Asal Usul Ayam Pelung Khas Cianjur, Buah Tirakat Mama Djarkasih

Asal Usul Ayam Pelung Khas Cianjur, Buah Tirakat Mama Djarkasih

Dian Nugraha Ramdani - detikJabar
Minggu, 02 Jun 2024 12:00 WIB
ayam pelung
Ayam Pelung (Foto: Achmad Syauqi/detikcom)
Bandung -

Kabupaten Cianjur, Jawa Barat kaya dengan khazanah lokal yang menarik. Selain ada kekayaan budaya berupa seni mamaos, yaitu tembang dengan iringan kecapi dan maenpo yaitu aliran silat tradisi yang memadukan teknik madi-sabandar-kari, ada pula Ayam Pelung.

Ayam Pelung jantan adalah yang sering dibicarakan ketika membahas unggas ini. Yaitu, karena suara kokoknya yang "melung" atau panjang. Sejak tahun 1978, Pemerintah DT II Kabupaten Cianjur melestarikan ayam ini dengan sentuhan kontes Ayam Pelung.

Bukan hanya suaranya yang merdu, secara fisik, ayam pelung merupakan ayam yang indah dipandang. Terutama yang jantan, punya badan tinggi besar dengan kaki yang panjang dan bulu-bulu yang mengilat. Bulu-bulu dominan merah itu jika tersibak sinar matahari, akan tampak keindahannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ternyata, ayam pelung ini punya sejarah hingga menjadi kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Cianjur hingga sekarang ini. Bagaimana asal-usulnya?

Tirakat Mama Djarkasih

Ada banyak versi cerita asal-usul ayam pelung, namun yang paling menonjol adalah ayam pelung itu merupakan "pemberian" kepada Kiai Djarkasih atau Mama Djarkasih, buah dari tirakatnya.

ADVERTISEMENT

Di antara yang menuturkan kisah ini adalah penulis asal Kabupaten Cianjur, Tatang Setiadi atau Tatang Perceka. Dia menulis buku berbahasa Sunda, berjudul "Asal-usulna Hayam Pelung", diterbitkan Kiblat Buku Utama, 2011.

Menurutnya, Mama Djarkasih adalah sesepuh sebuah pesantren di Desa Bunikasih, Kecamatan Warungkondang, Cianjur. Dan cerita tentang ayam pelung itu terjadi pada abad ke-18.

Suatu hari, Mama mengumpulkan santrinya dan mengajak mereka bermusyawarah tentang pengembangan pesantren. Santrinya menyebutkan bahwa yang diperlukan saat itu adalah kobong, yaitu sarana seperti asrama untuk tinggal para santri.

Mama mendengarkannya dengan seksama dan lalu membesarkan hati para santri bahwa keperluan-keperluan demikian, tentu akan Allah SWT berikan jalan keluarnya. Sambil Mama menyuruh para santri untuk melakukan tawasul pada malamnya.

Sementara santri tawasul, Mama Djarkasih sendiri akan meneruskan tirakatnya yang sempat tertunda. Malam pun gelap. Suara para santri berjemaah merapalkan doa-doa, memanjatkan maksud kepada Allah SWT semata. Suara ramai itu sampai juga ke dalam ruangan khusus Mama Djarkasih bertirakat, namun tak sedikitpun memicingkannya dari konsentrasi penuh.

Malam semakin larut. Tawasulan para santri selesai. Namun Mama semakin khidmat mengulang-ulang kalimat wiridnya. Hingga terdengarlah olehnya sebuah ucapan salam dari sesuatu yang tidak terlihat.

"Assalamualaikum," kata suara itu. Mama Djarkasih kaget sebentaran. Sambil menyebut kalimah suci Subhanallah, dia juga menjawab salam itu, "Waalaikumsalam".

Suara itu tenggelam, namun timbul lagi dengan ucapan memanggil. Anakku, Djarkasih, katanya, karena amalmu nyaris sempurna, lantaran engkau sering menolong orang susah, membantu orang perlu, suka mengantar orang yang takut, dan memberi terang orang yang dalam kegelapan, ada izin dari ilahi, buah dari amalmu itu.

Suara itu lalu menjelaskan apa yang dimaksud buah dari amal itu, yaitu sesuatu yang mungkin akan membawa manfaat bagi masyarakat.

"Di sebelah timur tempat ini, di bawah pohon kenanga, carilah ada suatu hal untukmu," kata suara itu, memungkas dengan ucapan salam dan dijawab salam kembali oleh Mama Djarkasih.

Pagi harinya, Mama Djarkasih menuju ke tempat yang ditunjukkan semalam oleh suara itu. Belum juga sampai, terdengar ciak-ciak suara anak ayam. Ketika tiba di bawah Kenanga, nyatalah itu seekor anak ayam yang lalu oleh Mama Djarkasih dibawanya.

Ayam itu dirawat oleh segenap warga pesantren hingga tumbuh besar. Dan ketika dewasa, setiap menjelang azan subuh, ayam itu berkokok dengan suara yang panjang yang dalam bahasa Sunda suara panjang itu disebut melung. Tersebutlah ayam itu Si Pelung, dan turunannya ketika dikawinkan dengan ayam kampung, disebut turunan Si Pelung.

Suara Kokok Selama 10,9 Detik

Sofjan Iskandar dan Triana Susanti dalam makalah berjudul "Karakter dan Manfaat Ayam Pelung di Indonesia" yang dimuat jurnal Wartazoa Vol. 17 No. 3 Th. 2007 menyebutkan ayam pelung adalah ternak asli Indonesia.

Makalah itu mengutip keterangan, bahwa ayam Pelung ditemukan di sejumlah desa, yaitu Desa Buni Kasih, Jambu Dipa, Songgom dan Tegal Lega, yang terletak di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

"Dipelihara oleh masyarakat terutama untuk suara jago yang khas. Populasi ayam pelung pada tahun 1994 sekitar 5-6 ribu ekor, dan di Jawa Barat diduga telah berkembang mencapai kurang lebih 30 ribu ekor pada tahun 2007 (Ketua HIPPAPI Jawa Barat, komunikasi pribadi)," tulis makalah itu.

Makalah itu juga menyajikan data kontes Ayam Pelung, yang dinilai dalam kontes itu tentu saja suara ayam yang merdu dan panjang.

Pada tahun 1985, ada ayam juara kokok, umur 19 bulan yang pola kokoknya, awalan selama 0,5 detik, menurun selama 0,6 detik, lalu tengaha (suara naik, kemudian rata) selama 5,1 detik, lalu akhir (suara turun) selama 3,5 detik dan ditutup dengan suara kook selama 0,8 detik. Total waktu berkokok 10,5 detik.

Pada tahun 1987, ada ayam juara kokok, umur 20 bulan dengan pola kokoknya, awalan selama 1,2 detik, tengah (suara naik) berirama selama 5,5 detik, akhir (suara turun, kemudian rata) selama 3,0 detik dan ditutup dengan suara kook selama 1,2 detik. Total waktu berkokok 10,9 detik.

Secara genetis, Ayam Pelung disebut-sebut sebagai bagian dari genetika ayam hutan yang merupakan kerabat dekat dengan ayam hutan merah. Dalam makalah di atas, disebutkan banyak sekali variasi genetik ayam hutan di Pulau Jawa, dan satu di antara turunannya adalah ayam Pelung.

"Yang secara genetik mempunyai kekerabatan yang dekat dengan ayam hutan merah," tulis makalah itu mengutip Fumihito (1994).

Tak kalah menarik, ketika Tatang Setiadi mengakhiri ceritanya tentang ayam pelung yang menjadi kebanggaan warga Cianjur, dia menuliskan bahwa saat ini, sudah datang waktunya, ayam pelung itu berkokok dengan suara yang lain dari biasanya.

"Tong kajongjonaaaaan! (Jangan terlena)..."

(iqk/iqk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads