Tjikumpeni, Warisan Belanda di Ujung Karawang

Tjikumpeni, Warisan Belanda di Ujung Karawang

Irvan Maulana - detikJabar
Rabu, 08 Mar 2023 07:00 WIB
Saluran irigasi Tjikumpeni Karawang
Saluran irigasi Tjikumpeni Karawang (Foto: Irvan Maulana/detikJabar)
Karawang -

Era kolonialisasi Belanda di Indonesia turut meninggalkan warisan di Kabupaten Karawang. Warisan infrastruktur itu bahkan masih berfungsi hingga saat ini.

Karawang sendiri menjadi salah satu lokasi di Jawa Barat yang diduduki Belanda saat era penjajahan. Buktinya, ada Bendungan Walahar yang menjadi ikon heritage di kota yang dijuluki kota industri tersebut.

Namun, bukan saja bendungan Walahar yang jadi peninggalan Belanda. Ternyata ada warisan lain berupa saluran irigasi bernama Tjikumpeni atau Cikumpeni.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saluran irigasi ini terletak di samping jalan provinsi yang menghubungkan Karawang dengan Bogor bagian selatan dan Bekasi bagian barat. Tepatnya berada di Kecamatan Tegalwaru dan Kecamatan Pangkalan, di selatan Kabupaten Karawang.

Saluran irigasi Tjikumpeni memiliki panjang kurang lebih 8,5 meter dengan lebar dua meter. Hingga kini, saluran tersebut masih berfungsi dan digunakan masyarakat sekitar.

ADVERTISEMENT

Jaka (53) warga Jatilaksana, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang menuturkan saluran tersebut masih berfungsi lantaran kerap dilakukan perawatan. Bahkan, dirinya menjadi ujung tombak kala pmerintah melakukan pekerjaan pembersihan Tjikumpeni.

"Biasanya proses pembersihan, pemangkasan rumput dan pengangkatan sampah dilakukan setahun dua kali, seusai musim hujan dan menjelang musim hujan," ucap Jaka, saat ditemui di saluran irigasi Tjikumpeni, Selasa (7/3/2023).

Cerita soal Tjikumpeni yang merupakan warisan sejarah juga sudah didengar Jaka sejak lama. Bagi Jaka, Tjikumpeni jadi bukti Belanda pernah datang ke daerah Tegalwaru, Karawang.

"Ini jadi bukti, meskipun tidak banyak yang tahu karena tidak tercatat. Dulu Belanda ke Tegalwaru, yah, membuat Tjikumpeni ini," kata dia.

Dikatakan Jaka, Tjikumpeni dibangun Belanda didasari alasan karena lahan di Karawang selatan kesulitan air, "Karawang bagian selatan ini kan memang karena girang (hulu) jadi lebih tinggi dibanding di kota. Disini juga sulit air untuk lahan bersawah," ujar dia.

Oleh sebabnya, Belanda kemudian merencanakan ide mengalirkan aliran sungai Cigeuntis yang berasal dari Curug Cigeunting untuk dibendung di wilayah Kampung Waru, yang kemudian dialirkan ke irigasi yang akan dibuat.

"Kalau bendungannya di Kampung Waru, sekarang nama desanya Wargasetra, tapi bendungannya juga sudah lama rusak. Diganti bendungan yang baru, dari sana terus dialirkan ke irigasi, kalau panjangnya setahu saya lebih dari 8 kilometer," terangnya.

Pembangunan Tjikumpeni

Irigasi tersebut, kata Jaka, diperkirakan dibangun kisaran tahun 1930-an pada masa itu, Belanda sedang masifnya mengambil sumberdaya pertanian di Karawang.

"Saya sih dengar dari kakek, kakek dan bapak saya sudah gak ada yah. Seingat saya pas umur sekitar 10 tahun, kakek saat itu berusia 92 tahun, dia bercerita bahwa pernah ikut kerja membangun Tjikumpeni," ungkap Jaka.

Diceritakan kakeknya kepada Jaka, kala itu sang kakek berusia sekitar 20 tahun pada tahun 1930an, ia mendapat upah sekitar dua benggol untuk bekerja membangun irigasi Tjikumpeni tersebut.

"Upahnya 2 benggol dulu, 2 benggol itu 2 keping uang, saya sendiri gak tahu segimana nilainya, yang jelas waktu itu 1 benggol bisa beli 2 ekor ayam, atau 10 batok (5kilogram) beras," katanya.

Berdasarkan keterangan di laman resmi Bank Indonesia, satu keping benggol pecahan 2,5 cent Nederlandsch-Indie, bentuknya cukup besar dan tebal seberat 13,5 gram.

Proses pekerjaan sendiri, diceritakan jaka, dilakukan oleh warga sekitar, dan tentara Belanda atau orang menyebutnya Kumpeni, sebagai ketua kelompok dalam pekerjaan irigasi tersebut.

"Pekerjanya banyak, itu dibagi beberapa kelompok, jadi setiap kelompok itu menggali sepanjang 1 kilometer, pada setiap kelompok itu, ada satu orang kumpeni yang menjadi pemandu pekerjaan sebagai ketua kelompok," ucapnya.

Pengerjaan Tjikumpeni memakan waktu hampir 5 tahun sebab, kata Jaka, pada saat itu banyak pekerja yang kabur karena telat diberi upah. Namun pekerjaan tetap dilakukan karena sebagian warga yang ikut bekerja merasa diuntungkan.

"Ada beberapa pekerja yang kabur, kata kakek saya dulu kumpeninya baik, mereka yang kabur hanya takut meminta izin atau pamit pergi dari pekerjaan karena telat digaji," imbuhnya.

Oleh sebab itu proses pekerjaan memakan waktu yang lama. Mengenai alat yang digunakan, mayoritas masih menggunakan alat tradisonal berupa, cangkul, kayu, dan golok untuk menggali.

"Namanya orang dulu belum ada alat canggih mas, masih pake kayu, cangkul, golok. Tapi orang dulu itu kuat-kuat, beda dengan sekarang, kakek saya sehari saja bisa menggali 50 centimeter, dengan lebar 2 meter dan kedalaman 2 meter," kata dia.

Dahulu irigasi Tjikumpeni dibuat dengan kedalaman 2,5 meter dengan lebar 2 meter. Namun kini, lebar badan utuh hanya sekitar 80 centimeter sampai 1,5 meter, dengan kedalaman 80 centimeter.

Dukungan Warga Lokal

Warga juga mendukung pembangunan saluran irigasi tersebut. Jaka menuturkan warga merasa diuntungkan sebab irigasi itu melintasi pemukiman dan rumah mereka. Nantinya irigasi itu pun masih bisa dimanfaatkan oleh warga.

"Banyak warga yang mendukung dulu karena, irigasi melintas di dekat pemukiman, warga bida memanfaatkan irigasi untuk keperluan air sehari-hari. Karena dulu ini airnya jernih dan mengalir sepanjang tahun," kata Jaka.

Diterangkan Jaka, mengenai sejarah penamaan Tjikumpeni, justru tak pernah direncanakan sama sekali oleh pihak Belanda, sebab masyarakat saat itu belum tahu nama sebenarnya dari irigasi tersebut.

"Nah, ini cerita kakek saya, dulu kakek saya yang kerja aja gak tahu nama irigasinya apa. Warga apa lagi, Belanda juga gak pernah ngasih tahu nama irigasinya apa. Karena warga tau itu dibangun oleh Kunpeni, diistilahkan saja Tjikumpeni, karena bahasa sunda cai itu ci, digabungan jadi Tjikumpeni," ungkapnya.

Masih Berfungsi

Kini, air di irigasi Tjikumpeni hanya mengalir pada musim hujan, dan mengalir pada waktu tertentu jika para petani kekurangan air jika musim bersawah tiba.

"Sekarang ngalirnya cuma musim hujan, petani biasanya mengalirkan air pada saat musim bersawah tiba kalau bahasa sini neang cai. Istilah untuk para petani yang mengalirkan air dari bendungan ke irigasi menuju sawah mereka dengan cara memperlebar lubang pembuangan pintu bendungan," paparnya.

Saat ini, irigasi Tjikumpeni masih eksis, dan dapat dimanfaatkan, meski fungsinya sudah kurang maksimal akibat ulah manusia.

"Sekarang masih berfungsi, meskipun gak semaksimal dulu, sekarang kan posisi irigasi sudah lebih bawah daripada lahan sawah. Itu sebabnya karena masyarakat juga, sering buang sampah sembarangan sampe sungai kotor. Pemukiman di dekat irigasi juga dipondasi sangat tinggi dan mengurangi lebar lahan irigasi," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video Fadli Zon: Penulisan Ulang Sejarah Dibuat Sejarawan Tanpa Intervensi"
[Gambas:Video 20detik]
(dir/dir)


Hide Ads