Bahasa menjadi media utama seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dia bisa menggunakan Bahasa Indonesia yang lebih universal dan lebih dimengerti banyak orang, atau memakai bahasa daerah di mana tempatnya tinggal.
Di wilayah Jawa Barat sendiri, budaya kesundaan begitu kental di kalangan warga. Sehingga tidak aneh, Bahasa Sunda akan menjadi bahasa sehari-hari yang diucapkan sebagian besar warga saat berkomunikasi dengan seseorang.
Tapi seiring perkembangan zaman, wilayah-wilayah di Jawa Barat kini mulai banyak dihuni pendatang. Tak hanya untuk kebutuhan bekerja di kota-kota besar seperti Kota Bandung misalnya, tapi banyak juga dari kalangan pelajar hingga mahasiswa yang datang untuk menimba ilmu di wilayah tujuannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya adalah Naja Sarjana (21). Ia merupakan warga Serpong, Tangerang Selatan, Banten yang kini sedang berkuliah di Prodi Jurnalistik Universitas Padjajaran (Unpad). Meski secara kultur keseluruhan yang Naja rasakan selama berkuliah, namun tetap saja ia kadang terkendala karena tidak menguasai sama sekali dala m menuturkan Bahasa Sunda.
"Jadi lebih ke suka bingung aja ini ngomongnya apa, itu ngomongnya apa. Paling kalau udah gitu, aku kadang suka minta temen-temen yang emang sehari-harinya pakai Bahasa Sunda supaya bantu translate," kata Naja saat berbincang dengan detikJabar belum lama ini.
Naja memang belum genap setahun menetap di wilayah Jatinangor, Sumedang yang menjadi tempatnya berkuliah. Tapi tak jarang, anak bungsu di keluarganya ini kerap kesulitan jika berkomunikasi dengan orang yang berusia lebih tua darinya. Salah satunya, mereka ini kata Naja menuturkan Bahasa Sunda yang kadang tak pernah sekalipun ia dengar.
"Kalau sama yang lebih tua, Bahasa Sundanya kan lemes banget tuh kang biasanya, jadi suka kesulitan. Kalau udah gitu ya paling saya tinggal ngomong aja sama orangnya kalau saya nggak bisa Bahasa Sunda. Jadi biar ngomognya pakai Bahasa Indonesia aja," ucapnya.
Selama menetap di Sumedang, Naja juga baru mengusai beberapa kata dalam Bahasa Sunda. Yang paling diingatnya hanya kata beureum (merah), koneng (kuning), hejo (hijau) serta tiris (dingin) yang memang kerap ia dengar dari beberapa temannya.
"Terus yang inget paling sieun (takut), udah itu aja. Tapi untungnya, selama ini nggak ngerasa ada kendala. Karena temen-temen di Unpad juga kan banyak yang pendatang ya kang. Jadi orang-orang Bandung-nya akhirnya ikut ngomong pakai Bahasa Indonesia daripada Bahasa Sunda," ujar Naja.
Berbeda dengan Naja, Huyogo Simbolon justru menjadi warga bersuku Batak yang kini malah sudah mahir dalam menuturkan Bahasa Sunda. Maklum saja, meski keluarga besarnya berada di Medan yang begitu jauh dari Bandung, namun pria yang akrab disapa Hugo tersebut lahir di Kota Kembang.
Saat berbincang dengan detikJabar, Hugo pun punya pandangan sendiri mengenai alasan mengapa kini ia malah mahir berbahasa Sunda. Baginya, Bandung merupakan daerah yang memiliki keunikan dalam kultur masyarakatnya, karena mengharuskan pendatang untuk bisa menguasai Bahasa Sunda dalam percakapan sehari-hari.
"Setahuku, kalau di suatu daerah tidak ada yang dominan suku atau budayanya, maka bahasanya semakin beragam. Ambil contoh Jakarta, nggak semua berbicara atau bicara logat Betawi. Justru para pendatang tetap membawa bahasa ibunya masing-masing," katanya.
"Berbeda kasusnya di Bandung yang mana ada budaya dan bahasa dominan yaitu Sunda. Sehingga, pendatang yang datang ke suatu daerah yang dominan dengan budaya dan bahasa tertentu, akan lebih adaptif terhadap lingkungannya. Maka, saya yang tinggal di Bandung, mau tak mau belajar bahasa Sunda untuk berkomunikasi," ungkapnya menambahkan.
Karena faktor itu lah, Hugo sejak kecil memang sudah akrab dengan Bahasa Sunda. Namun menurutnya, kemahiran bertutur Bahasa Sunda itu tidak datang secara tiba-tiba.
Di sekolah pada masa kecilnya, Hugo mendapat pelajaran muatan lokal (mulok) yang membuatnya mengenal beberapa kosakatan Bahasa Sunda. Kemudian di lingkungannya, Hugo juga akhirnya harus beradaptasi dengan menggunakan Bahasa Sunda tersebut.
"Bagi saya pribadi, bahasa daerah di mana saya tinggal adalah bagian adaptasi. Makanya, saya banyak belajar kosakata Sunda sebanyak-banyaknya, karena kuncinya memang untuk berkomunikasi. Masalah mahir berbahasa Sunda ini juga nggak ujug-ujug. Ada proses yang panjang," ungkapnya.
Hugo memang tak mengingat kapan ia mulai mahir berkomunikasi menggunakan Bahasa Sunda. Namun sejak SD, ia sudah menggunakan bahasa tersebut karena ikut dipengaruhi faktor lingkungannya.
Kemudian, tak hanya soal bahasa yang akhirnya menarik perhatian Hugo di kultur masyarakat Sunda. Hugo ikut mengagumi sejarah di Kota Bandung, pembangunan kotanya bahkan hingga ke arah sepak bola di Kota Kembang.
Baca juga: Bahasa Sunda yang Memudar di Jabar |
"Intinya sih satu hal kelebihan kalau pendatang bisa berbahasa Sunda di Bandung yang menurut saya itu biasanya membuat orang akan lebih respek. Untuk hal ini, saya enggak tau jelasinnya. Tapi kayanya ini menyangkut bagaimana seseorang beradaptasi. Yang jelas, enggak sulit kok belajar bahasa apalagi Bahasa Sunda," tuturnya.
Meski kini lebih dominan menggunakan Bahasa Sunda di kesehariaan, Hugo tak melupakan bahasa ibunya. Jika berada di rumah, ia kerap berkomunikasi dengan orang tuanya menggunakan Bahasa Batak meski akhirnya lebih dominan menggunakan Bahasa Indonesia.
"Terkadang aja pake bahasa Batak di rumah, banyakan bahasa Indonesia. Karena orang tua saya enggak fasih ngomong sundanya. Kalau di luar rumah pakai bahasa Sunda dan Indonesia," pungkasnya.
(ral/mso)