Secara garis besar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat memiliki dua bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bahasa Jawa dan Sunda. Kedua bahasa itu konon sudah ada sejak awal peradaban di sekitar Sungai Cimanuk Indramayu.
Seorang pegiat Lembaga Basa Lan Sastra Dermayu (LBSD) Supali Kasim menyebutkan bahwa penutur bahasa Jawa sangat mendominasi dibandingkan bahasa Sunda kala itu. Kondisi itu berbanding terbalik dengan Jawa Barat yang mayoritas warganya memakai bahasa Sunda.
Baca juga: Mengenal Bahasa Sunda di Tanah Indramayu |
"Secara linguistik disebutnya bahasa Jawa dialek Indramayu. Jumlah penuturnya kurang lebih 90 persen dari penduduk Indramayu," kata Supali Kasim kepada detikJabar, Sabtu (11/3/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain bahasa Jawa, sebagian masyarakat di Indramayu juga melakukan komunikasi dengan bahasa Sunda. Bahkan, bahasa Sunda tersebut memiliki dua dialek, yaitu dialek lokal (Sunda Lea dan Sunda Parean) dan dialek Pasundan atau Priangan.
"Kalau Pasundan itu ada di Kecamatan Gantar, juga di beberapa blok di Haurgeulis, dan ada lagi di Desa Cikawung Terisi dan Mangun Jaya Kecamatan Anjatan," jelas Supali.
"Kalau yang dialek lokal itu ada dua desa di Lelea dan Tamansari. Dan di Kandanghaur ada Desa Ilir, Parean, Bulak dan beberapa blok di situ," imbuhnya.
Latarbelakang Bahasa di Indramayu
Diceritakan Supali, bahwa Indramayu merupakan wilayah baru yang peradaban nya di sekitar tahun 1400-an. Ketika itu, Indramayu masih dikenal dengan nama Cimanuk karena terdapat pelabuhan di Sungai Cimanuk.
"Makanya, orang Portugis menyebutnya Cimano, Ciamo. Dan orang Cina menyebut Ciecyangwan. Artinya sebelum dikenal nama Indramayu disebut nya nama Cimanuk," jelas Supali.
Lanjut Supali, seorang penulis asal Portugis, Tome Pires yang pernah singgah di sungai Cimanuk menyebut bahwa Indramayu kala itu terdapat dua suku bangsa yang dibatasi oleh sungai besar Cimanuk. Di sebelah Barat diisi suku Sunda, dan sebelah timur oleh suku Jawa.
"Tahun 1500-an sudah ada peradaban tetapi dengan dua suku bangsa. Sekaligus juga itu batas kerajaan besar Pajajaran dan batas kerajaan Majapahit yang jauh," ujarnya.
Bahasa pun mengalami perkembangan seiring adanya dinamika penduduk di zaman kerajaan. Indramayu di tahun 1300 hingga 1500-an mulai dipenuhi orang Jawa yang datang ketika kesultanan Mataram berjaya menguasai tanah Jawa.
Datangnya orang Jawa suruhan Mataram, bercampur dengan masyarakat lokal yang sudah di Indramayu hingga Karawang kala itu. Lambat tahun dinamika pemerintah kerajaan itu pengaruhi penutur bahasa Sunda di wilayah Barat Cimanuk.
"Ketika kesultanan Mataram berjaya menguasai pulau Jawa, salah satunya mendatangkan orang Jawa ke Pantai Utara dari Indramayu sampai Karawang, jadi sudah ada penduduk lokal ditambah orang dari Jawa Tengah," katanya.
Kerja paksa oleh kolonial Belanda yang menjajah Indonesia ketika itu juga turut pengaruhi kebiasaan bahasa di Indramayu. Pada tahun 1920-an, terjadi urbanisasi paksa secara masal dari wilayah Brebes, Cirebon menuju wilayah Barat Indramayu terutama di sekitar Kecamatan Haurgeulis, Anjatan dan sekitarnya.
"Di tahun 1920 ketika Belanda membangun irigasi di Haurgeulis dan pesawahan dan jalur perkeretaapian terjadinya urbanisasi dari Brebes, Cirebon dan Indramayu Timur ke wilayah Harugeulis Anjatan. Jadi hal itu membuat orang Jawa jadi mayoritas," jelasnya.
Dari pergeseran yang terjadi, Supali menyimpulkan suku Sunda yang disebut Tome Pires berada di wilayah Barat Indramayu itu tak lagi dominan. Kini, orang Sunda itu hanya bertahan di beberapa desa di Kecamatan Lelea dan Kandanghaur dan sekitarnya.
"Jadi boleh dikatakan kenapa orang Sunda kurang dinamis karena terkait kerajaan Jawa, kayak Demak, hingga Cirebon. Sementara kerajaan Pajajaran itu kan hancur tahun 1200-an lah ketika diserang oleh Belanda," pungkasnya.
(mso/mso)