Lintasan pacuan kuda di Kelurahan Kota Kaler, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang merupakan peninggalan Bupati Sumedang Pangeran Aria Suria Atmadja pada masa Hindia Belanda.
Masa kejayaannya paling tidak sempat terekam pada era 1960-an dan 1970-an. Hal itu seperti diutarakan oleh mantan joki dari arena pacuan kuda tersebut.
Dia adalah Enu Juhara (66), warga setempat yang sedari kecil sudah tidak asing dengan dunia pacuan kuda di arena tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Betapa tidak, ia terlahir dari seorang ayah yang berprofesi sebagai joki di era 1960-an, yakni Soód. Oleh ayahnya itu, Enu sering diajak ke sejumlah lomba pacuan kuda seperti di Tegalega Bandung, Purwakarta dan lapang pacuan kuda lainnya.
Setelah selesai menjadi joki, ayahnya kemudian dipercaya untuk merawat kuda-kuda miliknya Bupati Sumedang saat itu, yakni Supian Iskandar.
"Sekitar tahun 1971 pas bupati dijabat pak Supian, bapak disuruh ngurus kuda dari Dinas Peternakan karena saat itu ada bantuan Presiden ke Sumedang," ungkap Enu saat berbincang dengan detikJabar di rumahnya belum lama ini.
"Kuda yang dirawat adalah kuda Glory Kingdom, kuda Australia. Kuda tersebut dirawat dimaksudkan untuk jadi pejantan super di Kabupaten Sumedang dan Sumedang saat itu cukup dikenal oleh para pemilik kuda yang datang untuk ngawinkan kudanya dan mereka datang dari mana-mana," tuturnya menambahkan.
Seiring berjalan waktu, Enu pun semakin piawai dalam hal berkuda hingga pada akhirnya dipercaya pula menjadi joki balapan.
"Saya saat itu jadi joki balapan dari usia kisaran 15 tahun atau 16 tahun," ujarnya.
Menurut Enu, geliat lomba pacuan kuda di Sumedang salah satunya terjadi pada era tahun 1960-an dan 1970-an.
"Pada sekitar tahun 1960-an dan 1970-an itu dalam setahun paling tidak digelar dua kali lomba balapan kuda di lapang pacuan Kota Kaler," ungkapnya.
Masih lekat dalam ingatannya sejumlah nama para inohong kuda kala itu seperti Samya, Apih Sukarya, Ocim, Mustaram dan banyak lagi.
"Jadi dulu mah para inohong menggelar balapan kuda itu memang untuk menyalurkan hobi bukan untuk bisnis," paparnya.
Enu mengungkapkan, balapan kuda kala itu menjadi hiburan rakyat. Para penontonnya akan menyemut dengan mengelilingi di luar lintasan pacuan kuda.
"Terus sebelum gelaran pacuan kuda biasanya akan ada pasar malam dulu dari seminggu sebelumnya," ujarnya.
Enu mengatakan, meski tidak seramai dulu, perhelatan balap kuda sempat digelar di tahun-tahun kekinian. Bahkan lapang pacuan kuda tersebut sempat direnovasi pada 2006.
"Terakhir itu ada gelaran balap kuda pada tahun 2018," ujarnya.
Seiring adanya badai pandemi Covid19 ditambah sarana dan prasarana yang sudah tidak lagi memadai dengan banyaknya permukiman warga, lapang pacuan kuda pun kini mengalami mati suri. Dari sejak 2019 hingga kini sudah tidak ada lagi lomba pacuan kuda.
"Kalau dulu mah kan masih jarang permukiman jadi warga yang menonton diamnya itu di luar lintasan tapi kalau sekarang-sekarang itu lantaran sudah banyak permukiman jadi kadang penonton sampai masuk lintasan, seperti saat gelaran terakhir pada 2018," tuturnya.
"Jadi itu yang menjadi salah satu kendala kalau mau menggelar balapan kuda, sebab kalau terjadi apa-apa ke penonton maka panitia nantinya yang akan disalahkan," terangnya menambahkan.
(yum/yum)