Menguak Misteri Batu Tapak di Situs Astana Gede Kawali Ciamis

Menguak Misteri Batu Tapak di Situs Astana Gede Kawali Ciamis

Dadang Hermansyah - detikJabar
Selasa, 09 Jul 2024 07:00 WIB
Penampakan Batu Tapak atau Batu Kolenjer (Prasasti V) di Situs Astana Gede Kawali.
Penampakan Batu Tapak atau Batu Kolenjer (Prasasti V) di Situs Astana Gede Kawali. Foto: Dadang Hermansyah/detikJabar
Ciamis -

Situs Astana Gede Kawali, Kabupaten Ciamis, memiliki banyak misteri yang menyimpan perjalanan sejarah Kerajaan Galuh. Salah satunya yang menarik untuk dikuak adanya batu prasasti dengan nama Batu Tapak atau Prasasti V Astana Gede Kawali.

Batu Tapak ini berbeda dari prasasti lainnya yang memuat tulisan Sunda kuno. Dalam prasasti tersebut terdapat dua telapak kaki, satu telapak tangan dan garis kotak-kotak sebanyak 45 kotak. Konon batu tersebut disebut juga sebagai Batu Kolenjer atau sekarang orang mengenalnya kalender.

Enno, Budayawan Kawali yang juga Petugas Dinas Pariwisata di Situs Astana Gede Kawali menjelaskan mengenai cerita di balik Batu Tapak Tersebut. Menurut Enno, Batu Kolenjer atau Batu Tapak ini punya keunikan tersendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ada beberapa simbol pahatan. Yakni dua telapak kaki dan satu tangan sebelah kiri dan garis membentuk kotak dengan jumlah 45 kotak dan titik-titik di tengahnya," ujar Enno, Senin (8/7/2024).

Menurut Enno, konon 45 kotak itu merupakan perhitungan atau orang dulu menyebutnya panta mangsa. Perhitungan menentukan hari atau disebut kolenjer (kalender). Jumlah 45 kotak itu bukan artinya perhitungan dulu dalam sebulan 45 hari. Orang Sunda dulu menentukan waktu memakai dua perhitungan, yakni Candra Kala dan Saka Kala.

ADVERTISEMENT

"Saka Kala perhitungan berdasarkan Matahari. Sedangkan Candra Kala itu perhitungan menurut Bulan, sehingga jumlahnya 45 kotak, atau 45 hitungan. Kalau kita sekarang kan 30 hari," jelasnya.

Enno menjelaskan, dua perhitungan itu memiliki fungsi atau menggunakan tertentu. Saka Kala biasanya digunakan untuk menentukan pertanian, membangun rumah dan jalan. Sedangkan Candra Kala, perhitungan yang berhubungan dengan air.

"Untuk Candra Kala biasanya dipakai nelayan untuk menentukan waktu mencari ikan, atau membuat saluran irigasi sungai," jelas Enno.

Orang Sunda sekarang secara tidak sadar ternyata masih menggunakan perhitungan tersebut. Seperti contohnya masyarakat untuk menentukan pembangunan rumah atau waktu yang tepat untuk menggelar pernikahan.

"Sebetulnya secara tidak sadar masih dipakai, hanya saja tidak sadar sumbernya dari mana. Padahal perhitungan itu berasal dari leluhur kita," kata Enno.

Enno menyebut telapak kaki dan tangan yang ada pada Batu Tapak itu adalah milik Prabu Niskala Wastu Kancana (Raja Galuh). Telapak itu dipahat pada saat Prabu Niskala Wastu Kancana berusia 23 tahun atau ketika dinobatkan menjadi Raja.

"Kenapa tangan yang dipahat hanya satu tidak dua, karena yang satu lagi itu sedang menunjukan kotak perhitungan. Ketika berimajinasi, jadi Prabu Niskala Wastu Kancana dalam posisi jongkok, posisi tangan kiri menopang tubuhnya dan tangan kanan menunjuk ke kotak sedang menghitung," tuturnya.

Filosofi dari Baru Tapak atau Kolenjer ini mengajarkan untuk lebih berpikir, memperhitungkan segala sesuatu sebelum berucap atau melangkah, terutama saat mengeluarkan kebijakan. Leluhur dulu, segala sesuatu hal sesuai dengan pertimbangan terlebih dahulu.

"Jadi di Sunda itu jangan asal ucap. Tidak ada yang namanya to the point tapi istilahnya harus malapah gedang, harus apik," ungkapnya.

Dalam batu itu juga terdapat sedikit tulisan Sunda kuno dengan bunyi Anggana atau Ajnana yang artinya menyendiri. Prabu Niskala Wastu Kencana biasanya akan menyendiri di hati itu untuk menghitung atau menjalankan pemerintahannya.

"Seperti membuat peraturan itu kebijakan menyendiri, menghitung. Membuat irigasi itu dihitung dulu dipikir," pungkasnya.

(sud/sud)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads