Di dalam fiksi dari zaman Sunda kuno, yakni carita pantun "Lutung Kasarung", ada fragmen tanding kecantikan yang dilakukan Purbararang dengan adik bungsunya, Purbasari.
Tanding kecantikan itu tiada lain untuk menentukan siapa yang paling cantik di antara keduanya. Dia yang dinyatakan cantik oleh juri berhak menaiki tahta Kerajaan Pasir Batang, sebuah kerajaan yang diduga berada di sekitar Galuh (Ciamis, Jawa Barat, kini).
Perkara ini sebenarnya berawal dari Prabu Tapa Ageung dan istrinya yang sudah merasa ingin menikmati masa tuanya dengan menghindar dari hiruk-pikuk kerajaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan segala ketajaman batinnya, Prabu Tapa lebih memilih Purbasari, anak paling bungsu, dari pada anak-anak lainnya, termasuk yang paling cikal, Purbararang.
Mendengar keputusan itu, Purbararang mangkel. Dia jengkel dan membuat sejumlah muslihat agar Purbasari batal jadi ratu menggantikan ayahnya.
Naskah Sayudi
Pada tahun 1980-an, dibuat pentas carita pantun Lutung Kasarung dalam bentuk kaset, dengan penataan musik yang serius. Dalam upaya tersebut, yang digunakan adalah naskah carita pantun yang merupakan pengisahan ulang oleh penyair Sayudi; Penembangnya, Dadang Sulaeman, dkk.; Penata musiknya, maestro karawitan, Nano Suratno atau Nano S.
Sayudi (1932-2000) terkenal dengan puisi-puisi yang panjang mengenai sejarah Sunda. Di antara puisi yang panjang dan terkenal, yaitu yang berjudul "Lalaki di Tegal Pati" (1963), mengisahkan gugurnya Prabu Wangi, raja Kerajaan Sunda (sebelum muncul gelar Siliwangi untuk para raja) dalam Perang Bubat.
Dalam soal carita pantun, Sayudi pernah terlibat dalam Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda yang dipimpin sastrawan kenamaan, Ajip Rosidi. Sayudi bertugas mentranskripsi carita pantun.
Cerita Purbasari dan Purbararang yang dihimpun detikJabar ini, berdasar pada carita pantun Lutung Kasarung yang dikisahkan ulang Sayudi dan telah direkam itu.
Kulminasi Keserakahan
"Sia inji meni wani,
narima hancengan aing,
ayeuna jung gera lunta
tong aya di pasir batang,"
(Berani sekali kamu adik!
Menerima apa yang seharusnya jadi milikku.
Sekarang, pergi kamu!
Jangan ada di Pasir Batang)
Demikian kata-kata kasar keluar dari mulut Purbararang kepada adiknya, Purbasari, ketika mendengar Purbasari akan dilantik menggantikan Prabu Tapa Ageung.
Kondisi seperti ini tidak bisa dicegah, sebab Prabu Tapa Ageung dan istrinya telah menarik diri dari kerajaan. Sementara anak-anak prabu yang lainnya, seperti Purbaendah, Purbamanik, Purbaleuwih, Purbakancana, dan Purbadewata tidak bisa berbuat banyak, dan malah mendukung Purbararang, kecuali Purbaleuwih.
Purbasari pun diusir ke Gunung Cupu dan tinggal di sebuah gubuk. Sendirian. Diasingkan. Tapi Purbasari menerima hal itu. Dia pasrah kepada keputusan itu. Namun, meski tinggal di pengasingan, ada saja Ki Lengser atau pesuruh kerajaan yang datang untuk menyampaikan "penderitaan" selanjutnya yang harus ditunaikan Purbasari.
Sementara itu, di Kerajaan Pasir Batang, Purbararang telah menjadi ratu. Dia memerintah dengan sekenanya. Misalnya, perintah kepada penyumpit untuk mendapatkan lutung sebagai binatang yang enak dijadikan sayur lutung, yang kalau tidak dapat lutung hari itu juga, penyumpit akan dihukum.
Kocap tercerita, lutung didapatkan. Namun, monyet hitam berekor panjang yang didapatkan Aki Balangantrang sang penyumpit itu bukan lutung yang sebenarnya. Itu adalah Sanghyang Guruminda, titisan dewata, putra Sunan Ambu penguasa alam kahiangan, yang sedang dihukum. Sehingga, bagaimanapun upaya orang-orang kerajaan menyembelih lutung itu, tak akan berhasil. Lutung malah membuat onar.
Lutung onar itu akhirnya diberikan ke Purbasari, dengan maksud menibankan keonaran di gubuk Purbasari. Namun, sebelum Purbasari menerima lutung tersebut, Ki Lengser menyampaikan bahwa Purbararang memerintahkannya menguras leuwi Baranangsiang.
Purbasari melirik ke lutung, tapi lutung itu mengangguk, seperti berisyarat Purbasari menerima tantangan tersebut. Tantangan diterima, Ki Lengser pulang membawa kabar kesanggupan.
