Penggunaan bahasa Sunda dalam keseharian yang dijalani kalangan muda-mudi yang lahir di Tanah Priangan kian memudar setiap tahunnya. Banyak alasan yang mempengaruhi muda-mudi jarang menggunakan bahasa Sunda.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat dalam dokumen bertajuk Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020, sekitar 30 persen warga Jabar sudah tidak menggunakan lagi bahasa daerah.
Salah satunya Miranti Leany Puteri. Perempuan kelahiran 1995 asal Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi itu sama sekali tak pernah menggunakan bahasa Sunda untuk berinteraksi dengan lawan bicaranya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau ngobrol hampir nggak pernah pakai bahasa Sunda, karena kebetulan lingkungan saya semuanya rata-rata pakai bahasa Indonesia buat ngobrol," ujar Miranti saat berbincang dengan detikJabar, Sabtu (4/3/2023).
Miranti lahir di Kota Cimahi. Sebab keluarga besarnya memang sudah sejak lama tinggal di Cimahi. Meskipun kedua orangtuanya berasal dari suku yang berbeda. Sang ibu berasal dari suku Sunda, sementara ayahnya Manado tulen.
Sejak kecil, ia tak pernah juga mendapatkan pendidikan dan pembekalan khusus menggunakan bahasa Sunda dari keluarga besarnya. Ia kadung terbiasa menggunakan bahasa Indonesia meskipun sering mendengar orang-orang di lingkungannya tinggal tak jarang berbahasa Sunda.
"Kebetulan di tempat tinggal saya itu nggak semua pakai bahasa Sunda, karena mungkin beda-beda suku jadi pakainya bahasa Indonesia. Ibu juga kebanyakan bahasa Indonesia jadi memang nggak pernah belajar bahasa Sunda selain di sekolah waktu SD sampai SMA," kata Miranti.
Meskipun demikian, ia sedikit-sedikit bisa mengerti bahasa Sunda yang dituturkan teman-teman sepermainannya. Meskipun kebanyakan yang digunakan sebetulnya bahasa Sunda kasar.
"Karena kalau teman apalagi yang laki-laki itu kan pakai bahasa Sunda tapi kasar ya ada lah yang paham. Mungkin yang paling sering didengar itu seperi 'maneh', 'kamari', 'kadieu', jadi yang kasar-kasar gitu lah," katanya seraya tertawa.
Senada seperti Miranti, teman sepermainannya Nurlina Febianti (28) juga jarang menggunakan bahasa Sunda. Namun berbeda sedikit dengan Miranti, Febi sesekali berbahasa Sunda seperti saat berbicara dengan orangtuanya.
"Kalau orangtua kan campuran, bisa bahasa Sunda dan Indonesia. Jadi campur lah sebetulnya, bisa halus bisa kasar juga. Tapi kalau saya pribadi kebanyakan pakainya bahasa Sunda kasar," tutur Febi.
Apalagi ia sendiri dipanggil oleh orang tuanya dengan panggilan 'Neng', panggilan khas anak perempuan bagi orang Sunda. Namun jika dibandingkan, ia lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
"Ya seringnya pakai bahasa Indonesia apalagi kalau di tempat kerja. Kalau di rumah ya campur, kadang bingung mau balas omongan orangtua pakai bahasa Sunda halus, jadinya kasar. Misalnya kalau dipanggil 'Neng, kadieu sakedap', suka lupa. Kan harusnya 'muhun sakedap', atau 'kah', nah saya suka keceplosan jawab 'euy', padahal kan kasar ya," kata Febi.
Terlepas dari lingkungan yang memang mempengaruhi mereka berbahasa, diakui memang kalau teman-teman sebayanya yang menggunakan bahasa Sunda untuk berinteraksi sangat jarang.
"Ya memang jarang sih, kebanyakan bahasa Indonesia. Kalau sesama laki-laki mungkin masih ada, kalau laki-laki sama perempuan sepertinya jarang deh pakai bahasa Sunda. Mungkin minder atau memang nggak bisa sebetulnya," ucap Febi.
(dir/dir)