Penyebab Budaya Sunda Mulai Ditinggalkan Generasi Muda

Penyebab Budaya Sunda Mulai Ditinggalkan Generasi Muda

Anindyadevi Aurellia - detikJabar
Rabu, 29 Nov 2023 19:00 WIB
Pepep dalam Acara Ruang Riung Disbudpar Bandung, Rabu (29/11/2023).
Pepep dalam Acara Ruang Riung Disbudpar Bandung, Rabu (29/11/2023). (Foto: Anindyadevi Aurellia/detikJabar)
Bandung -

Kebudayaan Sunda memang kaya ragamnya. Tapi harus diakui, kemajuan zaman membuat budaya Sunda perlahan-lahan ditinggalkan terutama oleh kalangan muda-mudi.

Hal ini diamati oleh Budayawan dan Pegiat Lingkungan, Pepep D.W. Tapi menurutnya, budaya Sunda tak lagi tenar bukan karena sudah tak zaman, tapi karena adanya rasa takut salah dari penerapan bahasa itu sendiri.

"Kita ada masalah dengan bahasa daerah ini, ada aturan bahasa Sunda itu harus lemes (halus), itu menghambat menurut saya. Kalau saya bicara Sunda pasti kasar. Jadi soal pemajuan kebudayaan, kita dorong sebisanya jangan sieun (takut) kasar. Kebudayaan itu harus dijaga dan digunakan, efektifnya dengan digunakan sehari-hari. Kalau pelestarian hanya di sekolah-sekolah ya agak sulit," kata Pepep dalam Acara Ruang Riung Disbudpar Bandung, Rabu (29/11/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, perilaku membiasakan dekat dengan budaya Sunda bisa dilakukan sebagai cara efektif. Bukan sekedar dengan sosialisasi dan pengenalan, namun dengan aksi nyata mengajak para anak muda untuk ikut berbahasa Sunda atau memainkan musik Sunda.

"Memajukan kebudayaan di era gen Z ini enkulturasi. Contohnya memberi tahu jangan buang sampah sembarangan, akan kalah dengan perilaku orang-orang yang memberi contoh. Jadi memang harus dari kebudayaan yang diadopsi sehari-hari. Bade kasar bade loma (mau kasar atau halus) itu sambil belajar aja terus, agar tetap lestari," ucapnya.

ADVERTISEMENT

Pepep juga mengatakan bahwa kata 'Aing' yang dikenal sebagai sebutan untuk diri sendiri dengan bahasa Sunda kasar, sebetulnya masuk dalam naskah ejaan Sunda lama sebagai sebutan diri ke orang tua. Namun karena adanya pengaruh kebudayaan yang diterima, sehingga terbagi menjadi bahasa Sunda halus dan kasar.

"Bahkan kata 'sungai' di Bahasa Sunda yang digunakan sehari-hari oleh orang Bandung itu susah untuk dibahasa-inggriskan. Terlalu banyak jenisnya, sebutannya beda-beda, cara memperlakukannya beda. Jadi habitat budaya akan menghasilkan sesuatu yang khas. Jangan malu untuk gunakan bahasa Sunda," ucap Pepep.

Sementara itu Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) Kota Bandung Arief Syaifudin mengaku senada dengan Pepep. Arief juga menceritakan pengalamannya waktu muda, katanya tak dipungkiri yang membuat masa kecilnya lekat dengan budaya Sunda karena adanya support dari warga sekitar.

"Saya sejak SD mulai main calung, itu karena orang tua saya berikan alat calung lengkap. Terus saya pasanggiri mamaos, ikut main gendang, reog dan jaipongan, kemudian mojang jajaka parahyangan. Jadi banyak juga tradisi kita itu. Saya juga pernah tampil Tari Lenyepan. Waduh eta, pegelnya lumayan karena gerakannya lambat sekali. Jadi itu yang perlu ditanamkan ke masa kini, dan keluarga juga ada support," ucap Arief.

Saat ditanya soal strategi ke depannya agar pemuda-pemudi Bandung dekat dengan Budaya Sunda, Disbudpar mengaku punya banyak cara yang sudah berjalan. Tapi Arief mengaku mungkin tak bisa langsung terasa manfaatnya dalam waktu dekat.

Budaya Sunda tentu jadi hal yang perlu dilestarikan, agar partisipasi dan minat warga terhadap seni tradisional Sunda tak terkikis. Salah satu strategi yang baru dari Pemkot Bandung yakni menggagas program Nyeni di Sakola sebagai taktik untuk memperkenalkan terus budaya Sunda.

"Kalau kita lihat sudah banyak strategi yang berjalan. Saya belum lama ini hadir ke Mapag Setra Tradisional. Ini berjalan dengan segmennya ada yang internasional, nasional, dan lokal. Tapi memang semua ini perlu waktu. Misal dari Kecamatan itu kan tidak bisa langsung jajaki ke Provinsi. Saya dulu misalnya ikut pop singer festival, itu tidak langsung juara tapi bertahap," katanya.

(aau/yum)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads