Batulayang, Kabupaten yang Hilang di Jawa Barat

Lorong Waktu

Batulayang, Kabupaten yang Hilang di Jawa Barat

Rifat Alhamidi - detikJabar
Senin, 04 Mar 2024 08:00 WIB
Jejak Kabupaten Batulayang yang terekam arsip Leiden University
Jejak Kabupaten Batulayang yang terekam arsip Leiden University (Foto: KITLV)
Jakarta -

Batulayang saat ini diketahui berstatus sebagai desa di Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Wilayahnya memiliki luas 6,54 kilometer persegi dan dihuni oleh 11.558 penduduk berdasarkan catatan BPS pada 2021.

Namun ternyata, jauh saat masa kolonial Hindia Belanda, Batulayang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat. Catatannya tertuang dalam tulisan seorang pemerhati sejarah asal Bandung, M Ryzki Wiryawan, dalam buku berjudul Pesona Sejarah Bandung: Perkebunan di Priangan.

Ryzki Wiryawan bahkan secara spesifik menulis pembahasan dengan judul Musnahnya Kabupaten Batulayang. Saat masih dalam penguasaan Hindia Belanda pada abad ke-18, wilayah Batulayang ditulis Rizky mencakup 3 distrik yaitu Kopo, Rongga dan Cisondari yang sekarang meliputi Cililin, Ciwidey dan Gununghalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Batulayang dibatasi oleh Gunung Wayang dan Linggaratu di sebelah Timur; Sungai Ci Sokan dan Cianjur di barat; Gunung Tilu dan Ci Tarum sampai ke muara Ci Sokan di sebelah utara, Gunung Patuha dan Ci Sokan di sebelah selatan," tulis Ryzki dalam bukunya sebagaimana disadur detikJabar, Sabtu (24/2/2024).

Memiliki Ibu Kota Bernama 'Gajah'

Saat masih berstatus sebagai kabupaten, Batulayang memiliki Ibu Kota bernama Gajah atau Gajah Palembang yang berada di tepi Ci Tarum (sebelah Margahayu sekarang). Rizky dalam bukunya mengatakan, pemberian nama Gajah itu ditengarai terjadi karena penguasanya zaman dulu yang bernama R Moh Kabul atau Abdul Rohman, pada 1770 membawa oleh-oleh seekor gajah saat pulang usai ditugaskan VOC ke Palembang.

ADVERTISEMENT

Sekedar informasi, terdapat sebuah desa yang bernama Gajah Mekar. Desa tersebut secara administratif berada di Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung. Dahulu wilayah ini masuk ke dalam wilayah Kabupaten Batulayang.

Ilustrasi Gajah AsiaIlustrasi Gajah Asia Foto: (iStock)

Sebelum menjadi kabupaten, Batulayang sempat masuk dalam status keprabuan di bawah kuasa Kerajaan Pajajaran. Menariknya, Abdul Rohman juga membuat tempat pemandian gajah yang kemudian di wilayah tersebut dinamakan Leuwigajah, sebuah kelurahan yang kini masuk administrasi Kecamatan Cimahi Selatan di Kota Cimahi

Ryzki turut mencatat silsilah penguasa Batulayang dari berbagai versi. Sejumlah nama seperti Tumenggung Suradirana hingga Tumenggung Adikusumah, silih berganti memimpin Batulayang dari zaman kerajaan tahun 1740an hingga masa pendudukan Hindia Belanda tahun 1800an.

Pada medio 1770an, Batulayang dipimpin seorang bupati bernama Tumenggung Rangga Adikusumah. Namun ia meninggal dan status kepemimpinannya tidak berlangsung lama. Jabatan Bupati Batulayang kemudian diserahkan kepada Bupati Bandung pada 1785, lantaran penerusnya, Raden Bagus, anak dari Tumenggung Rangga Adikusumah, saat itu masih berusia 12 tahun.

Pada 1794, Raden Bagus akhirnya diangkat sebagai Bupati Batulayang dengan gelar Tumenggung Rangga Adikusumah II (sumber lain menyebutkan Dalem Tumenggung Anggadikusumah). Tapi, petaka kemudian datang saat sang pewaris tahta tak sekompeten ayahnya dalam memimpin Batulayang.

Perkebunan Kopi Hancur

Dalam tulisannya, Ryzki menyebut Tumenggung Rangga Adikusumah II begitu buruk dalam memimpin Batulayang. Ia menelantarkan perkebunan kopi di sana, yang saat itu masih jadi primadona Hindia Belanda, bahkan punya kebiasaan tak wajar lantaran gemar mengkonsumsi opium dan minuman keras.

"Berdasarkan laporan Pieter Engelhard pada 1802, Tumenggung Anggadikusumah memimpin Batulayang dengan buruk, membiarkan perkebunan kopi menjadi hutan belantara dan semak-semak. Bahkan berdasarkan laporan tanggal 24 Desember 1801, muncul usulan untuk memberhentikan Sang Bupati karena kegemarannya mengonsumsi opium dan minuman keras," ucap Ryzki dalam tulisannya.

Karena kondisi itu, Tumenggung Rangga Adikusumah II akhirnya diberhentikan pada 1802. Praktis kemudian, Batulayang sebagai kabupaten akhirnya dihilangkan. wilayahnya lalu digabungkan dengan Kabupaten Bandung. Sementara sang pewaris tahta, diasingkan ke Batavia hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di Mangga Dua.

Meski tak secakap ayahnya dalam memimpin, Ryzki menulis kehilangan Kabupaten Batulayang begitu disesalkan. Pemicunya karena nasib perkebunan kopi tetap sama di bawah kuasa Bupati Bandung. Ini kemudian Ryzki tuangkan sebagaimana laporan C.W Thalman, G.F Smit dan J.G Bauer pada 1807 sebagai berikut:

"...(76) Kabupaten Batulayang yang digabungkan masuk Kabupaten Bandung sangat subur dan cocok untuk penanaman tidak hanya kopi tetapi juga sangat cocok untuk penenaman padi, tetapi karena kemalasan dan ketidakcakapan Bupati Bandung yang memerintahnya, menjadi tak terpelihara dan sangat berkurang penduduknya sehingga dari kebun-kebun kopi yang disebut Tuan Engelhard dalam laporannya, tidak kalah dengan perkebunan di Gunung Biru di Kabupaten Canjur, sangat sedikit sekali dapat ditemukan semak belukar, di mana terdapat derita dan kekurangan,...."

"...Dengan segala kemungkinan yang tidak dapt dimengerti bagaimana Tuan Engelhard sampai hati, untuk menggabungkan Kabupaten indah ini dengan Kabupaten Bandung, yang sudah begitu besar dan luas dengan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 19 Agustus 1797, dan tidak menaruhnya di bawah pimpinan seorang, yang karena tidak dapat memerintah Kabupatennya sendiri, maklum kurang dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaannya di dua Kabupaten sebagaimana mestinya,...."

"...Orang yang telah melihat daerah-daerah yang dikaruniai alam ini 6 sampai 7 tahun yang lalu, Ketika masih diperintah oleh Bupatinya sendiri, tak dapat memandang tanpa rasa duka dan sesal keadaan yang sangat hancur dari daerah ini. Dan dalam tahun-tahun 1804 dan 1805 karena kekurangan rakyat tidak dapat dilakukan penanaman-penanaman yang patut disebut,...."

Ryzki sendiri melihat tindakan Tumenggung Rangga Adikusumah II sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial. Ia menduga, Tumenggung Rangga Adikusumah II telah memulai perang urat saraf dengan Pieter Engelhard lalu akhirnya melawan dengan cara menelantarkan perkebunan tersebut.

"Berdasarkan laporan di atas, bisa disimpulkan bahwa ada faktor lain yang membuat Bupati Batulayang terakhir dihukum, kemungkinan karena ia bermasalah dengan Pieter Engelhard dan melawan dengan cara menelantarkan perkebunan kopi," kata Ryzki.

Bupati Batulayang Diasingkan

Selanjutnya, kebijakan budidaya kopi menurut Ryzki, saat itu memang membebani rakyat. Ia pun menulis bahwa perlawanan Bupati Batulayang sebagai fenomena unik yang menggambarkan keberanian seorang pejuang.

"...Tindakan Bupati Batulayang "melawan" pemerintah dalam hal ini adalah sebuah fenomena unik, menggambarkan keberanian dalam membela nasib rakyat. Bupati Batulayang bukan satu-satunya penguasa lokal yang dihukum Belanda...," tutur Ryzk

"...Selain dirinya, pada 1798 Bupati Pagaden diasingkan ke Pamanukan, dan pada 1802 Bupati Parakanmuncang dan saudaranya kepala Cutak Majalaya dipecat serta dipenjara. Tidak hanya itu, Opziener Parakanmuncang juga dipulangkan ke Belanda. Semu aitu menunjukkan hukuman keras yang diterapkan kepada pejabat yang lalai menjaga produksi kopi."

Jejak Kabupaten Batulayang yang terekam arsip Leiden UniversityJejak Kabupaten Batulayang yang terekam arsip Leiden University Foto: KITLV

Menutup tulisannya tentang hal ini, Ryzki lalu menyinggung satu nama dalam perjuangan melawan kolonial yang akhirnya ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Ia adalah Oto Iskandar Di Nata, pejuang yang merupakan keturanan asli dari Batulayang.

"Semangat perlawanan terhadap penjajah nantinya akan dicerminkan dalam perjuangan politik abad ke-20 oleh seorang keturunan Batulayang yang bernama Oto Iskandar Di Nata alias sang Jalak Harupat," pungkasnya.

(yum/yum)


Hide Ads