Beragam tradisi dilakukan warga Sunda yang tinggal di Jawa Barat untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Dari segi acara, hampir sebagaian besar tradisi itu punya kesamaan.
Tradisi Misalin, Nyepuh, Nyangku, Munggahan, dan Papajar, nyaris sama pada mulanya. Yaitu, upaya mempersiapkan diri untuk menghadapi bulan Ramadhan. Persiapan ini di antaranya dengan membersihkan diri melalui mandi, membersihkan komplek makam leluhur dengan kerja bakti, hingga bersantap makanan bersama.
Seiring berjalannya waktu dan perubahan "profesi" orang-orang Sunda dari semula kebanyakan bertani hingga kini menjalani pekerjaan yang beragam, membuat tradisi-tradisi itu mengalami pergeseran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pergeseran terjadi pada kelengkapan tradisi. Pada tradisi Nyepuh di Kabupaten Ciamis, misalnya. Warga seharusnya membersihkan makam di pekan terakhir bulan Sya'ban sambil membawa bahan makanan mentah untuk dimasak bersama di komplek pemakaman itu, untuk selanjutnya doa bersama dan masakan yang telah jadi, dibawa pulang untuk bersantap sahur esok harinya.
Namun, menurut studi berjudul "Tradisi Nyepuh di Desa Ciomas Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis" dalam Jurnal Artefak, Vol. 2, Nomor 1, Maret 2024, disebutkan tradisi membawa bahan masakan sudah tidak dilakukan lagi.
Namun demikian, tradisi Nyepuh dan tradisi serupa lainnya tetap dilakukan. Pergeserannya hanya kelengkapan yang kurang, tapi tidak mengubah esensi.
Di antara tradisi menyambut Ramadhan ada Papajar. Tradisi ini unik pada mulanya, meski sekarang lebih rekreatif. Semula, Papajar lebih menekankan kepada penantian bulan Ramadhan dan membersihkan diri dari kesalahan kepada sesama manusia. Kini, Papajar berarti berwisata dan makan sepuasnya sebelum Ramadhan.
Asal-usul Papajar
Papajar berasal dari dua kata, yaitu Mapag berarti menyambut, dan Pajar berarti fajar atau matahari pagi. Papajar boleh juga dibaca lengkap Mapag Pajar, yakni menyambut fajar.
Fajar yang disambut tak lain adalah terbitnya hari pertama bulan Ramadhan. Tradisi Papajar konon sudah ada sejak abad ke-16.
Tradisi ini biasanya berlangsung sejak sepekan hingga sehari sebelum Ramadhan. Papajar diisi dengan rekreasi dan makan-makan.
"Tradisi Papajar ini dilakukan sekitar seminggu sebelum Ramadan hingga sehari sebelum Ramadan," kata Irman Firmansyah, Ketua Yayasan Dapuran Kipahare saat diwawancarai detikJabar,dikutip Kamis (7/3/2024).
Jika telah ada pada abad ke-16, bagaimana cerita awal mula Papajar ini?
Ketika Cianjur yang wilayahnya meluas hingga Bogor-Sukabumi, dipimpin Aria Wira Tanu II (Dalem Tarikolot, 1691-1707), tradisi ini dimulai.
Masyarakat berkumpul di Masjid Agung Cianjur untuk menunggu pengumuman dimulainya berpuasa. Pengumuman itu, datang dari pemuka agama. Seraya mengumumkan, kiai mengajak masyarakat bersama-sama berdoa untuk keselamatan diri dan keberkahan pada bulan Ramadhan yang akan dihadapi.
Masyarakat datang ke acara pengumuman itu sambil membawa makanan untuk dimakan bersama.
"Kegiatan itu terus berlangsung setiap tahun dan menyebar ke masjid-masjid lainnya seiring perkembangan wilayah Cianjur," katanya.
Pada tradisi Papajar, yang menjadi inti adalah berdoa memohon ampunan kepada Allah SWT dan bermaafan dengan sesama manusia.
Kata Irman, karena sekarang ini kegiatannya diisi dengan rekreasi, maka terjadi pergeseran menjadi ajang memuaskan diri, terutama makan dan minum terakhir di siang hari.
Daerah yang Ada Papajar
Tradisi Papajar atau berburu fajar tumbuh subur di priangan barat, di antaranya di Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Menurut pengalaman penulis pada rentang waktu 2015-2017, di Cianjur dan Sukabumi, masyarakat menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan bepergian ke tempat wisata.
Tempat wisatanya tidak yang jauh-jauh lintas kabupaten, melainkan tempat wisata yang dekat dari rumah. Sebab, tujuan dari wisata tersebut adalah untuk makan bersama dan dilakukan tidak sepanjang hari.
Warga biasanya akan bepergian bersama keluarga, dua hari atau sehari menjelang puasa Ramadhan. Mereka membawa bekal berupa nasi lengkap dengan lauknya yang akan disantap bersama di tempat itu.
Selesai makan, keluarga akan menghabiskan waktu hingga siang hari untuk berengkerama dan mengawasi anak-anak kecil bermain. Hingga waktu dirasa cukup untuk kembali ke rumah. Dengan healing seperti itu, fisik dan batin betul-betul siap untuk beribadah sepanjang Ramadhan.
(tya/tey)