Bahasa Sandi Widal atau dibaca Basa Sani Widal dikenal sudah ada sejak penjajahan Belanda atau sejak tahun 1800-an. Rumus-rumus ini digunakan untuk mengubah bahasa Sunda demi mengelabui Belanda yang sudah mengerti bahasa ibu Jawa Barat.
Utamanya, bahasa Sandi Widal diciptakan pribumi yang tinggal di Tipar, Kecamatan Citamiang, Kota Sukabumi. Kala itu, wilayah Tipar dikenal sebagai area 'Bronx', artinya wilayah yang rawan kejahatan layaknya di Bronx, Amerika Serikat.
"Masyarakat Tipar dulu dikenal sebagai area Bronx dimana penduduknya padat dan banyak kejahatan," kata Sejarawan sekaligus penulis buku Soekaboemi The Untold Story Irman Firmansyah saat berbincang dengan detikJabar, belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya pada tahun 1915, Beot, seorang warga Tipar pernah membunuh Adhari, warga Tipar lain, akibat tersulut emosi kecemburuan pada seorang wanita. "Konon di masa Belanda banyak pula yang melakukan kejahatan, kemudian bersembunyi di daerah Tipar sehingga dikenal banyak premannya," ujarnya.
"Saat terjadi agresi militer, Belanda menggeledah rumah-rumah mencari para pembangkang, namun dengan bahasa Widal konon banyak yang terselamatkan," kata Irman menambahkan.
Situasi mencekam itu sudah tidak ada saat ini. Namun bahasa Widal masih tetap melekat di daerah Tipar. Selain itu, Bahasa Sandi Widal disebut muncul ketika pembangunan stasiun dan rel kereta api. Bahasa ini diperkirakan muncul sekitar tahun 1881-1883 dimana para pekerja asal Cianjur tinggal di bedeng-bedeng dan biasa menggunakan bahasa Sandi Widal.
"Lama-kelamaan bahasa tersebut menyebar ke masyarakat sekitar dan dipergunakan oleh masyarakat. Sempat pula katanya ada pejabat atau menak yang juga membiasakan bahasa tersebut saat terjadi pembangunan (verbetering) fasilitas di Kampung Tipar yang terjadi sekitar tahun 1930-an," ucap Irman.
Bahkan, bahasa Widal sudah berkembang ke daerah Sukabumi hingga ke Cianjur. "Meskipun tidak sama, bahasa model transformasi seperti ini memang sempat marak di Cianjur tahun 1950-an, misalnya dengan menyebut hade (bagus) dengan uda haneng, sare (tidur) dengan ura saneng. Polanya sendiri berbeda, namun umum digunakan anak muda saat itu," tutur Irman.
(orb/orb)