Pada 2 Oktober 2009 silam, batik telah diakui oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan atau UNESCO sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia. Warisan Budaya Takbenda (WBTb) tersebut, berpotensi dicabut jika pelestariannya sangat kurang.
Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), Komarudin Kudiya pun menyuarakan nasib batik di Tanah Air. Saat ini menurutnya, kelestarian batik dapat terancam dengan maraknya penggunaan batik printing.
"Kami masyarakat batik, memberi masukan ke pemerintah. Kami ingin ada payung hukum yang fokus dengan batik sebagai warisan budaya. Karena batik yang berkaitan dengan dunia bisnis itu beda. Batik budaya itu perlindungannya berkaitan dengan pelestarian, pengakuan, dan pengembangan. Itu harus ada payung hukumnya. Batik yang sudah memiliki makna simbolik, tiba-tiba diprinting, dijadikan tekstil, itu kan akan mengganggu marwah batiknya," ucapnya saat ditemui detikJabar, Selasa (11/6/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekedar diketahui, Komar juga merupakan akademisi budaya dan pemilik Batik Komar yang kondang di Kota Bandung. Menurutnya, batik memiliki filosofi tersendiri dan sudah diciptakan dengan muruah canting dan lilinnya. Namun kini batik seolah prosesnya tak lagi dianggap spesial, terutama di era serba instan ini, batik tulis dan cap khawatir tergeser dengan batik printing.
Komar pun menceritakan sedikit momennya yang menilai betapa warga mancanegara menghargai keberadaan batik sebagai ciri khas orang Indonesia. Dari sinilah ia berharap warga Indonesia dapat ikut menghargai dengan memberikan regulasi yang jelas dari WBTb yang dimilikinya.
"Orang asing saja menghargai batik itu sangat luar biasa. Contohnya beberapa waktu lalu, besan saya meninggal di Singapura. Karena mereka tahu yang meninggal orang Indonesia, penutup jenazahnya itu diberi kain batik motif slobog. Motif itu memiliki makna simboliknya itu semoga diluaskan alam kuburnya. Tuh, orang asing saja begitu menghargai lho, padahal yang memandikan dan mensucikannya itu orang asli Singapura," ceritanya.
"Batik itu memang sudah diakui milik bangsa Indonesia, tapi juga ada beberapa negara yang mencoba mengakuinya pula bahwa batik itu milik negaranya. Nah ini payung hukum di Indonesia nggak kuat. Kemudian misalnya ada orang pakai batik haji, batik korpri, yang mestinya menggunakan teknik batik, untuk masyarakat tertentu dialihkan jadi printing. Akhirnya pembatik kehilangan kesempatan lagi, jadi perlu dibuat UU saat terjadi kesalahan teknik produksi, hukumannya seperti apa," lanjut Komar.
Dalam upayanya, Komar bersama rekan-rekan APPBI dan perwakilan Yayasan Batik Indonesia (YBI) telah menyampaikan aspirasi ke DPR RI. Pada Selasa (4/6/2024) lalu, Tim Penyusun Naskah Akademik dan Rancangan UU Tentang Pertekstilan dari Pusat Perancangan UU Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Badan Keahlian DPR RI, mengundang mereka ikut dalam rapat khusus Rancangan Undang-Undang Tentang Pertekstilan.
Menurutnya, DPR pun menyambut positif aspirasi tersebut dan berharap dengan dibentuknya UU Pertekstilan, dapat mengatur pertekstilan dari hulu ke hilir terkait dengan industri tekstil dan juga produk tekstil. Kepala Badan Keahlian DPR RI juga disebut telah menugaskan kepada tim pusat perencanaan undang-undang dan dari tim bidang lain ditugaskan untuk menyusun naskah akademik dan rancangan undang-undang pertekstilan. "Alhamdulillah mereka merespon positif dan akan dibahas dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya, karena kan perlu buat draft dan lainnya ya," ucapnya.
Komar pun menyebut betapa kompleksnya masalah pertekstilan di Indonesia. Kata Komar, salah satu masalah utama yang sempat diutarakan pihak YBI, yakni bangsa Indonesia masih tergantung pada impor benang bahan tekstil. Padahal, seharusnya Indonesia sudah dapat memberikan kemajuan yang besar pada bidang produksi serat alami.
Benang dan kain tekstil yang diimport menggunakan motif-motif batik asli dari Indonesia, berbahan polymicro dengan harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan produk-produk batik asli buatan Indonesia.
APPBI melakukan redefinisi tentang makna batik, yakni merupakan karya seni kolektif yang dikerjakan dengan tangan, menggunakan lilin panas, berupa kain panjang, dengan setiap motif memiliki makna filosofi dan digunakan untuk acara-acara ritual tertentu. Wastra batik sangat berbeda dengan produk tekstil lainnya.
"Maka perlu dilakukan pemisahan tentang payung hukum UU batik yang berkaitan wastra batik sebagai bagian dari budaya luhur bangsa Indonesia, dan batik dari perspektif ekonomi dan lainnya. Bila dari perspektif warisan budaya maka batik memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan tekstil pada umumnya," tutur Komar.
Selain itu, APPBI mengungkap data nilai transaksi kain batik di Indonesia dengan kualitas batik cap, batik tulis, dan batik kombinasi cap tulis dalam setahun mencapai nilai Rp6,8 triliun. Jumlah unit produksinya mencapai kisaran 23 juta potong kain per tahun.
Meskipun begitu, mirisnya hal ini tak disemarakkan dengan regenerasi pembatik. Komar menyebut jumlah perajin batik kini terbanyak ada di Jawa Tengah yakni 72.500 orang, Jawa Timur sebanyak 14.500 orang, Jawa Barat sebanyak 10.200 orang, dan Yogyakarta sejumlah 6.000 orang.
"Nasib pembatik ini jumlahnya berkurang. Dan tenaga kerja itu relatif sepuh apalagi di Jogja. Jadi kami harap pembatik itu bisa dipikirkan agar dimanusiakan, punya upah yang bagus, keluarganya terjamin, serta kemudian juga dipikirkan untuk regenerasi ini bagaimana?," ucap Komar.
"Kami di sini sudah berupaya, sebagai wisata kreatif dan budaya, kami ajarkan terus tradisi membatik itu dan melakukan praktek untuk membuat kain batiknya itu sendiri. Generasi muda ini kecenderungan membuat batik ada, tapi alat produksi minim, penggunaan zat pewarna minim, mereka perlu banyak literasi yang mengajarkan tentang itu secara teknisnya," sambung dia.
Selain itu, mulai maraknya rasa takut mengerjakan batik itu berkenaan dengan air limbah. Padahal, menurut Komar dalam mengatur pengelolaan air limbah dapat diatasi dengan teknologi nano dan bantuan penelitian lainnya.
"Ada sebenarnya solusinya kalau mau belajar, teknologinya pun murah, mudah, jadi generasi muda itu menginginkan produksi batik yang tidak susah. Batik itu banyak memberi nilai yang dibutuhkan oleh manusia, nilai pakai guna, nilai ekonomi yang bisa memenuhi kebutuhan bisnisnya, hingga nilai estetika dan teknologi," pesannya.