'Pak Tua Sinting', Dongeng Keuletan dari Cina

'Pak Tua Sinting', Dongeng Keuletan dari Cina

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Senin, 09 Sep 2024 07:30 WIB
Ilustrasi buku
Ilustrasi buku (Foto: Pexels/Stas Knop)
Bandung - Orang Cina memang terkenal ulet. Apakah keuletan itu muncul dalam seketika? Tentu jawabannya tidak. Keuletan itu diraih dalam perjalanan sejarah yang panjang. Salah satunya, karena orang Cina punya dongeng yang menggugah berjudul 'Pak Tua Sinting'.

Dongeng itu mengisahkan seorang tua ringkih yang mengerjakan hal mustahil, yaitu memindahkan gunung. Namun, dengan tekad dan keyakinan yang kuat, pekerjaan mustahil itu menjadi berhasil.

Nuansa yang sama tentang keuletan di dalam cerita itu, tampak senada dengan apa yang dibayangkan Dedi Mulyadi tentang masyarakat Sunda. Bahwa masyarakat yang tinggal di Jawa Barat ini, harus 'kembali' ulet dengan dasar pendidikan yang benar.

Pembenahan Pendidikan

Politisi Partai Gerindra, Dedi Mulyadi berencana melakukan pembenahan pendidikan di Jawa Barat. Pendidikan dititik tekankan pada aspek kesabaran, ketekunan, dan keuletan.

Rencana itu dia sampaikan saat berorasi ilmiah pada sidang senat terbuka, sekaligus tasyakur milad ke-38 Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Suryalaya Tasikmalaya, Kamis (5/9/2024).

Dilansir detikJabar, aspek kesabaran, ketekunan, keuletan ini menurut Dedi Mulyadi adalah modal utama pengembangan sumber daya manusia yang siap berkompetisi di era industri.

Jika menurut arti katanya merujuk kepada KBBI, kesabaran berarti ketenangan hati dalam menghadapi cobaan, sifat tenang, sifat tidak mudah menyerah; Ketekunan adalah sifat rajin, keras hati, dan bersungguh-sungguh; dan, Keuletan adalah sifat liat dan kuat, tidak mudah putus asa yang disertai kemauan keras dalam berusaha mencapai tujuan dan cita-cita.

Aspek pendidikan yang demikian dikatakan akan membuat anak-anak didik dan generasi pelanjut di Jawa Barat pada umumnya memiliki karakter yang kuat karena mengenal proses.

"Ini harus dibangun sistematika pendidikan ini. Kalau langsung digital bagaimana dia belajar kesabaran, keuletan, dan ketekunan. Saya sudah minta nanti kalau memimpin Jawa Barat, kurikulum di Tasik dibikin berbeda. Di tiap daerah berbeda-beda," kata Dedi.

Menggali Nilai Sunda

Kegelisahan Dedi Mulyadi sehingga berencana membenahi pendidikan di Jawa Barat boleh jadi adalah hasil penggaliannya sendiri terhadap nilai-nilai Kasundaan. Sunda dan tanah Sunda adalah basis kebudayaan dan tempat tinggal Dedi Mulyadi.

Ketika menyampaikan akan membenahi pendidikan di Jawa Barat dengan titik tekan pada aspek kesabaran, ketekunan, dan keuletan, Dedi memang tidak jauh-jauh mengutip cerita keuletan 'Pak Tua Sinting' dari Cina. Dengan yakin, dia mengambil dasar pendidikan itu dari kebudayaan Sunda.

Dia mengerti lokalitas Tasikmalaya yang warganya piawai menganyam, menenun, menyulam, dan membuat kerajinan. Termasyhur di Tasikmalaya ada derah bernama Rajapolah atau di-Indonesiakan menjadi rajanya kriya. Karena di daerah itu, warganya tak pernah berhenti berpolah kreatif.

Menurut Dedi, pekerjaan tradisional itu adalah pekerjaan-pekerjaan yang dapat menjadi media belajar anak-anak melatih kesabaran, ketekunan, dan keuletan.

"Saya menyarankan sederhana saja. Misalnya pendidikan dasar, orang Tasik itu kan keterampilannya menganyam, menenun, menyulam dan kerajinan. Nah itu harus menjadi pendidikan dasar, karena kan membentuk karakter orang untuk dia sabar, tekun dan ulet, ya itu," katanya.

Dongeng Pak Tua Sinting

"Pak Tua Sinting", begitu cerita yang melegenda itu sering disebut, di dalam bahasa Cina cerita itu berjudul "Yu Gong Yi Shan" yang berarti the Foolish Old Man who moved mountains (Pak Tua Sinting yang ingin memindahkan gunung). Demikian dikutip dari Xinhua.

Cerita itu telah menciptakan orang-orang yang rela berperih diri mengerjakan hal-hal besar meski awalnya tampak sangat mustahil. Hasilnya? Cina menjadi bangsa yang besar dan raksasa ekonomi dunia.

Berikut ini ceritanya:

Kocap tercerita, hiduplah Pak Tua. Dia dan keluarganya tinggal di daerah pegunungan. Namun, ada gunung yang menghalangi jalannya masuk ke dan keluar dari tempat tinggalnya. Pak Tua ingin memindahkan gunung itu.

Pak Tua itu umurnya hampir 90 tahun, tubuhnya ringkih, namun dia memutuskan untuk memindahkan gunung itu satu sekop demi satu sekop.

Keputusan dan tindakannya itu dicibir seorang bijaksana. Begini katanya: Kamu sinting! Dengan sisa umurmu ini, memotong kayu di di gunung saja kamu tidak akan mampu, apalagi memindahkan tanah dan batunya!

Pak Tua itu menjawab: Hari ini saya angkut sedikit. Besok sedikit lagi. Esoknya esok sedikit lagi. Dan bila saya mati, anak saya akan menggantikan saya meneruskan pekerjaan ini. Ketika anak saya mati, cucu sayalah yang harus menggantikannya.

Cerita ini terus dikisahkan ulang dari generasi ke generasi sehingga membuat setiap orang di Cina terpacu untuk menggapai cita-cita dengan keuletan tingkat tinggi.

Dalam "Catatan Pinggir" jilid 1, Goenawan Mohamad dengan cerita itu mengomentari bahwa di Nusantara, cerita yang diwariskan turun temurun bukan soal keuletan, melainkan hal-hal yang instan.

Di Sunda sendiri, ada cerita Sangkuriang yang membuat danau lengkap dengan perahu raksasa hanya dalam satu malam. Dalam Wawacan Prabu Kian Santang, anak Prabu Siliwangi itu melipat jarak Sunda-Arab dengan terbang sekali kedipan mata. Dan banyak kisah tentang hal instan lainnya. (iqk/iqk)



Hide Ads