Jompong Larang, Mak Comblang Zaman Sunda Kuno

Jompong Larang, Mak Comblang Zaman Sunda Kuno

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Rabu, 26 Mar 2025 08:00 WIB
Ilustrasi contoh pantun Sunda lucu.
Ilustrasi catatan tentang Mak Comblang zaman Sunda Kuno (Foto: Istimewa)
Bandung -

Menjadi perantara antara perempuan dan laki-laki supaya berjodoh ternyata bukan peran orang saat ini saja. Pada zaman Sunda kuno, ada pula peran serupa Mak Comblang.

Mak Comblang menurut KBBI daring adalah 'perantara pencari jodoh; perantara yang menghubungkan atau mempertemukan calon suami istri'. Di dalam bahasa Sunda, Mak Comblang disebut 'Panglayar'. Panglayar biasanya adalah perempuan yang diberi tugas untuk menyampaikan ucapan, surat, hingga hadiah dari masing-masing pihak.

detikers, di Zaman Sunda kuno, ketika Kerajaan Sunda beribu kota di Pakuan Pajajaran (Bogor saat ini) Mak Comblang sudah eksis. Di antara Mak Comblang Sunda Kuno adalah perempuan bernama Jompong Larang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kisah tentang Jompong Larang ini termaktub di dalam Kitab Bujangga Manik, sebuah naskah kuno yang diduga dibuat pada abad ke-15 M. Naskah itu berisikan catatan perjalanan Bujangga Manik atau Prabu Jaya Pakuan, atau yang bernama Ameng Layaran yang melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat keramat, pertapaan, sekolah agama, dan tempat para guru keagamaan, di Pulau Jawa dan Bali.

Menurut Prof. Agus Aris Munandar, ahli arkeologi, Bujangga Manik bisa dibaca pula Pu Janggama Manik atau (M)Pu Janggamanik yang artinya kurang lebih "pengelana yang dihormati" (Jumantara, Vol.1 No.1 Tahun 2010).

ADVERTISEMENT

Identitas Kitab Bujangga Manik

Menurut situs Balai Bahasa Jawa Barat, naskah Bujangga Manik adalah naskah Sunda Kuno. Ditulis di atas kertas palem (daun lontar) beraksara dan bahasa Sunda Kuno. Naskah ini diduga ditulis kurang lebih pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke- 16, dengan mempertimbangkan nama-nama kerajaan-kerajaan yang aktif pada masa itu dan disebutkan dalam naskah tersebut.

Naskah Bujangga Manik ini merupakan koleksi perpustakaan Bodleian di Oxford, Inggris dengan nomor katalogus MS Jav b 3 (R). Terdaftar sejak tahun 1627 atau 1629.

Situs Balai Bahasa Jawa Barat menegaskan bahwa di dalam kitab atau naskah Bujangga manik ini tidak ditemukan kata yang berasal dari Bahasa Arab, sehingga boleh dipastikan bahwa naskah ini dibuat pada masa Pra-Islam di Sunda.

Sepintas Isi Kitab Bujangga Manik

Disebutkan bahwa peristiwa ini terjadi di Istana di kawasan Pakancilan (dekat Sungai Cipakancilan, sungai yang diapit Ciliwung dan Cisadane) dan suasana kesedihan mendalam karena semua orang akan melepas pergi seorang pangeran muda bernama Prabu Jaya Pakuan. Semua orang menangis, termasuk ibundanya, Ratu Bancana.

Prabu Jaya Pakuan hendak pergi ke Timur, melanglang berbagai tempat, sebagaimana dia sebutkan. Perjalanan yang pertama ini dilakukannya dalam waktu yang tidak sebentar, dari Pakuan Pajajaran dia berjalan kaki sampai ke Pamalang (Pemalang?).

Dia mengatakan bahwa area-area Majapahit dan Demak telah dia kunjungi sebelum akhirnya tiba di Pamalang. "Ku ngaing geus kaideran, lurah-lerih Majapahit, palataran alas Demak."

Dari Pamalang, dia menumpang perahu hingga Kalapa (Jakarta), dan kembali ke Pakancilan, tempat tinggalnya untuk bertemu ibunda kembali. Di sini dia tinggal sebentar sampai suatu peristiwa terjadi. Yaitu, ibunda memintanya menerima lamaran seorang putri bernama Ajung Larang Sakean Kilat Bancana. Namun, Prabu Jaya Pakuan yang kini sudah punya nama baru, Ameng Layaran menolak untuk menikah.

Sebagai resi, dia mengungkapkan makna-makna di balik semua hadiah lamaran dari sang putri Sakean Kilat Bancana yang dibawakan Jompong Larang. Setelah itu, Ameng Layar undur diri untuk pergi berkelana kembali.

Dari Pakuan Pajajaran, dia pergi berkelana sampai ke Balungbung dengan jalur yang berbeda dengan perjalanan yang pertama, tinggal setahun di Balungbung dengan bertani dan mendirikan Lingga untuk beribadah, Ameng Layaran pergi ke laut. Di Laut dia mencari kapal tumpangan ke Bali.

Sampai di Bali, Bujangga Manik tinggal tidak lama. Sebatas setahun lebih, lalu dia memutuskan untuk pulang ke tempat asalnya. Dia menumpang perahu yang akan berlayar ke Palembang lanjut Pariyaman. Bujangga Manik sendiri menumpang sampai Balungbungan.

Dia kemudian berjalan, melewati gunung-gunung hingga Lamajang, termasuk dia melintasi Gunung Mahameru. Berjalan terus hingga ke Papandayan, lalu berjalan ke utara ke Gunung Langlayang (Manglayang?), berjalan terus sampai ke Sungai Cisokan, lanjut ke Gunung Gede.

Hampir dekat ke Pakuan Pajajaran, Bujangga Manik malah tidak pulang. Dia pergi ke Ujung Kulon, lalu kembali ke Cisanti, Hulu Citarum dan perjalanan itu berakhir di sekitar Hulu Sungai Cisokan dekat Gunung Patuha.

Peran Mak Comblang Si Jompong Larang

Mak Comblang ini bernama Jompong Larang. Dia dikisahkan jika berjalan bergoyang tubuhnya mungkin karena besar, dikiaskan pada bentuk tubuh gajah. "Dingaran si Jo(m)pong Larang, gupuh sigug ga(m)pang kaeur, leu(m)pang bitan gajar jawa." (Dia yang dipanggil Jompong Larang, sangat gugup, ceroboh, mudah terganggu, dan berjalan seperti gajah Jawa).

Dalam naskah Bujangga Manik, tokoh dari kadatuan yang berlokasi di sebelah barat Istana Pakancilan ini tiba-tiba datang ke Pakancilan dan menanyakan tentang keberadaan seorang resi yang tak lain adalah Ameng Layaran. Begitu melihat lelaki muda itu, Si Jompong Larang merasa sangat tertarik.

"Dingaran si (Jom)pong Larang, na bogoh hamo kapalang, diilikan dibudian, dideuleu diteuteuh-teuteuh, ti manggung dikaha(n)dapkeun, ti ha(n)dap dikamanggungkeun. Bogoh kanu pangawakan"

(Dia yang dipanggil Jompong Larang, benar-benar terlihat tergoda, dia memerhatikannya dan menelitinya, dia memerhatikannya dengan seksama, dari kepala sampai kaki, benar-benar tergoda oleh bentuk tubuhnya)

Sepulang dari Pakancilan, dia menuju kadatuan tempat Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana berada. Di istana itu, dia bercerita tentang apa yang baru saja dilihatnya, yaitu lelaki muda dengan perawakan yang pas, dan dirasa olehnya cocok untuk dojodohkan dengan Ajung Larang.

Pengelihatan Jompong Larang atas Ameng Layaran seperti ini:

"Giling bitis pa(n)cuh geulang, tareros na tuang ramo,para(n)jang na tuang ta(ng)gay, be(n)tik halis sikar dahi, suruy hu(n)tu be(n)tik tungtung, sumaray dadu ku seupah.

(Pahanya padat, pergelangan tangannya molek, jari tangannya runcing, kukunya panjang, alisnya melengkung, pelipisnya menyatu, susunan giginya yang indah, bergerak miring (?) dan merah karena mengunyah pinang.)

"Carekna si Jorong Lo(m)pong: "Taan urang Ajung Larang Sakean Kilat Bancana, ra(m)pes teuing jeueung aing: Latara teuing nu kasep. /6r/ Inya kasep inya pelag, keur meujeuh pasieupan deung taan urang Ajung Larang."

(Jompong Larang berkata: "Putri kami, Putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana, sangatlah indah apa yang ku lihat: Seseorang laki-laki sangat tampan. Tampan, adil, sangat cocok dengan Putri Ajung Larang!")

"Sanembal si Jo(m)pong Larang: "Samapun ngaranna Ameng Layaran. Latara teuing na kasep, kasep manan Banyak Catra, leuwih manan Silih Wangi, liwat ti tuang ponakan. Ageungna se(ng)serang panon, [keur meujeuh] pauc-pauceun di a(n)jung, timang-timangeun di ranjang, tepok tepokeun di kobong, edek-edekeun di rengkeng. Teher bisa carek Jawa, w(e)ruh di na eusi tangtu, lapat di tata pustaka, w(e)ruh di darma pitutur, bisa di sanghiang darma."

(Jompong Larang menjawab: "Mohon maaf, Putri, nama laki-laki itu Ameng Layaran, seorang laki-laki yang sangat tampan, lebih tampan dari Banyak Catra, lebih tampan dari Silih Wangi, bahkan lebih tampan dari keponakan Putri. Ia tinggi dan sangat diidam-idamkan, laki-laki untuk dipeluk dan dibelai di beranda, untuk ditimang-timang di ranjang, ditimbang oleh peraturan, untuk dirangkul di ruang tidur. Selain itu ia bisa bahasa Jawa, mengetahui isi dari kitab-kitab, mengenal susunan buku-buku, mengetahui hukum dan nasihat-nasihat, mengenal sanghyang darma.)

Ajung Larang Sakean Kilat Bancana yang mendengar cerita si Jompong Larang itu menjadi berhasrat. Dia lalu menyiapkan sejumlah hadiah untuk dikirimkan ke Pakancilan. Dia mengirimkan kain dan benda-benda mahal lainnya. Syukur Bujangga Manik mau menerima. Jika diterima, nanti Ajung Larang Sakean Kilat Bancana sendiri yang akan datang ke istana Pakancilan.

Sayang, Bujangga Manik yang telah dibujuk ibunda untuk menerima lamaran dari Ajung Larang itu pun tetap menolak. Dia tidak menikah. Dia bahkan memutuskan untuk pergi lagi dari Pakancilan, yang hingga akhir naskah, setelah perjalanan puluhan tahun, tidak dikisahkan Ameng Layaran itu kembali ke istana.

(yum/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads