Aden-aden, Hantu yang Terlupakan di Jabar

Aden-aden, Hantu yang Terlupakan di Jabar

Rifat Alhamidi - detikJabar
Sabtu, 13 Jul 2024 09:00 WIB
Ilustrasi Hantu
Foto: Ilustrasi hantu (iStock)
Bandung -

Masyarakat Sunda zaman dulu sudah mengenal berbagai jenis hantu dengan nama sebutannya masing-masing. Lumrahnya memang ada pocong, kuntilanak, wewegombel hingga genderuwo, yang sosok imajinasinya sudah melegenda sejak dahulu kala.

Tapi menariknya, ada satu nama hantu yang saat ini sepe artinya sudah dilupakan masyarakat Sunda di Jawa Barat (Jabar). Nama hantu tersebut adalah Aden-aden, yang digamba rkan sebagai sosok imajinasi menyeramkan tanpa memiliki wajah.

Catatan tentang hantu Aden-aden salah satunya dibahas di komik berjudul Hantupedia: Ensiklopedia Hantu-hantu Nusantara karangan Trio Hantu Cs. Dalam komik tersebut, Aden-aden digambarkan tidak memiliki wajah tanpa mata, hidung dan mulut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Aden-aden merupakan sebutan umum hantu di masyarakat Sunda. Ciri-cirinya beragam. Mungkin supaya enggak bosen aja kalo ketemu mereka di jalan," demikian tulisan pembuka komik Hantupedia dalam menggambarkan hantu Aden-aden sebagaimana dilihat detikJabar.

"Hantu muka rata adalah salah satu bentuk umum penampakannya. Mukanya polos, tanpa mata, hidung dan mulut. Tapi profesinya macam-macam. Bisa jadi tukang sate, perempuan yang duduk kesepian, seperti orang tersesat lalu tanya jalan dan lain-lain," tutur tulisan komik tersebut.

ADVERTISEMENT

Sebagai catatan, pengarang komik, Trio Hantu Cs yang terdiri dari Wiryadi Dharmawan atau Cak Waw dan Yudi Sutanto atau Yudis itu mengatakan gambaran tentang Aden-aden diperoleh dari penelusuran jenis hantu Nusantara yang mencapai seratusan di komiknya. Mereka pun menyatakan, hantu pada dasarnya adalah makna dari ketakutan seseorang.

"...Pada dasarnya, hantu adalah makna dari bentuk ketakutan. Sehingga, apa saja yang menjadi ketakutan di kalangan masyarakat tentang keberadaan mereka, baik itu ilmu hitam ataupun mahluk kriptid adalah bagian dari "Hantupedia'. Dari sisi positifnya, keberadaan mereka membuat sisi religius akan terjaga," ungkapnya.

Menariknya, pembahasan tentang Aden-aden juga tertuang dalam sebuah karya ilmiah seorang dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Semarang (sekarang Universitas PGRI Semarang), Rawinda Fitrotul Mualafina. Dalam tulisannya berjudul Penafsiran di Balik Penamaan Hantu di Majalengka Jawa Barat, sosok Aden-aden pun turut dibahas.

Dalam tulisannya, Rawinda memaparkan bahwa Aden-aden merupakan jenis hantu yang masuk dalam klister setan. Ia menggambarkan Aden-aden sebagai hantu berwujud wanita tua dan kerap muncul di waktu tertentu yang gemar menculik anak-anak.

"Jenis hantu aden-aden ini merupakan jenis setan berwujud wanita tua dan membawa ceting atau sejenis tempat nasi dari anyaman bambu. Ia sering muncul di waktu tengah poe (siang hari) dan hanya dapat dilihat oleh orang-orang tertentu...," demikian kata Rawinda dalam tulisannya dikutip detikJabar.

"...Menurut kepercayaan masyarakat, hantu ini (Aden-aden) gemar menculik anak-anak berumur 10 tahun ke bawah untuk dijadikan budak atau gundik," ucapnya.

Dari hasil kajiannya yang ia tuangkan dalam tulisan tersebut, Rawinda mengatakan penggambaran jenis hantu yang ia teliti di Majalengka ini ternyata punya arti filosofi dari masyarakat. Menurutnya, ada kearifan lokal yang terus dijaga, yang salah satunya memiliki tafsiran bahwa penamaan hantu tersebut muncul atau diciptakan dengan tujuan edukasi berupa nasihat dan peringatan untuk masyarakatnya mengenai sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

"Pemikiran masyarakat yang masih tradisional dan belum mampu menerima hal-hal yang bersifat logis menjadikan pendahulu kita menciptakan sesuatu yang sejalan dengan hal tersebut sehingga sesuatu itu dapat diterima oleh masyarakatnya. Misalnya, peringatan mengenai larangan penebangan pohon...," tulisnya.

"...Dampak peringatan tersebut rupanya lebih efektif bagi masyarakat dibandingkan dengan peringatan lain yang bersifat rasional atau logis, misalnya, berupa ancaman sanksi tertentu. Hal ini tampak ketika tidak seorangpun dari masyarakat yang berani menebang pohontersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa sesuatu yang tradisional tidak diciptakan begitu saja tanpa maksud tertentu di dalamnya," ucap Rawinda.

Sementara itu, saat dihubungi terpisah, Guru Besar Bidang Linguistik Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Cece Sobarna punya pandangan tersendiri di balik kemunculan fenomena imajinasi di kalangan masyarakat Sunda di Jabar pada zaman dulu. Menurutnya, ada kecenderungan fenomena itu punya pesan yang perlu jadi renungan untuk generasi zaman sekarang.

"Karena intinya, bahasa mah cerminan kehidupan masyarakat pada zamannya. Jadi kalau misalnya pada saat itu orang baru sampai pada taraf pemikiran 'mistis', mungkin saja itu kemudian terekam dalam linguistic. Karena setiap era kehidupan itu berbeda dan sekarang kan eranya berubah jadi rasional," katanya saat berbincang dengan detikJabar.

Tanpa harus mempercaya kemunculan imajinasinya, Cece Sobarna menyatakan fenomena itu justru harus menjadi renungan di zaman sekarang. Sebab menurutnya, masyarakat dulu punya caranya sendiri dalam membuat sebuah larangan yang kemudian terbilang ampuh menjaga aturan itu secara turun-temurun.

"Karena dalam hal tertentu, misalkan, itu masih diperlukan. Misalkan terkait dengan hutan, di hutan itu (dulu ada mitos) ada ini-itu (berbagai jenis hantu dan ceritanya). Di satu sisi itu bagus, kejaga kelestariannya, masih terawat. Nah ini yang harus yang harus kita cermati lagi di era modern seperti sekarang," pungkasnya.




(ral/mso)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads