Wawacan Sulanjana, Mitologi Padi Orang Sunda

Wawacan Sulanjana, Mitologi Padi Orang Sunda

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Minggu, 09 Jun 2024 07:30 WIB
Ilustrasi padi di sawah Purwakarta
Ilustrasi (Foto: Dian Firmansyah/detikJabar)
Bandung -

Padi adalah makanan pokok bagi kebanyakan orang di Nusantara. Bagi orang Jawa Barat, padi tak tergantikan dengan pangan apapun, sekalipun itu umbi-umbian berkarbohidrat seperti ubi dan ketela.

Dalam sejarahnya, padi telah berdampingan dengan orang Sunda sejak kebudayaan huma hingga datangnya kebudayaan sawah. Padi bahkan menempati posisi yang sakral. Di sejumlah daerah seperti Banten, padi disebut juga Nyai Pohaci atau Dewi Sri. Yakni, padi bukan lagi sebatas pemberian Dewi Sri namun Dewi Sri itu sendiri.

Saking sakralnya, cerita-cerita tentang padi selalu berkaitan dengan alam kahiangan di mana para dewa-dewi tinggal. Misalnya dalam Wawacan Sulanjana, mitologi padi orang Sunda, padi dikisahkan sebagai titipan dari kahiangan kepada orang Sunda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wawacan Sulanjana berisi tentang mitologi padi orang Sunda. Naskah wawacan ini berbentuk pupuh yang sering dibacakan ketika orang-orang Sunda akan memulai menanam dan akan memanen padi.

Dr. Kalsum, dari Universitas Padjajaran dalam Jurnal Sosiohumanika, 2010 menjelaskan bahwa pada 1980 hingga 1990-an di Kabupaten Majalengka dan Sumedang masih ditemukan tradisi "Nyalin" atau "Nyawen", yaitu penghormatan terhadap padi dengan cara menyiapkan sesajen untuk ritual dan sesajian untuk disantap bersama warga yang berkepentingan akan sawah itu. Menurut Kalsum, hingga tulisan pada jurnal itu terbit pada 2010, di Kabupaten Bandung tradisi tersebut masih ditemukan.

ADVERTISEMENT

Dalam tradisi itu pula biasanya Wawacan Sulanjana, yang merupakan wawacan tentang padi paling dikenal di seluruh Jawa Barat, dibacakan oleh sesepuh. Wawacan tentang padi banyak judulnya, namun menurut Kalsum, yang paling mendekati adalah Wawacan Sulanjana itu.

Mitologi Padi Orang Sunda

Mitologi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus dalam suatu kebudayaan. Mitologi padi orang Sunda, tentu saja berkaitan dengan dewa-dewi.

Padi di Sunda menurut wawacan tersebut, muasalnya tumbuh dari jasad Dewi Sri. Dewi Sri dibuat wafat karena khawatir Batara Guru, penguasa para dewata di Kahiangan akan mengawininya, sebab sejak bayi, Dewi Sri disusui oleh istri Batara Guru.

Dewi Sri dikubur, maka dari jasadnya tumbuhlah tetumbuhan yang kini ditemukan di alam dunia. Dari arah kepalanya tumbuh pohon kelapa, dari matanya keluar padi, dan seterusnya.

Padi itulah yang menjadi makanan utama orang Sunda hingga saat ini. Sementara Sulanjana, dalam Wawacan Sulanjana, adalah titisan Batara Guru ketika dia menjatuhkan cahaya saat melihat kecantikan Dewi Sri. Sulanjana diperintahkan untuk memulihkan padi dari kerusakan yang dilakukan oleh Dempu Awang terhadap padi-padi di Pakuan.

Dempu Awang memang datang dari luar Pakuan, dia ingin membeli padi dari Pakuan tapi ditolak Siliwangi. Sebab, padi itu diyakini bukanlah milik orang Sunda di Pakuan melainkan sebatas titipan dari kahiangan. Dempu Awang tersinggung dan mengamuk merusak tanaman-tanaman padi. Sulanjana dan beberapa tokoh lainnya berhasil memulihkan kembali padi.

Sekilas tentang Wawacan

Wawacan adalah jenis sastra Sunda yang muncul pada abad ke-17. Berbeda dengan Carita Pantun yang lisan, wawacan relatif tekstual. Yakni, ada tulisan-tulisannya yang meskipun berasal dari tradisi lisan-lisan juga.

Dr. Kalsum mengutip naskah Wawacan Sulanjana dengan umur naskah paling muda, yaitu naskah bertiti mangsa 17-5-1965.

"Naskah sengaja dipilih yang paling muda untuk menggambarkan bahwa sekitar kurun waktu itu, kisah ini masih disakralkan dan dianggap memiliki daya magis karena masih dipakai pada ritual siklus penanaman padi," tulis Kalsum.

Berdasarkan naskah itu, Kalsum menuliskan parafrasenya yang dimuat pada Jurnal Sosiohumanika, 2010. Parafrase Wawacan Sulanjana tersebut di bawah ini:

Wawacan Sulanjana

Syahdan, diceritakan bahwa Batara Guru dengan patih Narada mendirikan Bale Pancawarna. Dewa Anta yang badannya ular tidak bisa melaksanakan tugas. Ia menitikkan air mata, lalu menjadi tiga butir telur. Talur-telur itu dikulumnya dan akan disampaikan kepada Batara Guru.

Namun di perjalanan ia disapa oleh burung elang. Dewa Anta tidak bisa menyahuti sapaan elang itu karena mengulum telur, lalu ia disambar oleh elang dan satu telur jatuh di Tegal Kapapan, satu lagi jatuh di Tanah Sabrang menjadi Kala Buwat dan Budug Basu. Di Tegal Kapapan, Idajil kencing dan sapi betina meminumnya, lalu sapi tersebut pun hamil, dan kemudian melahirkan Sapi Gumarang yang sangat sakti. Sapi Gumarang merajai binatang, ia mengangkat Kala Buwat dan Budug Basu sebagai anak.

Satu telur yang tinggal diserahkan kepada Batara Guru. Dewa Anta ditugaskan untuk mengerami, lalu telur menetas dan menjadi seorang putri yang sangat cantik. Putri itu diserahkan kepada Batara Guru dan diberi nama Puhaci Terus Dangdayang atau Dewi Aruman. Puhaci disusui oleh Dewi Umah, istri Batara Guru, dan diasuh oleh Dewi Esri.

Dewi Puhaci semakin cantik, Narada curiga kalau-kalau Batara Guru akan mengawini Dewi Puhaci. Bila itu terjadi maka Batara Guru melanggar hukum karena Dewi Puhaci disusui oleh Dewi Umah, istrinya, yang berarti Dewi Puhaci adalah anak Batara Guru juga. Untuk menghindari perbuatan tercela itu maka Dewi Puhaci dihentikan menyusu dan sebagai penggantinya diberi buah holdi. Dewi Puhaci ternyata tidak diberi buah holdi lagi, ia kemudian sakit karena ketagihan, dan akhirnya meninggal dunia. Mayat Dewi Puhaci diurus oleh Bagawat Sang Seri.

Dari pekuburan Dewi Puhaci tumbuh pohon kelapa dari kepalanya; bermacam-macam buah berwarna hijau, kuning, dan merah dari telinganya; bermacam-macam ketan dari mata dan rambutnya; pohon enau dari tangannya; bermacam-macam bambu dari jarinya; bermacam-macam tumbuhan merambat dari tali ari-arinya; buah-buahan dari susunya; dan rerumputan dari bulunya. Semar kemudian ditugaskan untuk membawa semua tanaman itu ke Pakuwan untuk ditanam dan dijaganya baik-baik. Negara Pakuwan kemudian menjadi subur dan makmur.

Istri Ratu Pakuwan Prabu Siliwangi seorang bidadari bernama Dewi Nawangwulan, putri Batara Guru. Ia dipercayakan memasak padi untuk rakyat Pakuwan dan mengajarkan bagaimana cara memasak padi. Prabu Siwangi tidak boleh mengganggu atau membuka pasakan itu dan apabila melanggar janji maka jatuhlah talak kepada Dewi Nawangwulan.

Budug Basu yang berada di Tegal Kapapan mencari Puhaci, saudaranya yang berada di Suralaya. Para Dewa mengetahui maksud Budug Basu, karenanya semua pintu ditutup rapat-rapat. Dengan kesaktianya, pintupintu itu ditendangnya sehingga hancur. Budug Basu kemudian dikepung oleh para Dewa, akan tetapi ia bisa lolos dan sampai di puri Batara Guru. Ia kemudian menanyakan Puhaci. Batara Guru menjelaskan bahwa Puhaci sudah meninggal dunia. Kalamulah dan Kalamuntir ditugaskan oleh Batara Guru untuk mengantarkan Budug Basu ke kuburannya di Banyu Suci. Budug Basu kemudian mengelilingi kuburan Dewi Puhaci itu selama tujuh keliling, lalu meninggallah ia.

Batara Guru menugasi Kalamulah dan Kalamuntir untuk menggotong mayat Budug Basu tersebut mengelilingi dunia sebanyak tujuh keliling, dan sebelum sampai mereka tidak boleh kembali. Di bawah pohon gebang, mereka berhenti. Dahan gebang itu patah dan menimpa tambela (peti mayat). Dari dalam tambela keluarlah binatang-binatang darat dan bermacam-macam binatang laut. Kalamulah dan Kalamuntir tidak kembali ke Suralaya karena takut dihukum oleh raja. Mereka mengadakan pembagian tugas, seorang menjaga binatangbinatang darat dan seorang lagi menjaga binatang-binatang laut, tambela sendiri kemudian berubah menjadi badak.

Ketika Puhaci masih hidup, Batara Guru mengeluarkan kama, kemudian jatuh ke bumi tujuh, dari dalam bumi keluarlah tiga orang manusia, seorang laki-laki bernama Sulanjana, dan dua orang perempuan bernama Talimendang dan Talimenir. Ketiga anak itu dipelihara oleh Dewi Pertiwi, setelah besar mereka mencari ayahnya ke Suralaya.

Batara Guru menitipkan kerajaan kepada Sulanjana karena akan mengontrol padi. Ia dengan Narada menjelma menjadi burung pipit dan menyerang padi. Semar dan anak-anaknya melempari burung-burung tersebut, namun burung pipit itu sangat tangkas sehingga Semar marah. Ia memukul-mukul batang dan ranting pohon enau dengan arit, tetapi tidak patah malahan keluar air manis.

Dempu Awang dari Negara Sabrang akan membeli padi ke Pakuwan, ia diterima oleh Kaliwon kemudian diantarkan kepada Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi tidak melayani pembelian itu karena padi bukan miliknya, ia hanya titipan, milik Batara Guru. Dempu Awang sakit hati, dan ia meminta tolong Sapi Gumarang untuk merusak padi. Sapi Gumarang, Kala Buwat, Budug Basu dengan anak buahnya kemudian menyerang padi.

Batara Guru mengetahui keadaan padi yang ada di Pakuwan dalam keadaan terancam. Ia kemudian menugasi Sulanjana, Talimendang, dan Talimenir untuk menahan serangan tersebut, dan padi sehat kembali. Sapi Gumarang marah, malu oleh Dempu Awang, dirusakkan kembali padi-padi itu. Setelah rusak, padi disembuhkan kembali oleh Sulanjana. Berkali-kali padi dirusakkan, namun disembuhkan kembali oleh Sulanjana. Kemarahan Sapi Gumarang pun sampai pada puncaknya, ia mengajak perang tanding dengan Sulanjana. Sapi Gumarang kalah. Ia berjanji akan mengabdi kepada Sulanjana dan akan menjaga padi, asal setiap memulai penanaman padi, namanya disambat (dipanggil secara batin) dengan kedua anaknya, yaitu Kala Buwat dan Budug Basu, serta disediakan daun paku pada pupuhunan (persyaratan untuk menanam padi).

Pada suatu waktu, Dewi Nawangwulan sedang memasak nasi. Prabu Siliwangi penasaran ingin melihat pasakan istrinya itu. Ia sangat heran karena masak satu tangkai padi cukup untuk orang banyak. Maka dibukalah pasakan padi tersebut. Dewi Nawangwulan sangat kaget karena pasakannya masih berupa tangkai padi. Ia maklum apa yang telah terjadi, dan ia pun kembali ke Kahiyangan. Sebelum meninggalkan Kahiyangan, ia berpesan agar disediakan lesung, dulang, kipas, bakul, dan kukusan untuk memasak padi. Lesung harus dilubangi panjang dan dua lubang bulat di pinggir untuk tempat Talimendang dan Talimenir.

Dengan sedih dan menyesal Prabu Siliwangi pergi ke Suralaya untuk menghadap Batara Guru dan memohon supaya Dewi Nawangwulan dikembalikan. Dewi Nawangwulan tidak bisa kembali. Batara Guru kemudian mengajarkan saat yang baik untuk memulai bercocok tanam padi.

(orb/orb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads