Di Desa Sukamukti, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut terdapat sebuah situ atau danau yang terkenal dengan nama Situ Bagendit. Danau itu hingga kini banyak dikunjungi sebagai lokasi wisata.
Sebagaimana tempat-tempat lain di Jawa Barat, Situ Bagendit juga punya latar ceritanya sendiri. Legenda Situ Bagendit berkisah tentang air mata rakyat tertindas yang disengsarakan oleh seorang janda bernama Nyai Endit.
Baca juga: Cerita Lucu Si Kabayan Mencari Keong Sawah |
Nyai Endit dikenal sebagai sosok yang kikir, tamak, tidak gemar memberi, senang mengumpulkan harta, dan sinis kepada peminta-minta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sikap ini yang menjadi kunci kehancuran kekayaan Nyai Endit, yaitu kampung di mana Nyai Endit hidup tenggelam oleh air yang memancar dari bekas tongkat seorang nenek peminta-minta.
Bagaimana legenda Situ Bagendit selengkapnya?
Lokasi Situ Bagendit
![]() |
Dikutip dari situs resmi Desa Sukamukti, disebutkan bahwa Situ Bagendit berada tepatnya di Jl. K.H. Hasan Arif, termasuk dalam wilayah administratif Desa Sukamukti, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut.
Situ Bagendit di sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Rancapare; Barat dengan Kampung Kiaralawang; Selatan berbatasan dengan Kampung Jolokbatu dan Jolokpaojan; Timur berbatasan dengan Kampung Rancakujang dan Rancapari.
Situs tersebut menjelaskan, seluruh permukaan Situ Bagendit berada pada ketinggian yang sama, yakni di antara 700-an meter di atas permukaan laut (MDPL).
Situ Bagendit diairi dari Sungai Cimanuk dengan sub daerah pengairan sungai Ciojar dan Cibuyutan Selatan. Luas eksisting badan air Situ Bagendit adalah 87,57 ha.
Selain begitu luas, kedalaman air di Situ Bagendit rata-rata 2,20 meter dengan kedalaman sedimen rata-rata 3,20 m. Saat ini badan air Situ Bagendit hanya mampu menampung 1.751.408 m3 akibat tumpukan sedimen yang mencapai 2.627.112 m3.
Cerita Situ Bagendit
Cerita tentang Situ Bagendit diantaranya dipublikasikan pada situs Petra Christian University. Dalam cerita bergambar itu, seorang nenek pengemis yang menjadi lantara tenggelamnya kampung di mana Nyai Endit hidup mengatakan bahwa air yang terus menenggelamkan itu adalah air mata rakyat tertindas. Begini kisahnya:
Situ Bagendit terbentuk karena tulah yang ditibankan kepada Nyai Endit, seorang janda kaya raya, banyak harta, banyak persediaan makanan, namun kikir terhadap tetangga-tetangganya.
Bukan hanya kikir, Nyai Endit punya sifat menindas. Sebagai seorang kaya, dia membeli hasil panen padi dari rakyat sekitar dengan harga yang murah. Padi itu kemudian disimpan sebagai persediaan untuk dijual kembali ketika harga padi mahal.
Nyai Endit melakukan itu tidak sendiri, namun dibantu centeng. Centengnya bertugas untuk membeli padi hasil panen rakyat dengan harga murah dan memastikan tidak ada seorangpun yang menjual padi selain kepadanya.
"Sudahkan kamu pastikan semua orang menjual padinya kepadaku?" tanya Nyai Endit. Centeng menjawab dengan yakin bahwa semua orang sudah tunduk kepadanya.
Hasil panen terus ditampung, dibeli dengan harga miring, hingga semua orang tidak punya persediaan. Ketika paceklik datang, rakyat tak punya pilihan selain membeli beras dari Nyai Endit meski dengan harga 5 kali lipat dari harga ketika Nyai Endit membelinya dari mereka.
Namun, kepedihan rakyat membeli dengan harga mahal tidak menggugah nurani Nyai Endit. Nyai yang namanya sendiri sudah Endit atau "medit", yang di dalam Bahasa Sunda berarti kikir.
Sampailah waktu kebinasaan datang, yaitu ketika rakyat sudah tak mampu membeli beras dari Nyai Endit tak sedikitpun mau menurunkan harganya, apalagi bersedekah dengan memberi rakyat secara cuma-cuma.
Kebinasaan itu ditandai dengan datangnya seorang nenek pengemis. Nenek itu datang dengan menanyakan kepada rakyat setempat tentang siapa orang terkaya di tempat itu.
"Untuk apa Nek?" tanya seorang warga.
"Nenek mau minta sedekah, sudah tiga hari nenek tidak makan,"
"Jangan harap diberi, Nek. Nyai Endit pelitnya bukan kepalang," kata warga itu.
Namun, nenek pengemis tidak menghiraukan apa kata warga. Sebaliknya, dia meminta warga untuk segera mengungsi sebab banjir akan segera datang.
Perkataan nenek itu ditertawakan, sebab nenek pengemis bicara banjir ketika hari sedang kemarau. Namun, warga akhirnya menurut ketika melihat nenek pengemis itu memang mendatangi rumah Nyai Endit.
Di muka rumah, seorang centeng bertanya apa mau nenek itu. Ketika dijawab nenek minta sedekah, centeng itu marah dan menyuruhnya pergi. Namun, nenek pengemis tak bergeming. Hingga akhirnya Nyai Endit keluar rumah.
Nyai Endit mengusir nenek itu dengan kata-kata yang menyayat-nyayat hati orang papa. Di sela-sela omelan Nyai Endit, sang nenek menyela.
"Selama ini, Tuhan memberikanmu rezeki tapi engkau tak mau berbagi. Kamu kikiri, pelit, dan aku datang sebagai jawaban atas doa-doa rakyat desa," kata nenek itu.
"Apa? Kau ingin menghukumku? Lihat centengku, sekali pukul saja kamu pasti mati," kata Nyai Endit.
Si nenek pengemis ingin mengakhiri percakapan. Dia mengatakan bahwa Nyai Endit tidak perlu mengusirnya. Dia akan pergi jika janda kaya itu bisa mencabut tongkatnya yang tertancap di tanah.
Nyai Endit bersusah payah mencabutnya, namun tidak tercabut sama sekali. Tongkat itu kokoh di tempatnya tertancap. Tidak goyah. Sama halnya ketika centeng mencoba mencabutnya, tongkat itu kokoh saja.
"Begini, aku bisa mencabutnya," kata Nyai Endit. Ketika tongkat dicabut, byur! Air memancar pada bekas tancapannya.
"Endit, ini adalah hukuman untukmu, ini adalah air mata rakyat yang menderita," katanya.
Hikmah dari Legenda Situ Bagendit
Rezeki yang dimiliki sejatinya bukan seutuhnya milik kita. Barangkali pada milik kita, ada punya hak yang dititipkan oleh Sang Pemberi rezeki melalui kita untuk orang lain.
Karenanya, memberi adalah cara untuk menyampaikan titipan Tuhan itu kepada pemiliknya. Siapakah yang berhak? Yaitu orang-orang yang sedang kesusahan dan kelaparan.
Seperti Nyai Endit yang kikir, tulah bisa datang jika kita membuat susah orang lain, menyengsarakan tetangga, dan menyepelekan doa orang-orang kelaparan.
(iqk/iqk)