Apakah detikers pernah melihat logo dari Komando Daerah Militer (Kodam) III / Siliwangi? Yap, bergambarkan kepala seekor Macan Lodaya atau Harimau Jawa itu telah lama masyhur sebagai penanda para prajurit di Tanah Pasundan. Serta, menjadi representasi dari tekad prajurit agar selalu mencurahkan semangatnya bagi nusa dan bangsa tanpa henti.
Siapa sangka, logo tersebut nyatanya diciptakan oleh seorang pelukis kondang asal Kota Kembang bernama Barli Sasmitawinata. Sebagai sosok yang dikenal mampu menggabungkan seni rupa renaissance dan modern, Barli berhasil melahirkan berbagai karya maupun pelukis handal yang mendobrak perkembangan seni di Indonesia.
Meskipun sudah lama berpulang, namun kiprah Barli jelas takkan pernah usang dan masih terus diwariskan kepada setiap generasi. Salah satunya, melalui Museum Barli.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bertempat di Jalan Prof. Dr. Sutami No. 91, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung, museum ini bisa menjadi pilihan alternatif untuk sekedar healing maupun sebagai tempat mempelajari seluruh karya seni Barli Sasmitawinata. Meski tampak sederhana, namun hal inilah yang justru menjadi incaran pengunjung dibandingkan galeri seni lainnya.
![]() |
Berdasarkan pantauan detikJabar, museum yang resmi didirikan pada tahun 1990 ini terdiri atas tiga lantai. Yakni, lantai bawah berupa cafetaria dengan aneka hidangan makanan dan minuman lezat, lalu lantai dua dan tiga menjadi tempat penyimpanan karya seni, khususnya milik Barli.
Eksplorasi Seni dan 'Wahana Masa Lalu'
Mulai dari lantai dua saja, di sini terdapat sebuah bale atau ruangan pertemuan besar yang dikelilingi oleh keberagaman imaji setiap individu lewat lukisan. Perlu diketahui, lukisan tersebut merupakan hasil karya anak didik dari Barli Art Studio, yang saat ini diketuai oleh Aditya Priyagana, cucu pertama dari generasi ketiga Barli Sasmitawinata.
Sekedar informasi, sanggar tersebut awalnya didirikan oleh Barli dengan nama Rangga Gempol dengan tujuan untuk mewadahi seluruh kalangan yang ingin belajar dunia seni rupa. Namun saat ini, Adit lebih berfokus untuk mendidik anak-anak di sanggarnya menjadi seorang 'seniman kehidupan,' alias menjadi 'seniman' di profesinya masing-masing.
"Sejak saya memimpin, kalau dulu kan bagaimana (sanggar ini) menciptakan seniman rupa, kalau sekarang bagaimana menciptakan seniman kehidupan," ujar pria yang akrab disapa Adit Barli itu.
Menurut Adit, seni merupakan cara untuk berbuat dan menyampaikan sesuatu dengan mengolah rasa dalam setiap diri individu. Sehingga, mereka mampu menanamkan nilai-nilai toleransi, peduli, serta rasa yang bijak saat mengambil sebuah keputusan.
"Karena yang kita bangun adalah rasanya. Dengan seni itu, akhirnya mereka akan terbangun sebuah rasa yang akan melengkapi jiwanya," ucapnya.
![]() |
Selain itu, Adit juga mengkritisi sistem pendidikan yang masih salah dalam mengajarkan nilai-nilai moral kehidupan. Baginya, sebuah sistem nilai yang menghindarkan anak-anak dari rasa bersalah, maka akan tumbuh sikap etnosentrisme dan berakhir pada perpecahan.
"Tetapi dengan mereka mencoba untuk menjadi seorang pribadi yang bijak, maka mereka akan melihat perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan dan kekuatan untuk mencapai sesuatu," tambahnya.
Selaras dengan Adit, salah satu penjaga Museum Barli, Adzan menuturkan jika anak didik dari Barli Art Studio lebih cenderung mengeksplorasi daya imajinya dalam lukisan. Tanpa melihat benar atau salah, mereka tidak hanya sekedar membuat tetapi juga dapat memahami arti dari nilai sebuah karya seni.
"Kita nggak pernah ngasih kritik kalo ini (misalnya) matanya nggak pas, atau bentuk badannya kurang sesuai, dan lain-lain karena kita sengaja membiarkan mereka untuk menyampaikan isi hati atau hal-hal yang disukainya. Paling kita hanya menyempurnakan saja," ujar Adzan.
![]() |
Masih di lantai yang sama, detikers juga diajak bernostalgia dengan berbagai koleksi action figure, komik serta permainan jadul yang mungkin saat ini sudah menjadi 'fosil' langka. Adzan menambahkan, seluruh koleksi tersebut memang sengaja dipamerkan sebagai edukasi kepada generasi zaman sekarang.
"Mungkin beda banget kan sama (zaman) sekarang ngeliat anak-anak lebih sering main gadget, fokus sama hape-nya dibanding main sama temen-temen kayak dulu," tambahnya.
Mengulik 'Harta Karun' Barli
Beranjak menuju lantai tiga, disini detikers semakin dibuat takjub oleh berbagai 'harta karun' milik sang maestro Barli. Tak hanya sekedar lukisan saja, terdapat pula alat-alat lukis seperti kuas, palet, cat minyak, hingga easel atau penyangga lukisan yang menjadi 'senjata'-nya.
![]() |
Selain itu, hampir seluruh karya lukisan milik Barli menerapkan gaya seni rupa realisme atau menggambarkan aktivitas manusia sehari-hari tanpa direkayasa. Bukan tanpa alasan, Barli memang sempat mempelajari dunia seni realisme selama bertahun-tahun saat berkuliah di Eropa pada tahun 1950 hingga 1956 silam.
Alhasil, berbagai karya lukisnya betul-betul seperti memiliki 'nyawa' dan memberikan sebuah makna filosofis bagi para penikmatnya. Bahkan, Ia tak jarang untuk memotret kondisi di sekitar dan mendokumentasikannya lewat sebuah lukisan.
"Waktu itu, di depan rumah Pak Barli suka ngelewat (seorang) anak ngamen pake gitar buatan dari barang bekas. Suatu hari, Ia berpikir untuk menjadikannya sebagai objek lukisan," ucap Adzan saat menjelaskan salah satu lukisan Barli bertema pengamen cilik kepada detikJabar.
![]() |
Terlepas akan hal itu, tujuan didirikannya museum ini semata-mata bukan untuk pamer karya Barli semata. Melainkan dapat menjadi wadah untuk bereksplorasi dan kolaborasi yang terbuka bagi pelaku bidang seni lainnya.
"Sejak tahun 2007 itu kita menggelar banyak sekali event, dan kita menjadikan tempat ini bukan hanya sekedar museum tetapi juga sebagai ruang publik. Kita mencoba melibatkan produk-produk seni lainnya untuk beraktivitas, dan berkolaborasi budaya," pungkasnya.
(yum/yum)