau seorang puragabaya tahu akan ilmu kenegaraan, maka mungkin sekali ia pada suatu kali ingin menjadi orang berkuasa dan memerintah. Ini akan berbahaya sekali. Kalau seorang puragabaya menjadi menteri, misalnya, itu berarti bahwa pada dirinya bersatu dua kekuatan, yaitu kekuasaan seorang menteri dan keperkasaan seorang puragabaya. Kekuasaan dan kekuatan lahiriah ini tidak boleh bersatu, karena akan berbahaya. Seandainya puragabaya yang menjadi menteri itu baik, akan beruntunglah negara dan bangsa kita. Sebaliknya kalau puragabaya itu meninggalkan asas-asas kesatriaan dan kependetaan, akan sukar bagi rakyat Pajajaran untuk menggantikannya, karena puragabaya memiliki keperkasaan yang sangat ampuh itu. Itulah sebabnya, anakku, kau akan dilarang menyentuh ilmu kenegaraan, bahkan segala kenangan akan ilmu itu akan dihapus dari pikiranmu sedang daun-daun lontar yang berisi catatanmu akan dibakar bersamanya." (hal. 15-16)

(iqk/iqk)


Hide Ads