Ternyata, lutung bisa bicara. Dia mengobrol dengan Purbasari dan dengan segala kekuatan dewata yang dipunyainya tanpa disadari oleh Purbasari, semua tantangan dari Purbararang ditunaikan dengan baik. Tantangan-tantangan yang tidak logis lainnya yaitu membendung lebak Sipatahunan.
Mendengar semua perintahnya untuk melemahkan Purbasari malah ditunaikan dengan baik, Purbararang yang gelap mata dan kehabisan akal meminta Ki Lengser untuk menyampaikan kepada Purbasari, bahwa dia menantang adu kecantikan.
Semua hal itu tak terkecuali lantaran Purbararang serakah, ingin menguasai kerajaan Pasir Batang tanpa kehadiran Purbasari Ayuwangi sama sekali, bahkan jika bisa Purbasari itu dibuat mati saja.
Pandangan Para Juri Menentukan
"Nantang tanding kageulisan,
palenjang-lenjang salira," kata Ki Lengser menyampaikan titah Purbararang kepada Purbasari.
Maksudnya, Purbararang mengajak tanding kecantikan, siapa yang paling bagus badannya. Kabar tentang pertandingan ini tersiar ke mana-mana. Rakyat yang mengetahui kemudian berbondong-bondong ke kerajaan, untuk menyaksikan pertandingan kecantikan itu.
Rakyat memang sudah banyak mengeluh soal Purbararang, mereka berharap dari pertandingan itu, akan lahir ratu baru untuk Kerajaan Pasir Batang. Pertandingan itu disaksikan juri. Kedua juri itu jaksa Uwa Buyut Murugul dan Uwa Batara Lengser.
Ada tiga kategori yang ditandingkan, pertama dari segi tinggi badan, kedua dari segi pakaian, dan ketiga dari segi bentuk badan.
Pertama, Purbararang. Dia punya badan yang tinggi, sementara Purbasari lebih pendek darinya. Seharunya, yang menang adalah Purbasari karena ketinggiannya itu, namun juri berkata lain.
Orang tinggi biasanya menghabiskan jatah orang lain, sementara orang pendek akan secukupnya saja. Sisanya, biar menjadi milik orang lain. Dengan dalil tersebut, Purbasari dinyatakan menang. Rakyat bersorak-sorai.
Kedua, Purbararang mengenakan pakaian mewah, dengan kain yang didatangkan dari luar daerah Kerajaan Pasir Batang. Sementara Purbasari, hanya mengenakan pakaian buntung yang biasa dipakainya untuk berkebun (Sunan Ambu bertemu dengan Purbasari dalam impian dan mengajarkannya cara bertani), dengan kain samping (yang biasa dipakai rok) tenunan warga desa saja.
Juri, dalam hal ini memihak pada Purbasari. Bahwa kecantikan yang muncul pada Purbararang hanyalah polesan belaka. Apatah lagi kain yang dikenakannya, lebih kuat kain hasil tenunan orang-orang desa. Dengan dalil tersebut, Purbasari dinyatakan menang. Rakyat bersorak-sorai.
Ketiga, kemolekan tubuh. Purbararang dikatakan di antaranya punya jemari yang lancip seperti pucuk daun serai. Sementara Purbasari, jangankan molek, tubuhnya setiap hari dipakai bekerja untuk menghidupi diri sendiri di pengasingan.
Juri menilai jemari yang lancip itu, tak cocok dipakai bekerja. Maka dengan dalil tersebut, Purbasari dinyatakan menang telak. Rakyat bersorak-sorai.
Purbararang marah-marah, dikatakannya juri tidak adil, sehingga dia meminta pertandingan tambahan yaitu tanding ganteng tunangannya. Purbasari punya tunangan bernama Indrajaya, pemuda paling ganteng se-Pasir Batang. Sementara Purbasari hanya berteman seekor lutung.
Begitu lutung naik panggung, rakyat tertawa. Purbasari memerah wajahnya akibat malu. Tetapi, itu tak berselang lama. Lutung berkata-kata menenangkan hati Purbasari:
"Montong rejag manah, lutung lain teureuh leuweung, kasarung ku sadulurna (jangan gentar hati, saya ini lutung tapi bukan asli hutan, tak dikenali orang-orang)" katanya.
Di hadapan rakyat banyak, juga di hadapan Prabu Tapa Agung dan istrinya, Lutung Kasarung melepaskan pakaian "kelutungannya". Muncul dari balik kulit lutung itu Sanghyang Guruminda, yang ketampanannya tak bisa dibandingi kalangan manusia.
Purbararang kalah telak. Dia menyadari dosa-dosanya dan meminta ampun dengan mencium kaki Purbasari. Akhir cerita, Purbasari menikah dengan Guruminda dan lalu memimpin Kerajaan Pasir Batang.